يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنفَالِ قُلِ الأَنفَالُ لِلّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.’" (QS. Al-Anfaal: 1)
Sungguh merinding seseorang ketika melihat para peserta Perang Badar membicarakan harta rampasan perang. Padahal, mereka adalah kaum Muhajirin yang telah rela meninggalkan segala sesuatu untuk berhijrah guna menyelamatkan akidah mereka, tanpa menghiraukan kekayaan dunia sedikit pun.
Sementara itu, orang-orang Anshar yang telah membantu kaum Muhajirin dengan merelakan harta dan rumah-rumah mereka untuk dimakan dan ditempati bersama, tidak ada sedikit pun yang bakhil terhadap kekayaan dunia sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya.
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Hasyr: 9)
Akan tetapi, kita dapati sebagian tafsir membawakan beberapa riwayat yang memaparkan fenomena ini (fenomena tentang perselisihan antar beberapa individu dalam status kepemilikan harta rampasan perang, red).
Harta rampasan pada waktu itu berhubungan dengan cobaan yang baik dalam peperangan. Dengan begitu, ia menjadi bukti cobaan yang baik. Pada waktu itu, orang-orang sangat berambisi mendapatkan bukti atau kesaksian ini dari Rasulullah dan dari Allah, dalam peperangan pertama untuk mengobati hati mereka dari sakit hati terhadap orang-orang musyrik.
Ambisi ini telah menutup dan mengalahkan persoalan lain yang dilupakan oleh orang-orang yang membicarakan surah Al-Anfaal. Sehingga, Allah mengingatkan mereka dan mengambalikan mereka kepada-Nya.
Inilah keharusan bertoleransi di antara mereka dalam bergaul, serta berdamai dalam hati dan perasaan. Sehingga, mereka menyadarinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ubadah ibnush-Shamit r.a., “Mengenai kami, para peserta Perang Badar, diturunkannya surah ini ketika kami berselisih tentang harta rampasan perang, dan akhlak kami menjadi buruk. Maka, Allah melepaskan harta rampasan itu dari tangan kami, dan menyerahkannya kepada Rasulullah saw.”
Allah telah memberikan tarbiyah Rabbaniyah kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, dengan dilepaskan-Nya seluruh harta rampasan dari tangan mereka dan dikembalikan-Nya kepada Rasulullah. Sehingga, Dia menurunkan hukum mengenai pembagian harta rampasan ini secara keseluruhan.
Maka, harta rampasan ini bukan hak mereka yang patut mereka perselisihkan. Akan tetapi, merupakan karunia dari Allah kepada mereka, yang dibagi-bagikan oleh Rasulullah sebagaimana yang diajarkan Allah kepada beliau. Hal ini selain pendidikan praktis sekaligus merupakan pengarahan jangka panjang, yang dimulai dengan ayat-ayat ini, dan berkelanjutan dengan ayat-ayat berikutnya.
(QS. Al-Anfaal: 1)
Bisikan yang datang kepada hati yang berselisih tentang harta rampasan ini adalah bisikan supaya bertakwa kepada Allah. Mahasuci Pencipta hati Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia hati. Dia tidak memalingkan hati dari kepekaan terhadap kekayaan kehidupan dunia dan tidak melepaskannya, meskipun penjelasan ini sarat dengan makna sebagai bukti terhadap ujian yang baik.
Yaitu, memokuskan perasaan untuk bertakwa kepada Allah, takut kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dalam urusan dunia dan akhirat. Sesungguhnya hati yang tidak bergantung kepada Allah, tidak takut kemurkaan-Nya, dan tidak mencari ridha-Nya, niscaya ia tidak akan dapat lepas dari beban harta kekayaan duniawi dan tidak akan dapat bebas merdeka.
Takwa merupakan kendali hati, yang dapat menuntunnya untuk tunduk dan patuh kepada Allah dengan mudah. Dengan kendali ini, Alquran membimbing hati untuk memperbaiki dirinya sendiri.
“…Sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu…”
Dengan kendali ini, Alquran membimbingnya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, “Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya….”
Ketaatan pertama di sini ialah ketaatan kepada hukum yang telah ditetapkan Allah berkenaan dengan harta rampasan perang. Harta rampasan perang itu telah lepas dari tangan seorang peserta perang secara mutlak, dan kepemilikannya secara mendasar kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka, hak penggunaan harta itu bermuara kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sikap lain bagi orang-orang yang beriman selain menyerah kepada hukum Allah dan pembagian Rasulullah dalam masalah harta rampasan perang ini, dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang rela.
Dengan demikian, mereka akan dapat memperbaiki hubungan dan perasaan mereka. Hati mereka menjadi jernih di dalam menghadapi sebagian yang lain. Begitulah, “…Jika kamu adalah orang-orang yang beriman…”
Oleh karena itu, iman harus memiliki bentuk amaliah yang praktis dan tampak jelas. Tujuannya untuk memantapkan keberadaannya dan menerjemahkan hakikatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Iman itu bukan angan-angan (khayalan) dan bermanis mulut. Akan tetapi, iman adalah sesuatu (keyakinan) yang mantap di dalam hati dan dibuktikan dengan amal.” (HR. Ad-Dailami dari Anas)
Oleh karena itu, komentar semacam ini banyak terdapat di dalam Alquran untuk mengukuhkan makna yang ditetapkan oleh Rasulullah ini, dan untuk mentakrifkan iman dan mendefinisikannya. Juga untuk mengeluarkannya dari sekadar kata-kata yang diucapkan dengan lisan, atau angan-angan kosong yang tidak ada realisasinya dalam dunia amal yang nyata. (bersambung)