وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9)
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Ini merupakan gambaran yang jelas dan jujur tentang karakteristik sahabat Anshar. Inilah komunitas yang berbeda dengan sifat-sifatnya dan telah memuncaki cakrawala. Seandainya ia tidak benar-benar terjadi, maka manusia pasti mengiranya sebagai mimpi belaka..
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin)…” yang dimaksud dengan kata ad-dar (kota) di sini adalah Darul Hijrah, yaitu Yatsrib Madinah Rasulullah SAW. Kota itu telah ditinggali orang-orang Anshar sebelum kedatangan kaum Muhajirin, sebagaimana mereka telah menempati iman di sana.
Seolah-olah iman itu adalah tempat tinggal dan rumah bagi mereka. Ini merupakan ungkapan yang memiliki naungan tersendiri. Ia merupakan gambaran yang paling mudah dipahami mengenai sikap orang-orang Anshar terhadap iman. Iman adalah rumah, tempat tinggal dan tanah air yang di dalamnya hati mereka hidup, ruh mereka berdiam, dan mereka selalu merindukannya serta merasakan ketenangan di dalamnya, sebagaimana seseorang merindukan dan merasa tentram dengan kampung halamannya.
“Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin)…”
Sejarah umat manusia seluruhnya tidak pernah menemukan sebuah peristiwa kolektif seperti peristiwa sambutan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dengan cinta yang mulia, dengan pengorbanan yang seluas-luasnya, dengan kebersamaan yang penuh kerelaan, dan dengan berlomba-lomba untuk memberi tempat tinggal dan menanggung beban. Bahkan diri bahwa seorang sahabat Muhajirin tidak tinggal di rumah seorang Anshar kecuali dengan undian, karena jumlah orang-orang yang ingin memberi tempat tinggal itu lebih banyak daripada jumlah orang-orang Muhajirin!
"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin)..”
Seperti kedudukan yang lebih dalam beberapa posisi, harta yang dikhususkan untuk mereka seperti fai’ ini. Mereka tidak merasakan iri sedikit pun terhadap semua itu. Di sini Al-Qur’an tidak menyebut kata hasud atau dhiq (sempit hati), melainkan yang disebut adalah kata syai’ yang artinya sesuatu. Hal ini mengekspresikan kebersihan yang sempurna bagi jiwa mereka dan kebebasan yang mutlak bagi hati mereka. Anda tidak menemukan sesuatu pun sama sekali.
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)..”
Mengutamakan orang lain saat diri sendiri membutuhkan merupakan puncak kemuliaan yang tertinggi. Sahabat-sahabat Anshar telah mencapai puncak tersebut. Sesuatu yang belum pernah disaksikan tandingannya oleh umat manusia. Mereka bersikap seperti itu dalam setiap kesempatan dan dalam setiap keadaan, dengan gambaran yang di luar kebiasaan manusia, dari dahulu hingga kini.
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Kekikiran itulah yang menghalangi setiap kebajikan, karena kebajikan adalah memberi dalam bentuk apapun. Memberi harta, memberi perasaan, memberi tenaga, memberi kehidupan saat dibutuhkan. Kebajikan tidak mungkin dilakukan oleh orang kikir yang perhatiannya selalu tertuju pada mengambil, dan tidak peduli sekalipun untuk memberi.
Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka dia telah dipelihara dari penghalang kebajikan, sehingga ia bergerak bebas menuju kebajikan, sebagai orang yang memberi, menderma, dan pemurah. Inilah keberuntungan dalam arti yang sesungguhnya.