قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى قَالُواْ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُنَا تُرِيدُونَ أَن تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَآؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُّبِينٍ ﴿١٠﴾
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِن نَّحْنُ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللّهَ يَمُنُّ عَلَى مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَن نَّأْتِيَكُم بِسُلْطَانٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَعلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١١﴾
وَمَا لَنَا أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ ﴿١٢﴾
Para Rasul mulia itu tidak menerima untuk melebur di dalam perhimpunan jahiliyah dan larut di dalamnya. Mereka tidak mau kehilangan watak perhimpunan khusus mereka. Perhimpunan yang berpijak pada fondasi yang berbeda dengan fondasi perhimpunan jahiliyah. Mereka tidak berkata seperti yang dikatakan orang-orang yang tidak memahami hakikat Islam dan hakikat komposisi organisasional masyarakat, “Baiklah! Kami akan melebur dalam agama mereka agar kami bisa menjalankan dakwah kami dan melayani akidah kami melalui mereka!”
Pemisahan diri Islam dengan akidahnya dari masyarakat jahiliyah itu pasti diikuti dengan pemisahan dirinya dengan komunitas Islaminya, kepemimpinannya, dan loyalitasnya. Tidak ada pilihan dalam hal ini. Ini adalah sebuah kepastian di antara kepastian-kepastian pembentukan organisasi bagi masyarakat. Pembentukan yang menjadikan perhimpunan jahiliyah sangat sensitif terhadap dakwah Islam yang berdiri di atas fondasi ‘ubudiyyah manusia kepada Allah semata; dan menyingkikan tuhan-tuhan palsu dari pusat kepemimpinan dan kekuasaan. Sebagaimana ia menjadikan setiap anggota muslim yang larut dalam masyarakat jahiliyah itu sebagai pelayan bagi perhimpunan jahiliyah, bukan pelayan bagi Islamnya, sebagaimana dugaan sebagian orang-orang yang tertipu!
Kemudian masih ada hakikat yang besifat takdir yang seyogianya tidak dilupakan para da’i dalam semua kondisi, yaitu bahwa realisasi janji Allah berupa kemenangan dan kedudukan yang kuat bagi wali-wali-Nya; pemutusan perkara di antara mereka dengan haq itu tidak terjadi kecuali sesudah para juru dakwah itu memisahkan diri; dan sesudah mereka meninggalkan kaumnya atas dasar kebenaran yang ada pada mereka. Jadi, keputusan dari Allah itu tidak terjadi saat para juru dakwah melebur dalam masyarakat jahiliyah, dan larut dalam tatanan-tatanannya, dan bekerja di dalam formalitas-formalitasnya. Setiap jarak waktu yang digunakan untuk larut sedemikian rupa berarti jarak waktu menunda janji kemenangan dan kedudukan dari Allah. Ini adalah tanggungjawab besar yang wajib direnungkan oleh para pelaku dakwah jika mereka sadar dan menghitung.
Terakhir, mari kita renungkan keindahan pemaparan al-Qur’an tentang parade iman saat ia menghadapi jahiliyah jahiliyah yang sesat di sepanjang zaman, keindahan kebenaran yang fitri, sederhana, jelas, mendalam, sarat keyakinan dan ketentraman, serta kokoh dan mantap.
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?’” (10)
“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (11)
Keindahan yang mengagumkan ini muncul dari pemaparan yang menjadikan para Rasul itu sebagai parade yang integral dalam menghadapi jahiliyah yang integral; melukiskan hakikat abadi di balik situasi dan kondisi yang berubah-ubah; menampilkan ciri-ciri yang unik bagi dakwah yang diusung pada Rasul dan bagi jahiliyah yang mengahdapi mereka, di balik ruang dan waktu, dan di balik ras dan bangsa!
Kemudian keindahan ini tampak pada pengungkapan hubungan antara kebenaran yang dibawa oleh dakwah para Rasul mulia, dan kebenaran yang tersimpan dalam entitas alam semesta ini.
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’” (10)
“Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami..” (12)
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti (mu) dengan makhluk yang baru..” (19)
Demikianlah hubungan yang mendalam antara kebenaran di dalam dakwah ini dan kebenaran yang tersimpan di dalam seluruh wujud. Tampak bahwa ia merupakan satu kebenaran yang terhubung dengan Allah yang Haq, mantap, kokoh, dan mendalam akar-akarnya, “seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit..” dan bahwa selainnya adalah kebatilan yang pasti lenyap, “seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.”
Demikianlah, keindahan itu tercermin dalam perasaan para Rasul akan hakikat Allah Tuhan mereka dan hakikat uluhiyyah; sebagaimana ia tampak jelas pada hati kelompok pilihan di antara hamba-hamba-Nya:
“Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (12)
Seluruhnya merupakan potret tentang keindahan menakjubkan yang tidak bisa dijangkau bahasa manusia kecuali sekedar memberi isyarat seperti menunjuk kepada bintang yang jauh. Isyarat telunjuk itu tidak menjangkaunya, melainkan sekedar mengarahkan perhatian orang-orang ke arahnya.