الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
“(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat…” (QS. Al-Anfaal: 3)
Kita melihat bahwa iman itu memiliki bentuk gerakan lahiriah sesudah kita melihatnya dalam sifat-sifatya terdahulu sebagai perasaan hati dan batin. Hal itu karena iman merupakan keyakinan yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengana amal perbuatan. Maka, amal ini merupakan fenomena lahiriah bagi iman yang memang harus memiliki bukti-bukti lahiriah yang jelas.
Mendirikan shalat itu bukan sekadar mengerjakan shalat. Mendirikan shalat adalah menunaikan shalat dengan merealisasikan hakikatnya. Yaitu, penunaian yang sempurna dan sesuai dengan posisi seorang hamba yang sedang mengabdikan diri di hadapan Al-Ma’bud (Tuhan yang disembah).
Jadi, bukan sekadar membaca, berdiri, ruku, dan sujud, sedang hatinya lalai. Shalat dalam wujudnya yang sempurna menjadi bukti riil adanya iman.
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Baik yang berupa zakat maupun non-zakat. Mereka menafkahkan “sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Maka, apa yang mereka nafkahkan itu adalah sebagian dari rezeki Yang Maha Pemberi rezeki yang diberikan-Nya kepada mereka.
Nash Alquran memang senantiasa memiliki bayang-bayang dan kesan-kesan. Maka, mereka sama sekali tidak pernah menciptakan harta ini. Tetapi, harta itu diberikan Allah kepada mereka di samping rezeki-rezeki lain yang tak terhitung nilainya.
Apabila mereka memberikan infak, maka yang mereka infakkan itu hanya sebagian saja dari rezeki itu. Sedangkan, sebagian yang lain mereka pergunakan untuk keperluan mereka sendiri. Semua itu adalah rezeki dari Allah semata.
Itulah sifat-sifat iman yang ditetapkan Allah dalam ayat-ayat ini. Yaitu, yang meliputi keyakinan terhadap keesaan Allah, kepatuhan perasaan untuk mengingat Allah, kesan hati terhadap ayat-ayat-Nya, bertawakal kepada-Nya saja, mendirikan shalat karena Allah, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
Sifat-sifat ini belum menggambarkan detil-detil iman sebagaimana disebutkan dalam nash-nash lain. Namun, hanya dalam menghadapi satu kondisi riil saja. Yaitu, perselisihan tentang harta rampasan perang dan kerusakan hubungan yang ditimbulkan olehnya. Kemudian disebutkanlah sifat-sifat orang mukmin di dalam menghadapi kondisi ini.
Pada waktu yang sama, ayat-ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat ini secara total berarti tidak terdapat hakikat iman pada dirinya, dengan menutup mata apakah syarat-syarat iman diselidiki secara mendalam atau tidak.
Maka, manhaj Rabbani dengan Alquran inilah yang menetapkan syarat-syarat dan pengarahan-pengarahan di dalam menghadapi kondisi-kondisi riil yang bermacam-macam. Karena, manhaj Alquran merupakan manhaj yang realistis, praktis, dan dinamis. Ia bukan cuma teoritis yang ditekankan pada bangunan teori dan pemaparannya.
Sesuai dengan kaidah ini, maka datanglah komentar akhir pada ujung ayat,
أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (rahmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 4)
Sifat-sifat ini hanya terdapat pada diri dan amalan orang yang beriman dengan sebenarnya. Barangsiapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini secara total, maka dia tidak memiliki sifat iman. Pada waktu yang sama, ayat-ayat ini untuk menghadapi kondisi saat ia diturukan.
Di antaranya, untuk menjelaskan tentang orang yang berkeinginan untuk mati syahid sebagai ujian yang baik, bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini “akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya”. Juga untuk menghadapi perselisihan dengan moralitas ang buruk, sebagaimana dikatakan oleh Ubadah ibnush-Shamit, bahwa orang yang memiliki sifat-sifat iman ini akan mendapatkan “pengampunan” dari Tuhan mereka.
Maka, ditutuplah seluruh keadaannya, semua perasaan dan sikap yang meliputi dan melingkupinya. Pada waktu yang sama ditetapkan hakikat temanya bahwa orang yang tidak memiliki sifat-sifat ini secara total, maka dia akan mendapatkan hakikat iman.
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya…”
Kelompok muslim pertama sudah diberi tahu bahwa iman itu memiliki hakikat yang harus dijumpai oleh setiap orang di dalam dirinya. Iman itu bukan pengakuan hampa, bukan sekadar pernyataan lisan, dan bukan pula imajinasi kosong.
Al-Hafizh ath-Thabrani mengatakan bahwa telah diinformasikan kepadanya oleh Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami dari Abu Kuraib, dari Zaid ibnul-Habbab, dari Ibnu Luhai’ah dan khalid bin Yazid as-Saksaki dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Muhammad bin Abul Jahm, dari al-Harits bin Malik al-Anshari, bahwa ia pernah melewati Rasulullah, lalu beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Harits?” Al-Harits menjawab, “Pagi ini saya sebagai orang mukmin yang sebenarnya.”
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah apa yang engkau ucapkan itu, karena tiap-tiap sesuatu itu memiliki hakikat. Apakah hakikat keimananmu?”
Al-Harits menjawab, “Diriku telah menjauhi keduniaan, aku berjaga (tidak tidur) pada malam hari dan haus (berpuasa) pada siang hari, seolah-olah aku melihat Arasy Tuhanku tampak jelas, seakan-akan aku melihat para ahli surga sedang saling berkunjung, dan seakan-akan aku melihat para ahli neraka sedang meliuk-liuk kelaparan dan kepanasan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Harits, engkau sudah mengerti, maka konsistenlah!” Beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali.
Sahabat yang telah mendapatkan kesaksian dari Rasulullah sebagai orang yang mengerti keadaan dirinya ini, melukiskan perasaanya dan amalan serta gerakan yang ada di belakang perasaan itu. Orang yang seakan-akan melihat Arasy Tuhannya tampak jelas, melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan melihat para ahli neraka sedang meliuk-liuk kelaparan dan kepanasan, bahwa ia tidak hanya sekadar melihat.