إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal." (QS. Al-Anfaal: 2-4)
Pengungkapakan Alquran dengan bangunan kata yang lembut ini menunjukkan materi kandungan maknawi (spritual)nya. Di dalam ungkapannya ini terdapat kata sandang untuk membatasi, yaitu innamaa ‘hanya’, dan tidak ada alasan untuk mentakwilkannya (memberinya arti lain).
Di sini, juga terdapat ketetapan yang halus, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ‘iman yang sempurna’. Tidak, tidak demikian! Sebab, seandainya yang dimaksud itu, ‘iman yang sempurna’, tentu Allah Yang Mahsuci sudah mengatakannya begitu.
Ungkapan ini merupakan ungkapan yang membatasi serta halus dan lembut petunjuknya, bahwa orang-orang yang demikian sifat-sifatnya, amalannya, dan perasaannya adalah orang-orang mukmin, orang-orang yang beriman. Orang-orang yang tidak demikian sifat-sifatnya secara keseluruhan, bukanlah orang mukmin.
Ta’kid atau penegasan pada akhir ayat, “Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya’, merupakan penegasan terhadap hakikat ini. Maka, orang-orang yang bukan mukmin yang sebenarnya, sama sekali bukan orang mukmin. Kalimat-kalimat Alquran itu saling menafsirkan. Allah berfirman,
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka, apalagi sesudah kebenaran kalau bukan kesesatan?” (QS. Yunus: 32)
Dengan kata lain, apa yang bukan kebenaran adalah kesesatan.
Tidak dapat diterima pemahaman yang mengatakan bahwa antonim (kebalikan) dari sifat ‘orang-orang mukmin yang sebenarnya’ adalah orang-orang mukmin yang tidak sempurna imannya. Ungkapan Alquran yang lembut dan cermat ini tidak boleh ditentang dengan takwil-takwil yang mudah meleleh dengan segala ilustrasi dan pernyataan-pernyataan.
Oleh karena itu, para salaf mengetahui dari ayat-ayat ini bahwa orang yang pada dirinya tidak terdapat sifat-sifat dan amalan-amalan seperti yang disebutkan ini, berarti tidak terdapat keimanan di dalam hatinya dan dia sama sekali bukan orang yang beriman.
Disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa mengenai firman Allah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka’, Ali bin Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, “Orang-orang munafik itu di dalam hatinya tidak terbetik sedikit pun ingat kepada Allah ketika menunaikan suatu kewajiban.
“Mereka tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, tidak bertawakal kepada-Nya, tidak menunaikan shalat apabila jauh dari pandangan orang lain, dan tidak menunaikan zakat harta mereka. Lantas, Allah menginformasikan bahwa mereka bukan orang yang beriman.
“Kemudian, Allah menyifati orang-orang mukmin dengan firman-Nya, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka.’ Lantas, mereka menunaikan kewajiban-kewajibannya. ‘Dan, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka’, yakni bertambah keyakinan mereka. “Kepada Tuhanlah mereka bertawakal”, yakni tidak berharap kepada selain-Nya.”
Akan kita lihat dari sifat-sifat ini bahwa tidak mungkin ada iman tanpa sifat-sifat ini. Persoalannya, bukanlah persoalan kesempurnaan atau kekurangan iman. Persoalannya adalah persoalan ada atau tidaknya iman.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka….” (QS. Al-Anfaal: 2)
Ini adalah getaran perasaan yang menyentuh kalbu orang mukmin ketika disebut nama Allah dalam suatu perintah atau larangan. Maka, ia merasa tertutup oleh keagungan-Nya, meluaplah rasa takutnya kepada-Nya, terbayanglah olehnya keagungan Allah dan kehebatan-Nya.
Di samping itu, terbayang pula kekurangan dirinya dan dosa-dosanya, lantas termotivasi untuk melakukan amal dan ketaatan. Atau, seperti yang dikatakan Ummud Darda’ r.a. yang diriwayatkan oleh Ats-Tsauri, dari Abdullah bin Utsman bin Khatsyam, dari Syahr bin Hausyab.
Ummud Darda’ berkata, “Gemetar dalam hati itu seperti bisul yang panas (hendak pecah), apakah engkau merasa gemetar waktu itu?” Yang ditanya menjawab, “Benar.” Ummu Darda’ berkata, “Apabila engkau merasa hal itu, maka berdoalah kepada Allah, karena doa itu dapat menghilangkan hal itu.”
Itulah keadaan hati yang memerlukan doa untuk menenangkan dan menenteramkannya. Dan begitulah keadaan hati orang mukmin ketika disebut nama Allah dalam suatu perintah atau larangan, sehingga ia lantas melaksanakan perintah itu dan menjauhi larangan tersebut, sebagaimana dikehendaki Allah Yang Mahaluhur, karena mengagungkan Allah dan takut kepada-Nya. (bersambung)