وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (88)
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’” (QS Al-Anbiya’ [21]: 87)
Kisah Yunus hadir di sini dalam bentuk isyarat yang cepat untuk menjaga kerserasian dalam konteks surat. Kisah tersebut dijelaskan secara rinci di dalam surat Ash-Shaffat. Tetapi kami akan sedikit menjelaskan secara rinci isyarat ini agar dapat dipahami.
Ia dipanggil Dzunnun yang artinya sahabat ikan, karena ia ditelan oleh ikan yang besar lalu dimuntahkan kembali. Alkisah, Nabi Yunus AS diutus ke sebuah kota untuk mengajak penduduknya menyembah Allah, namun mereka menolak ajakannya sehingga beliau kesal dan meninggalkan mereka dalam keadaan marah. Ia tidak sabar menghadapi beban berat dakwah bersama mereka, sambil mengira bahwa Allah tidak akan mempersempit atau menyulitkannya, karena memang bumi ini luas dan negeri di bumi ini ada banyak jumlahnya. Kalau mereka menentang dakwah, maka pasti akan mengistruksikannya ke kaum yang lain. Itulah makna firman Allah, “Lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya).”
Nabi Yunus diutus untuk mengajak sebuah penduduk negeri untuk mengesakan Allah, namun mereka menolak ajakannya. Menghadapi sikap umatnya itu, Yunus ‘alaihis salam kesal dan meninggalkan mereka dalam keadaan marah, serta tidak sabar menjalankan dakwahnya terhadap mereka, karena mengira bahwa Allah tidak mempersempit gerak langkahnya. Bukankah bumi ini luas dan negeri-negeri banyak tersebar? Kalau satu umat menolak dakwah, maka menurutnya Allah akan menginstruksikannya kepada umat yang lain. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah, “Lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya.”
Ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak berputus asa dalam berdakwah dan tidak berhenti mengharap perubahan hati manusia menjadi lebih baik, betapapun mereka itu ingkar dan menolak. Karena ketika nasihat yang keseratus tidak bisa menembus ke dalam hati, maka bisa jadi usaha yang keseratus satu dapat menembusnya. Dan terkadang usaha yang keseribu satu itulah yang berhasil. Seandainya mereka sabar kali ini, berusaha dan tidak putus asa, maka pintu hati mereka pasti terbuka! Sesungguhnya jalan dakwah ini bukan jalan yang mudah dan halus.
Respon jiwa terhadap dakwah itu tidak diperoleh dengan waktu yang singkat dan mudah. Ada tumpukan-tumpukan kebatilan, kesesatan, taklid dan tradisi, sistem dan tetanan, yang mengeruhkan hati. Tumpukan-tumpukan tersebut harus dihilangkan. Hati manusia harus dihidupkan dengan segenap cara.
Ia harus disentuh pada semua titik sensitifnya. Harus ada usaha untuk melewati kesulitan. Salah satu sentuhan itu akan tepat manakala sentuhan-sentuhan dilakukan dengan kontinu, sabar, dan penuh harap. Satu sentuhan terkadang mengubah entitas manusia secara sempurna dalam satu kejap manakala sentuhan itu mengenai tempatnya. Seseorang terkadang benar-benar heran manakala ia telah melakukan seribu percobaan, lalu tiba-tiba satu sentuhan mengenai tempatnya dalam diri manusia, lalu seluruh entitasnya bangkit dengan upaya yang sangat ringan. Padahal sebelumnya ia menguras semua tenaga!
Contoh yang paling saya ingat tentang kasus ini adalah pesawat radio penerima siaran ketika Anda mencari sebuah gelombang siaran. Anda menggerakkan turner-nya naik turun, namun gelombang yang tertangkap tidak tepat, padahal Anda mencarinya dengan sangat teliti. Namun, tiba-tiba tangan Anda bergerak secara spontan, lalu tertangkaplah gelombang siaran dan lagu pun mengalun kencang! Hati manusia itu lebih menyerupai pesawat radio penerima. Para pelaku dakwah harus berusaha menggerakkan turner untuk menemukan hati dari balik cakrawala, dan satu sentuhan sesudah seribu sentuhan itu terkadang membuatnya menemukan sumber siaran!
Sangat mudah bagi pelaku dakwah untuk marah ketika orang-orang tidak menjawab dakwahnya, lalu ia meninggalkan mereka. Itu adalah amal yang merilekskan. Terkadang ia bisa meredam kemarahan dan menentangkan syaraf. Tetapi, dimana letak dakwahnya? Apa untungnya meninggalkan orang-orang yang mendustakan dan menentang?
Sesungguhnya dakwah itulah yang pokok, bukan individu da‘i! Silakan dadanya sempit, tetapi hendaknya ia menahan diri dan terus bekerja. Lebih baik baginya untuk bersabar sehingga dadanya tidak sempit dengan apa yang mereka katakan!
Sesungguhnya da‘i adalah alat di tangan takdir. Allah lebih menaungi dan menjaga dakwah-Nya. Karena itu, hendaklah da‘i itu menjalankan kewajiban dalam situasi dan kondisi apapun, sementara sisanya ada di tangan Allah. Tidak ada petunjuk selain petunjuk Allah.
Sesungguhnya kisah Dzunnun ini memuat pelajaran yang seyogianya direnungkan oleh para pelaku dakwah. Kembalinya Dzunnun kepada Rabb-nya dan pengakuannya akan kezhaliman dirinya benar-benar menjadi pelajaran yang patut direnungkan para pelaku dakwah. Sesungguhnya rahmat Allah kepada Dzunnun dan diperkenankannya doanya saat berada di dalam kegelapan itu benar-benar menjadi berita gembira bagi orang-orang mukmin. “Demikianlah kami menyelamatkan orang-orang mukmin.”