كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (110)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ”(Ali Imran / 3 : 110)
Di dalam al-Qur’an hakikat amar ma’ruf dan nahy munkar ditegaskan di banyak tempat, kami akan membahasnya pada tempatnya nanti. Demikian pula, di dalam Sunnah terdapat banyak perintah dan arahan Nabi saw. Berikut ini kami menukil sebagiannya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Iika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Ketika Bani Israil melakukan berbagai maksiat, maka para ahli agama melarang mereka tetapi mereka tidak mau berhenti. Kemudian ahli agama itu duduk bersama mereka, saling bersandar dengan mereka, dan minum bersama mereka. Kemudian Allah mempertentangkan hati sebagian mereka dengan sebagian yang lain, dan melaknati mereka melalui lisan Dawud, Sulaiman dan Isa bin Maryam.” Kemudian Nabi saw duduk—sebelumnya Beliau bersandar—seraya bersabda: “Demi Dzat yang menguasai diriku, janganlah kalian diam hingga kalian menarik mereka kepada kebenaran dengan kuat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai diriku, kamu harus memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, atau kalau tidak maka Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi)
Dari Aras bin Umairah al-Kindi ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila dosa dilakukan di muka bumi maka orang yang menyaksikannya lalu menolaknya sama seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan barangsiapa yang tidak menyaksikannya tetapi ridha terhadapnya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya.” (HR Abu Dawud)
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di antara jihad yang terbesar adalah kalimat keadilan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pemimpin syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang datang kepada penguasa yang sewenang-wenang lalu memerintahkan dan melarangnya, kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR Hakim dan adh-Dhiya’ dari Jabir ra)
Dan masih banyak lagi hadist-hadist yang lain. Semuanya menegaskan orisinalitas karakter tersebut dalam masyarakat Muslim, dan sekaligus urgensinya bagi mereka. Hadist-hadist ini memuat materi arahan dan dan tarbiyyah yang sistematis dan padat. Arahan-arahan Nabi saw ini, disamping nash-nash al-Qur’an, merupakan bekal yang kita lupakan nilai dan hakikatnya.
Kita kembali kepada bagian lain dari ayat pertama di dalam penggal ini:
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(110)
Ini merupakan motivasi kepada Ahli Kitab untuk beriman, karena iman ini lebih baik bagi mereka. Lebih baik bagi mereka di dunia ini, karena dengan iman ini mereka akan terhindar dari perpecahan dan pembusukan yang menjangkiti konsepsi-konsepsi ideologi yang mereka anut selama ini. Ia juga menghalangi mereka untuk penguatan identitas, karena konsepsi-konsepsi mereka tidak mampu menjadi sistem sosial bagi kehidupan mereka sehingga tatanan-tatanan sosial mereka berdiri tanpa fondasi, timpang atau mengawang di udara sebagaimana layaknya setiap sistem sosial yang tidak berdiri di atas ideologi yang komprehensif dan di atas tafsir yang utuh tentang alam wujud, tujuan eksistensi manusia dan kedudukan manusia di alam semesta ini. Iman juga lebih baik bagi mereka di akhirat, karena ia menghindarkan mereka dari nasib buruk yang telah menanti orang-orang yang tidak beriman.
Ayat ini juga menjelaskan kondisi mereka, tanpa mengabaikan hak orang-orang shalih diantara mereka:
“Diatara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (110)
Sekelompok Ahli Kitab telah beriman dengan keimanan yang baik, di antara mereka adalah Abdullah bin Salam, Asad bin Ubaid, Tsa’labah bi Syu’bah dan Ka’ab bin Malik. Mengenai mereka itulah ayat ini berbicara secara umum—dan secara rinci di dalam ayat berikutnya, sedangkan kebanyakan mereka menyimpang dari agama Allah, ketika mereka tidak mematuhi perjanjian Allah dengan para Nabi: “Hendaknya masing-masing mereka beriman kepada saudaranya yang datang sesudahnya dan membelanya”. Mereka menyimpang dari agama Allah, enggan menerima kehendak Allah yang mengutus Rasul terakhir bukan dari kalangan mereka, dan enggan mengikuti Rasul tersebut dan menerapkan syari’at terakhir dari sisi Allah untuk semua manusia.
Karena sebagian kaum Muslimin masih memiliki berbagai hubungan dengan orang-orang Yahudi di Madinah, dan karena orang-orang Yahudi hingga saat ini masih memiliki kekuatan yang nyata, baik militer ataupun ekonomi, sehingga sebagian kaum Muslimin masih memperhitungkannya, maka al-Qur’an menumbuhkan keyakinan di dalam jiwa kaum Muslimin bahwa urusan orang-orang fasiq itu kecil dan bahwa hakikat mereka lemah karena kekafiran, dosa dan kemaksiatan mereka, karena perpecahan mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok, dan karena kehinaan serta kerendahan yang telah ditetapkan Allah atas mereka.