إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Yusuf tidak meminta jabatan untuk kepentingan dirinya saat ia melihat sambutan baik raja terhadapnya. Ia hanya jeli dalam memilih waktu agar permintaannya dikabulkan, yaitu agar ia memikul kewajiban yang meletihkan, berat, dan berisi tugas yang besar pada masa-masa krisis yang paling sulit; dan agar dijadikan penanggungjawab logistik seluruh penduduk negeri, dan juga penduduk negeri-negeri tetangga selama tujuh tahun paceklik.
Jadi, ini bukan ‘durian runtuh’ yang diminta Yusuf untuk kepentingan dirinya. Karena siapapun tidak akan mengatakan bahwa menanggung makanan suatu bangsa yang lapar selama tujuh tahun berturut-turut itu merupakan ‘durian runtuh’. Ini tidak lain adalah tugas yang dihindari banyak orang, karena terkadang jaminannya adalah leher mereka. Kelaparan itu gelap mata. Terkadang massa yang lapar itu lebih merusak pada saat gelap mata dan gila.
Ada masalah pelik di sini. Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan (pemegang kunci bumi) negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Tidakkah perkataan Yusuf ini mengandung dua perkara yang dilarang dalam sistem Islami?
Pertama, meminta jabatan yang dilarang berdasarkan nash dari Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)
Kedua, menganggap diri baik atau bersih, dan itu dilarang berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32)
Kami tidak ingin menjawab bahwa kedua kaidah ini ditetapkan dalam sistem Islam di zaman Rasulullah saw, dan bahwa keduanya belum ditetapkan pada zaman Yusuf as, dimana masalah-masalah organisasional dalam agama ini bukan merupakan satu kesatuan seperti prinsip-prinsip akidah yang ajeg dalam setiap risalah di tangan setiap Rasul.
Kami tidak ingin menjawab demikian, meskipun beralasan. Kami melihat bahwa perkara dalam masalah ini terlalu dalam dan terlalu luas cakrawalanya untuk disandarkan pada alasan ini. Kami berpendapat bahwa perkara ini bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dipahami untuk memahami metode istidlal (konklusi) dari ushul dan nash, dan untuk memberi ushul fiqh dan hukum-hukum fikih itu watak pergerakan yang orisinil dalam entitasnya, yang selama ini telah padam dan beku di dalam akal para ulama fikih dan rasionalitas fikih seluruhnya di masa-masa kebekuan dan kejumudan!
Sesungguhnya fiqih Islam tidak muncul di ruang kosong, sebagaimana ia tidak hidup dan tidak dipahami di ruang kosong! Fikih Islam lahir di tengah masyarakat Muslim, dan lahir melalui pergerakan masyarakat ini dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan riil kehidupan Islami. Bergitu juga, fikih Islam bukan yang melahirkan masyarakat Muslim, tetapi masyarakat Muslim dengan pergerakan realistisnya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan kehidupan Islami itulah yang melahirkan fikih Islam.
Kedua fakta historis dan konkret ini sangat besar indikasinya. Sebagaimana keduanya sangat urgen untuk memahami watak fikih Islam, dan memkonsepsi watak haraki pada hukum-hukum fikih Islam.
Banyak orang pada hari mengikuti teks dan hukum yang telah dibukukan, tanpa memahami dua hakikat tersebut, dan tanpa mengkaji situasi dan kondisi yang ada pada waktu teks-teks itu ditulis dan hukum-hukum itu dibangun, dan tanpa menghadirkan karakter suasana, lingkungan, dan kondisi yang dihadapi dan diarahkan oleh teks-teks tersebut.
Hukum-hukum tersebut dibentuk di dalamnya, mengaturnya, dan hidup di dalamnya. Orang-orang yang berbuat demikian itu, serta berusaha mengemplementasikan hukum-hukum ini seolah-olah ia lahir dalam kekosongan, dan seolah-olah pada hari ini ia bisa hidup dalam kekosongan, mereka itu bukan fuqaha! Mereka itu tidak memiliki “fikih” dengan watak fikih yang sebenarnya, dan dengan watak agama ini sama sekali!
Sesungguhnya “fiqih pergerakan” itu berbeda secara fundamental dengan “fiqih teks-book”, meskipun pada dasarnya “fiqih pergerakan” itu mengambil sumber dan berpijak pada nash-nash yang juga menjadi pijakan dan sumber bagi “fiqih teks-book” itu!
Sesungguhnya fikih pergerakan memasukkan “realitas” yang menjadi tempat turunnya nash itu ke dalam pertimbangannya, serta merumuskan hukum-hukum di dalamnya. Fikih pergerakan melihat bahwa realitas bersama nash dan hukum membentuk suatu komposisi yang unsur-unsurnya tidak terpisah. Apabila unsur-unsur dari komposisi ini terpisah, maka ia kehilangan wataknya dan komposisinya pun buyar!
Dari sini, tidak ada satu hukum fikih pun yang berdiri sendiri, hidup dalam kekosongan, tidak terefleksi di dalamnya unsur-unsur situasi, kondisi, lingkungan, dan konteks yang menjadi tempat kelahirannya pertama kali. Ia tidak muncul dalam kekosongan, dan karenanya ia tidak bisa hidup dalam kekosongan!
Mengenai ketetapan umum ini, ambil contoh hukum fikih Islam mengenai larangan menganggap diri suci dan larangan mencalonkan diri untuk memperoleh jabatan (self-promotion). Hukum ini terambil dari firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32) Dan dari sabda Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)
Hukum ini—sebagaimana nash-nash tersebut turun—lahir di sebuah masyarakat muslim agar diterapkan dalam masyarakat tersebut, agar hukum tersebut hidup di tengahnya, dan agar hukum ini memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, sesuai perkembangan historisnya, sesuai struktur keanggotaannya, dan sesuai realitas esensialnya.
Dari sini, hukum tersebut merupakan hukum Islam yang datang untuk diterapkan dalam sebuah masyarakat Islam. Ia lahir di tengah sebuah realitas, bukan dalam kekosongan imajiner. Ia lahir dalam struktur keanggotaannya, dan dalam ikrarnya terhadap syari’at Islam secara sempurna.
Setiap masyarakat yang di dalamnya tidak terlengkapi unsur-unsur ini dianggap “kosongan” bagi hukum tersebut. Hukum ini tidak bisa hidup di dalamnya, tidak tepat untuknya, dan juga tidak bisa memperbaikinya!
Contohnya adalah setiap hukum pemerintahan Islam. Meskipun dalam konteks ini kami tidak merinci selain hukum ini karena terkait dengan konteks surat.