يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿١١﴾
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (11)
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (11)
Setelah memberi inspirasi tentang nilai-nilai yang hakiki di dalam kriteria Allah, setelah menggugah rasa persaudaraan, bahkan rasa satu jiwa, maka ayat ini menggugah makna iman, serta mengingatkan orang-orang mukmin agar tidak kehilangan sifat yang mulia ini, melenceng dan menyimpang darinya lantaran hinaan, olok-olok, dan memanggil dengan julukan-julukan yang buruk, “Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” Jadi, perbuatan tersebut mirip murtad sesudah beriman! Ayat ini mengangacam dengan menganggap perbuatan ini sebagai kezhaliman, dan kezhaliman merupakan salah satu aktualisasi syirik, “Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.” (11) Dengan demikian ayat ini telah meletakkan kaidah-kaidah etis psikologis bagi masyarakat yang utama dan mulia ini.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (12)
Ayat ini memagari kehormatan, kemuliaan, dan kebebasan individu-individu di dalam masyarakat yang utama dan mulia ini. Ia juga mengajari manusia bagaimana membersihkan perasaan dan nurani mereka, dengan sebuah gaya bahasa yang menyentuh dan mengagumkan.
Serasi dengan surat ini, ayat ini dimulai dengan panggilan penuh cinta, “Hai orang-orang yang beriman..” Kemudian ayat ini menyuruh mereka menjauhi kebanyakan dari prasangka, sehingga mereka tidak membiarkan diri mereka menjadi korban prasangka, syubhat, dan keraguan seputar orang lain. Ayat ini menjelaskan alasan perintah tersebut, “Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa..” Selama larangan ini diterapkan pada sebagian besar prasangka, dan kaidahnya adalah bahwa sebagian prasangka itu adalah dosa, maka ungkapan ini memberi inspirasi kepada hati untuk menjauhi prasangka yang buruk secara total, karena ia tidak tahu prasangka mana yang dosa!
Dengan demikian, al-Qur’an membersihkan nurani dari dalam agar tidak ternodai prasangka yang buruk, sehingga ia jatuh ke dalam dosa. Al-Qur’an menjaganya tetap bersih dan bebas dari berbagai kecurigaan dan keraguan, serta dalam keadaan putih dan sarat cinta kepada saudara-saudaranya tanpa dicemari oleh prasangka buruk. Al-Qur’an menjaganya dalam keadaan bersih tanpa dinodai oleh keraguan, dan dalam keadaan tenang tanpa dikeruhkan oleh kegelisahan dan kecemasan. Betapa rileks hidup di tengah masyarakat yang terbebas dari prasangka!
Tetapi, dalam membina nurani dan hati, Islam tidak terhenti pada aspek yang mulia dan jelas ini. Lebih dari itu, nash ini juga membangun prinsip interaksi dan pagar untuk melindungi hak-hak manusia yang hidup di dalam masyarakatnya yang bersih, sehingga mereka tidak diperlakukan berdasarkan dugaan, tidak dihakimi menurut sesuatu yang ragu. Bahkan, dugaan itu tidak boleh dijadikan dasar untuk menyelidiki mereka dan hal-hal yang ada di sekitar mereka. Rasulullah saw bersabda, “Bila kau menduga, maka kamu tidak menemukan kebenaran..” (HR. Thabrani dengan isnadnya dari Haritsah bin Nu’manusia) Artinya, manusia tetap dalam keadaan bersih, terjaga hak dan kebebasan mereka, sampai terbukti dengan jelas bahwa mereka melakukan hal-hal yang harus diberi sanksi. Tidak cukup dengan dugaan pada mereka untuk menuntut mereka, tanpa mengklarifikasi dugaan yang beredar di sekitar mereka!
Betapa jauhnya dimensi pemeliharaan kehormatan, kebebasan, hak, dan status manusia yang dicapai oleh nash ini! Betapa jauh tertinggal apa yang dibangga-banggakan negeri kampiun demokrasi, kebebasan, dan perlindungan hak-hak manusia di dalamnya, (tertinggal) dari dimensi yang disuarakan al-Qur’an al-Karim kepada orang-orang yang beriman dan menjadi landasan berdirinya masyarakat Islam, direalisasikannya dalam dunia nyata, setelah direalisasikannya dalam realitas nurani!
Kemudian, dalam memberikan jaminan-jaminan bagi masyarakat, al-Qur’an beralih kepada prinsip lain yang berkaitan dengan upaya menjauhi prasangka:
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..”
Mencari-cari kesalahan itu terkadang merupakan aksi yang didasari prasangka, dan terkadang merupakan aksi inisiatif untuk membongkar aib dan melongok kejelekan-kejelekan orang lain.
Al-Qur’an mencegah perbuatan nista ini dari sisi moral, untuk mensucikan kalbu dari orientasi keji semacam ini untuk mencari-cari aib orang lain dan membongkar kejelekan mereka. Hal itu sejalan dengan tujuan-tujuan al-Qur’an untuk membersihkan akhlak dan hati.
Tetapi, masalahnya jauh dampaknya daripada ini, karena ia merupakan salah satu prinsip utama Islam dalam sistem sosialnya, dan di dalam proses-proses legislasi dan eksekusinya.