وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Kepada Tuhanlah mereka bertawakal….”
Hanya kepada-Nya saja mereka bertawakal, sebagaimana ditunjuki oleh bentuk kalimatnya. Mereka tidak mempersekutukan-Nya dengan seorang pun untuk mereka mintai pertolongan dan perlindungan.
Atau, sebagaimana ulasan Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Yakni, mereka tidak berharap kepada selain-Nya, tidak mengarahkan permintaan kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali kepada perilndungan-Nya, tidak meminta pemenuhan kebutuhannya kecuali kepada-Nya, dan tidak menadahkan harapan kecuali kepada-Nya.
“Mereka mengerti bahwa apa yang yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Juga mengerti pula bahwa Dialah yang menjalankan kekuasaan-Nya, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalang-halangi- perlaksanaan keputusan-Nya, sedang Dia Mahacepat perhitungan-Nya. Oleh karena itu, Sa’id bin Jubair berkata, ‘Tawakal kepada Allah merupakan keseluruhan unsur iman.”
Inilah kemurnian kepercayaan terhadap keesaan Allah, ketulusan ibadah kepada-Nya, tanpa selain-Nya. Maka, tidak mungkin berkumpul dalam hati seseorang antara sikap mentauhidkan Allah dan bertawakal kepada apa pun selain kepada Allah.
Orang-orang yang hatinya bertawakal kepada seseorang atau kepada suatu sebab, maka ia harus mempertanyakan kepada hatinya tentang keimanannya kepada Allah.
Tawakal kepada Allah Yang Maha Esa ini tidak menghalangi manusia untuk melakukan sebab-sebab atau usaha. Orang yang beriman menjadikan sebab ini sebagai bab iman kepada Allah dalam menaati perintah-Nya untuk melakukan usaha itu.
Namun, ia tidak menjadikan sebab itu sebagai sesuatu yang menimbulkan hasil lantas ia bertawakal kepadanya. Yang menimbulkan hasil, sebagaimana yang menimbulkan sebab, adalah ketentuan Allah. Tidak ada hubungan antara sebab dan hasil di dalam perasaan orang mukmin.
Mengambil sebab (melakukan usaha) merupakan suatu ibadah karena itu adalah ketaatan. Sedangkan, kenyataan keberhasilan merupakan qadar dari Allah yang bebas dari sebab mana pun. Tidak ada yang berkuasa menjadikan keberhasilan ini kecuali Allah.
Dengan demikian, perasaan orang yang beriman itu bebas dari menyembah sebab-sebab dan dari bergantung kepadanya. Pada waktu yang sama, ia melakukan usaha-usaha sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan pahala dari Allah sebagai pelaksaan ketaatan.
Jahiliyah “ilmiyah” modern telah memasuki apa yang disebut dengan “ketentuan hukum alam”, untuk menafikan ‘qadar Allah’ dan ‘kegaiban Allah’. Pada akhirnya, hal itu menghentikan sarana-sarana dan eksperimen-eksperimennya sendiri di hadapan kegaiban Allah dan qadar-Nya seperti berhentinya orang yang tidak mampu mendapatkan informasi yang pasti, dan berlari kepada teori ‘kemungkinan’ di dunia materi.
Sehingga, semua yang pasti menjadi mungkin, dan ‘yang gaib’ sebagai rahasia yang tertutup. Tinggallah qadar Allah sebagai satu-satunya hakikat yang meyakinkan. Juga firman Allah, “Kamu tidak tahu barangkali sesudah itu Allah menjadikan sesuatu”, sebagai satu-satunya undang-undang yang pasti.
Yakni, yang berbicara dengan benar tentang kemutlakan kehendak Ilahi di balik undang-undang alam yang dengannya Allah mengatur alam semesta ini, dengan qadar-Nya yang berlaku secara mutlak.
Sir James Jeans, seorang profesor matematika dan ilmu alam dari Inggris berkata, “Ilmu pengetahuan tempo dulu menetapkan dengan ketetapan yang dapat dipercaya, bahwa alam ini tidak menempuh kecuali satu jalan. Yaitu, jalan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk ditempuh olehnya sejak permulaan zaman hingga akhir zaman, secara berkesinambungan sesuai dengan sebab-akibat. Ia tidak dapat lepas dari kondisi (a) yang diikuti oleh kondisi (b).
“Sedangkan menurut ilmu pengetahuan moderen, segala sesuatunya dapat dikatakan atau diprediksi hingga sekarang. Yaitu, bahwa kondisi (a) kemungkinan diikuti oleh kondisi (b), (c), atau (d), atau kondisi-kondisi lain yang tak terbatas kemungkinannya.
Memang, dapat saja dikatakan bahwa terjadi kondisi (b) lebih besar kemungkinannya daripada kondisi (c), dan kondisi (c) lebih besar kemungkinannya daripada kondisi (d) dan seterusnya. Bahkan, diperbandingkan tingkat kemungkinan-kemungkinan antara (a), (b), (c), dan (d).
Namun, tidak dapat dipastikan, kondisi-kondisi mana yang mengikuti kondisi yang lain. Karena, semuanya dalam pencarian kemungkinan-kemungkinannya. Ada pun apa yang pasti terjadi, semuanya diserahkan kepada takdir, bagaimana pun hakikat takdir itu.
Apabila hati telah bebas dari tekanan sebab-sebab lahiriyah, maka di sana sama sekali tidak ada tempat untuk bertawakal kepada selain Allah. Qadar Allah itulah yang menjadikan setiap peristiwa. Hanya ini sajalah satu-satunya hakikat yang meyakinkan. Sedangkan, sebab-sebab lahiriyah hanya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang bersifat zhanniyah ‘dugaan’ belaka.
Inilah peralihan besar yang dipindahkan oleh akidah Islami terhadap hati manusia dan pikirannya. Yakni, peralihan yang telah dijalani oleh kejahiliyahan dengan tanpa petunjuk selama tiga abad untuk mencapai tingkatan utama dalam bidang pemikiran.
Namun, tidak sedikit pun menyentuh aspek perasaan, yang menimbulkan hasil-hasil kerja yang riskan di dalam menyikapi qadar Allah. Juga di dalam menyikapi sebab-sebab dan kekuatan-kekuatan lahiriyah.
Peralihan ini adalah peralihan yang berupa kebebasan berpikir, merasa, berpolitik, sosial, moralitas, dan bentuk-bentuk kebebasan lainnya. Manusia tidak akan dapat bebas sama sekali jika mereka masih menjadi budak “kepastian” yang bukan iradah dan qadar Allah, yang menjadi kaidah ubudiyah kepada selain Allah dan qadar-Nya.
Oleh karena itu, ditegaskan di sini untuk bertawakal kepada Allah saja, dan hal ini dianggap sebagai syarat bagi ada atau tidak adanya iman. Pandangan i’tiqadi dalam Islam itu saling melengkapi, dan sangat sesuai dengan bentuk realitas yang dikehendaki agama ini bagi kehidupan manusia.