خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya." (QS. Al-A’raaf: 199-201)
**
Maafkanlah kekurangan-kekurangan kecil manusia dalam pergaulan dan persahabatan. Jangan menuntut kesempurnaan pada mereka, dan jangan membebani mereka dengan akhlak yang sulit. Maafkan kesalahan, kelemahan, dan kekurangan mereka.
Semua ini adalah dalam pergaulan pribadi, bukan dalam urusan akidah agama dan bukan dalam urusan kewajiban syar’iyyah. Karena di dalam akidah Islam dan syariat Allah tidak ada lapang dada dan toleransi. Yang ada adalah pengambilan tindakan, pemberian hak, persahabatan, dan perilndungan. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan mudah dan lemah lembut.
Memaafkan kelemahan orang lain, lemah lembut kepadanya, dan toleran kepadanya merupakan kewajiban orang-orang besar yang perkasa terhadap orang-orang kecil yang lemah. Rasulullah adalah seorang pemimpin, pembimbing, guru, dan pendidik.
Oleh karena itu, beliau adalah orang yang paling layak bersikap lapang dada, memberi kemudahan, dan toleran. Beliau tidak pernah marah karena persoalan pribadi. Tetapi, bila agamanya diusik, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menahan kemarahan beliau.
Semua juru dakwah diperintahkan dengan apa yang diperintahkan kepada Rasulullah. Karena, bergaul dengan jiwa manusia untuk dimbimbing itu memerlukan kelapangan dada, toleransi, mudah, dan memudahkan. Tetapi, tidak sembrono dan tidak mengabaikan aturan agama Allah.
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf.” Yaitu, kebaikan yang sudah dikenal dan sangat jelas, yang tidak perlu didiskusikan dan dibantah lagi, yang diterima oleh fitrah yang sehat dan jiwa yang lurus. Jiwa itu apabila sudah terbiasa dengan kebaikan ini, maka ia akan menurut untuk dibimbing. Juga, merasa senang melakukan bermacam-macam kebaikan dengan tidak merasa terbebani.
Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya untuk melakukan kebaikan-kebaikan sebagaimana ketika pada permulaan dikenalkannya kepada tugas-tugasnya, dia merasa terhalang oleh kesulitan, rasa enggan, dan berat.
Untuk melatih jiwa, maka pada permulaannya haruslah dikenalkan tugas-tugas kebaikan yang mudah-mudah dan ringan. Sehingga, setelah terbiasa, maka dengan sendirinya ia akan bersemangat untuk melakukan yang lebih dari itu dan akan dirasakannya mudah. Juga dilakukan dengan penuh ketaatan, dan dengan jiwa yang lunak.
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh….” Yaitu, berjuang dari kejahilan yang merupakan kebalikan dari sikap yang lurus, dan kejahilan yang merupakan kebalikan dari kepandaian. Keduanya adalah mirip-mirip.
Berpaling itu adakalanya dengan meninggalkannya, dan adakalanya dengan mengabaikannya. Tidak menghiraukan perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang mereka lakukan karena kebodohan mereka, serta melewati mereka dengan sikap sebagai orang yang mulia. Juga tidak melayani mereka dengan perdebatan yang hanya akan membawa kepada ketegangan dan membuang-buang waktu dan tenaga.
Kadang-kadang bersikap diam terhadap mereka dan berpaling dari tindakan bodoh mereka itu, bisa menjadikan mereka merasa terhina dengan sendirinya tanpa mengucapkan kata-kata yang buruk dan keras kepala.
Seandainya sikap demikian ini tidak membawa hasil seperti itu, maka hal ini akan menghindarkan orang-orang lain yang baik hatinya dari mereka. Yakni, ketika mereka melihat para juru dakwah begitu sabar dan menjauhi perbuatan sia-sia. Juga, melihat orang-orang jahil itu begitu tolol dan bodoh. Sehingga, jatuh harga dirinya di mata mereka dan mereka pun menjauhinya.
Rasulullah adalah seorang manusia biasa, yang kadang-kadang timbul kemarahannya terhadap kebodohan orang-orang yang bodoh, ketololan orang-orang yang tolol, dan kedunguan orang-orang yang dungu. Kalaulah Rasulullah mampu mengendalikan diri dari semua ini, maka para juru dakwah di belakang beliau kadang-kadang tidak mampu mengendalikannya.
Nah, pada waktu marah itulah setan melakukan godaan di dalam jiwa sehingga bergejolak tanpa kendali. Karena itulah, Allah memerintahkan supaya berilndung kepada-Nya, untuk meredakan kemarahannya dan mengendalikan diri dari jalan setan.
“Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raaf: 200)
Kata penutup, ‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’, ini menetapkan bahwa Allah mendengarkan perkataan dan tindakan jahil orang-orang jahil dan bodoh itu. Juga mengetahui gangguan mereka.
Kata penutup semacam ini dapat menimbulkan kerelaan dan ketenteraman dalam hati. Karena, ia merasa cukup bahwa Yang Maha luhur lagi Mahaagung mendengar dan melihatnya. Sebab, apalagi yang dibutuhkan oleh suatu jiwa setelah Allah mendengarkan dan mengetahui tindakan dan perkataan orang-orang jahil ketika ia menyeru orang-orang yang jahil itu ke jalan Allah?
Selanjutnya, Alquran mengambil jalan lain untuk mengarahkan hati juru dakwah agar merasa rela dan menerima serta mengingat Allah ketika dia marah. Juga agar mengambil jalan untuk menghadapi setan dan tipu dayanya yang licik.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah. Maka, ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raaf: 201)
Ayat yang pendek ini menyingkapkan beberapa isyarat yang mengagumkan dan beberapa hakikat yang dalam, yang dikandung dalam ungkapan Alquran yang penuh mukjizat dan sangat indah.
Kata penutup ‘Maka, ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya’ melengkapi makna-makna yang terdapat pada permulaan ayat, dan tidak ada antonimnya di sana. Perkataan ini mengandung makna bahwa was-was atau godaan setan itu dapat menjadikan buta, pudar, dan tertutupnya mata hati.
Akan tetapi, rasa takwa kepada Allah, perasaan selalu diawasi-Nya, takut akan kemurkaan dan azab-Nya, semuanya ini menghubungkan hati dengan Allah, menyadarkan-Nya dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya. Juga mengingatkan dan menyadarkan orang-orang yang bertakwa.
Maka, apabila mereka ingat kepada Allah, terbukalah mata hati mereka dan tersingkaplah penutup dari mata batin mereka. “Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
Sesungguhnya godaan setan itu membutakan hati, dan mengingat Allah itu menjadikan hati terbuka. Godaan setan itu adalah kegelapan, dan mengingat Allah itu adalah cahaya. Sesungguhnya godaan setan itu dapat ditolak dengan ketakwaan, karena setan tidak mempunyai kekuasaan apa pun terhadap orang-orang yang bertakwa.