وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (16) لَوْ أَرَدْنَا أَنْ نَتَّخِذَ لَهْوًا لَاتَّخَذْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا إِنْ كُنَّا فَاعِلِينَ (17) بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ (18)
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (16) Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan (istri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Kami tidak melakukannya (17). Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (16-18)
Allah Subhanah menciptakan alam semesta ini dengan hikmah (wisdom), bukan untuk main-main dan sendau-gurau. Allah mengendalikannya dengan hikmah, bukan dengan serampangan dan menurut nafsu. Dan dengan keseriusan seperti saat menciptakan langit dan bumi beserta apa-apa yang ada di antara keduanya itu, (dengan keseriusan yang sama) Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, menetapkan berbagai kewajiban, dan menggariskan tugas-tugas. Jadi, keseriusan merupakan perkara fundamental pada watak alam semesta ini. Baik dalam aturannya, atau akidah yang dikehendaki Allah bagi manusia, atau hisab yang diberlakukan pada mereka sesudah mati.
Seandainya Allah Subhanah berkehendak menjadikan suatu permainan, maka Allah pasti mewujudkan permainan itu dari sisi-Nya. Sebuah permainan yang sifatnya subyektif atau personal, dan tidak terkait dengan makhluk yang baru dan fana.
Ini hanya sekedar asumsi dialektis: “Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan (istri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami..” (17) Kata law (sekiranya)—menurut para ahli gramatika Arab—merupakan kata yang mengindikasikan kemustahilan suatu hal karena kemustahilan hal lain. Ia menunjukkan kemustahilan akibat dikarenakan sebabnya kemustahilan. Maksudnya, Allah mustahil ingin membuat suatu permainan, maka mustahil ada permainan, baik dari sisi-Nya, atau dari sesuatu di luar diri-Nya.
Permainan itu tidak akan ada karena Allah Subhanah sejak awal tidak menginginkannya, dan tidak mengarahkan kehendak-Nya terhadap permainan sama sekali: “Kami tidak melakukannya.” (17) Lafazh in adalah partikel negatif dengan arti ma (tidak). Kalimat ini menunjukkan tiadanya kehendak untuk melakukan hal tersebut sejak awal.
Ini hanya sekedar asumsi dialektika untuk menetapkan suatu hakikat yang abstrak. Yaitu bahwa segala sesuatu yang terkait dengan Dzat Allah Subhanah itu qadim (abadi masa lalu) bukan baru, dan baqa (abadi masa depan) bukan fana. Seandainya Allah Subhanah berkehendak menjadikan permainan, maka permainan itu bukan sesuatu yang baru, dan tidak terkait dengan sesuatu yang baru seperti langit dan bumi beserta apa-apa yang di antara keduanya, karena seluruhnya adalah baru. Melainkan permainan yang sifatnya dzat dari sisi Allah Subhanah, sehingga permainan tersebut bersifat azali (abadi masa lalu) lagi baqa (abadi masa depan), karena ia terkait dengan Dzat azali lagi baqa.
Tetapi, undang-undang yang telah ditetapkan dan sunnah yang berlaku kosntan tidak menghendaki permainan, melainkan yang ada adalah keseriusan dan kebenaran, sehingga kebenaran yang mendasar itu mengalahkan kebatilan yang sifatnya aksidental:
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya..”
Kata bal (sebenarnya) di sini untuk peralihan dari pembicaraan tentang tema permainan kepada pembicaraan tentang realitas yang mantap, sunnah berlaku padanya, dan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Yaitu menangnya kebenaran dan hancurnya kebatilan.
Ungkapan ini melukiskan sunnah dalam bentuk yang konkret, hidup, dan bergerak. Seolah-olah kebenaran itu adalah ketapel di tangan kekuasaan yang digunakannya untuk melempar kebatilan sehingga pecah! Maka, ia pun lenyap dan musnah.
Inilah sunnah yang telah mantap, karena kebenaran merupakan unsur orisinil dalam watak alam semesta, dan sesuatu yang mengakar dalam pembentukan wujud. Sementara kebatilan itu terhapus dari esensinya alam semesta ini secara mendasar, bersifat insidental, tidak memiliki orisinalitas di dalamnya, tidak memiliki kekuasaan, disingkirkan Allah, dan dilempar-Nya dengan kebenaran sehingga hancur. Tidak ada sesuatu yang bisa bertahan manakala Allah telah menyingkirkannya, dan tidak ada kehidupan bagi sesuatu yang dilempar tangan Allah hingga hancur!
Terkadang manusia berimajinasi bahwa realitas kehidupan itu berlawanan dengan hakikat yang ditetapkan Tuhan yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ini. Hal itu terjadi dalam beberapa waktu dimana kebatilan tampak menggelembung seolah-olah ia menang, dan kebenaran tampak tersingkir seolah-olah kalah. Semua itu terjadi hanya sesaat, dimana Allah membiarkan apa yang dikehendaki-Nya itu untuk ujian dan cobaan. Kemudian, berlakulah sunnah yang azali dan baqa yang menjadi fondasi berdirinya langit dan bumi, serta menjadi fondasi seluurh akidah dan dakwah.
Orang-orang yang beriman kepada Allah itu hatinya tidak terasuki keraguan terhadap kebenaran janji-Nya, terhadap orisinitas kebenaran dalam bangunan dan sistem alam semesta ini, dan terhadap keunggulan kebenaran yang dilemparkan pada kebatilan lalu kebenaran itu menghancurkannya. Apabila Allah menguji mereka dengan kemenangan kebatilan untuk sementara waktu, maka mereka mengetahui bahwa itu adalah fitnah, memahami bahwa itu adalah ujian, dan merasa bahwa Tuhan mereka sedang membina mereka, karena dalam diri mereka ada kelemahan atau kekurangan.
Allah ingin menyiapkan mereka untuk menyambut kebenaran yang pasti menang dan menjadikan mereka sebagai tabir kekuasaan. Karena itu, Allah membiarkan mereka melewati masa ujian untuk menyempurnakan kekurangan dan menerapi kelemahan dalam diri mereka. Manakala mereka memperoleh kesembuhan dengan cepat, maka Allah memperpendek masa ujian dan merealisasikan apa yang dikehendaki-Nya melalui tangan mereka. Sedangkan kesudahannya telah ditetapkan: “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap..” (18) Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Demikianlah, al-Qur’an al-Karim menetapkan hakikat tersebut bagi orang-orang musyrik yang berkata tidak sepantasnya terhadap al-Qur’an dan terhadap Rasul saw, serta menyebutnya sebagai sihir, syair, dan rekayasa. Itulah kebenaran yang menang dan menghancurkan kebatilan, maka kebatilan itu pun lenyap. Kemudian, al-Qur’an al-Karim mengulas ketetapan terebut dengan peringatan kepada mereka akan akibat dari ucapan mereka, “Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (18)
Kemudian konteks surat memaparkan kepada mereka satu contoh di antara contoh-contoh ketaatan dan ibadah, berbanding terbalik dengan maksiat dan sikap berpaling mereka. Sebuah contoh dari makhluk yang lebih dekat kepada Allah daripada mereka. Meski demikian, mereka tetap taat dan beribadah kepada-Nya, tidak pernah jemu, dan tidak pernah jemu dan tidak pernah kurang dari batas.
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (19-20)
Tidak ada yang mengetahui penghuni langit dan bumi selain Allah, dan tidak ada yang menghingga mereka selain Allah. Pengetahuan manusia tidak bisa memastikan selain keberadaan manusia.
Orang-orang mukmin meyakini keberadaan para malaikat dan jin hanya karena keduanya disebut di dalam al-Qur’an. Tetapi, kita tidak mengetahui tentang mereka kecuali yang diberitakan Pencipta mereka. Bisa jadi ada makhluk berakal di selain planet bumi ini, dengan watak dan bentuk yang sesuai dengan watak planet-planet tersebut. Dan pengetahuan tentang hal tersebut ada pada Allah.
Apabila kita membaca ayat, “Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi..” maka kita mengetahui apa yang kita tahu dari mereka, dan kita serahkan pengetahuan tentang yang tidak kita tahu kepada Pencipta langit dan bumi beserta penghuninya.
Pemahaman yang paling dekat terhadap lafazh wa man ‘indahu (dan siapa-siapa yang ada di sisi-Nya) adalah para malaikat. Tetapi, kami tidak membatasinya selama nash ini bersifat umum dan mencakup para malaikat dan selain mereka. Dan dari nash dipahami bahwa mereka itulah yang paling dekat dengan Allah. Jadi, kata ‘inda (di sisi) bagi Allah itu bukan berarti tempat dan tidak membatasinya sama sekali.
“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya..” seperti keangkuhan orang-orang musyrik, “dan tiada (pula) merasa letih”, maksudnya teledor dalam ibadah. Karena kehidupan mereka seluruhnya diisi dengan ibadah dan tasbih pada siang dan malam, tanpa berhenti dan tanpa jeda.
Manusia bisa menjadikan kehidupan mereka seluruhnya sebagai ibadah tanpa putus untuk bertasbih dan ta’abbud seperti para malaikat, karena Islam menganggap setiap gerak dan nafas adalah ibadah apabila diorientasikan pelakunya kepada Allah, meskipun berupa kesenangan pribadi dengan perkara-perkara yang baik dalam kehidupan!