“Wahai Utsman, jika Allah memberikan kepemimpinan ini kepadamu suatu hari nanti, lalu orang-orang munafik menginginkanmu menanggalkan pakaian yang dikenakan-Nya kepadamu, jangan pernah kaulepaskan!” Begitulah salah satu bentuk nubuat yang dikatakan Rasulullah saw kepada Utsman ibn Affan, sang Dzunnurain – pemilik dua cahaya. Ia pegang teguh kata-kata Nabi sehingga tak terbesit sedikit pun rasa takut, benci atau marah saat para pemberontak mengepung rumahnya, menghentikan pasokan air dan makanan bagi keluarganya, hingga akhirnya menerobos rumahnya dan membunuhnya. Mereka Melarang Masuknya Makanan dan Minuman Para perusuh dan pemberontak yang telah kehilangan akal sehat itu mengepung rumah Utsman dengan ketat. Tak cukup dengan itu, mereka juga melarang masuknya makanan dan minuman. Mereka tak mengizinkan siapa pun membawa makanan dan minuman untuk keluarga Dzunnurain. Ali ibn Abi Thalib pun harus bersusah payah untuk menolong sahabat mulianya itu untuk mendapatkan makanan dan minuman. Meskipun perjalanannya dihalang-halangi oleh para perusuh, hewan tunggangannya dibuat lari dan geriba dihancurkan, akhirnya ia bisa sampai kepada Utsman. Dengan kesal Ali berkata kepada para perusuh, “Demi Allah, bahkan perlakuan bangsa Persia dan Romawi terhadap Utsman tidak seperti kalian. Memang mereka menawan, tetapi mereka masih memberikan makanan dan minuman.” Mereka bergeming, bahkan melemparkan surbannya ke tengah rumah. Suatu hari Ummu Habibah datang menunggangi keledai bersama para pelayannya. Mereka menghadang dan menanyainya, “Apa keperluanmu, dan apa yang kau bawa?” Ummu Habibah menjawab, “Ada wasiat Bani Umayyah kepada Utsman untuk anak-anak yatim dan janda. Aku datang untuk mengingatkannya.” Alih-alih dikasihani dan diizinkan masuk, Ummu Habibah dituduh berdusta dan diperlakukan secara kasar. Mereka bahkan memotong sabuk pelana keledainya hingga Ummu Habibah terjatuh. Kalau saja orang-orang tidak segera memegangi binatang itu, mungkin nyawa Ummu Habibah tidak akan tertolong. Utsman dan keluarga sama sekali tidak mendapatkan pasokan air selain yang dibawa keluarga Amr ibn Hazm secara diam-diam di malam hari. Situasi masyarakat Madinah saat itu benar-benar genting dan mencekam. Keadaan sepenuhnya dikendalikan para pemberontak. Penduduk Madinah lebih banyak memilih untuk tinggal di rumah dan mengabaikan apa yang tengah terjadi. Saat datang musim haji, Ummul mukminin Aisyah berniat untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah, namun sebagian orang berkata kepadanya, “Lebih baik engkau tetap tinggal di dalam rumah. Mudah-mudahan mereka tak berani berbuat macam-macam jika engkau ada di sini.” Aisyah berkata, “Aku khawatir jika kusampaikan nasihatku mereka akan memperlakukanku dengan buruk seperti perlakuan mereka kepada Ummu Habibah. Karena itu aku akan tetap melaksanakan ibadah haji.” Utsman mengangkat Ibn Abbas sebagai Amirul Haji mewakili dirinya. Ketika mendapat tugas Ibn Abbas berkata, “Keberadaanku di depan pintumu untuk melindungimu jauh lebih utama daripada ibadah haji.” Ia bertekad untuk tetap tinggal di Madinah menemani Utsman, namun Utsman bersikukuh memintanya pergi sebagai Amirul Haji, hingga akhirnya berangkatlah ia bersama jamaah yang lain. Para Sahabat Bangkit Membela Utsman Usai shalat pada hari Jum’at pertama bulan Dzulhijjah 35 H., Utsman naik ke mimbar dan memulai pidatonya, “Wahai orang-orang yang terasing, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Demi Allah, sesungguhnya orang Madinah mengetahui bahwa menurut lisan Muhammad Rasulullah kalian adalah orang-orang yang terlaknat. Karena itu hapuslah kesalahan dengan kebenaran. Sebab, Allah tidak menghapus keburukan kecuali dengan kebaikan.” Muhammad ibn Maslamah bangkit dan berkata, “Aku menjadi saksi akan hal itu.” Al-Hakim ibn Jabalah mendudukkannya lagi. Selanjutnya, Zaid ibn Tsabit berdiri dan berkata, “Itu termaktub dalam al-Kitab.” Muhammad ibn Abi Murairah mendatangi dan mendudukkannya seraya berkata, “Diamlah, wahai kau yang berpura-pura.” Suasana kemudian berubah panas. Emosi orang-orang meninggi. Mereka melemparkan batu-batu kecil kepada rombongan para perusuh hingga mereka keluar masjid. Namun Utsman juga terkena lemparan hingga ia terluka dan pingsan. Orang-orang lalu bergegas membawanya pulang. Para sahabat besar seperti Ali, Thalhah, dan Zubair bergegas menjenguk Utsman. Mereka juga mengekuhkan atas kericuhan dan kekacauan yang terjadi saat itu. Sekelompok sahabat, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, dan Zaid ibn Tsabit maju dan menawarkan diri untuk melindungi dan menjaga Utsman ibn Affan. Namun Utsman mengutus seseorang yang meminta agar para sahabat itu bersumpah untuk diam dan menahan diri di rumahnya masing-masing serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah (al-Bidayah wa al-Nihayah). Para pemberontak itu tetap bersikukuh menuntut agar Utsman mundur dari kekhilafahan. Jika menolak, mereka sesumbar akan membunuhnya. Menjawab tuntutan mereka itu Utsman, sesuai dengan nasihat Nabi sebelumnya, berkata, “Aku tidak akan menanggalkan pakaian yang dipakaikan Allah kepadaku.” Para pemberontak yang tidak bisa berpikir jernih dan dikuasai nafsu itu terus sesumbar akan membunuh Utsman. Mendengar itu Utsman keluar menemui orang-orang yang saat itu ada di dalam rumahnya dan berkata, “Tadi aku mendengar mereka sesumbar akan membunuhku.” Mereka berkata, “Cukuplah Allah bagimu atas segala kejahatan mereka, wahai Amirul Mukminin.” “Mengapa mereka ingin membunuhku? Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali dalam tiga hal: orang yang kafir setelah beriman, berzina setelah menikah dan orang yang membunuh orang lain.’ Demi Allah, di masa Jahiliyah sekalipun aku tidak pernah berzina, apalagi setelah memeluk Islam. Aku pun tidak pernah berangan-angan memiliki agama lain setelah Allah memberiku hidayah. Dan aku juga tidak pernah membunuh orang lain. Lantas, atas dasar apa mereka ingin membunuhku?” (HR. Ahmad) Beberapa sahabat besar, termasuk Ali ibn Abi Thalib, mengirimkan anak-anak mereka untuk berjaga-jaga di rumah Utsman. Mereka juga menawarkan kepada Utsman untuk mengerahkan para pengikut mereka demi menjaga dan melindungi sang Khalifah. Ali mengirimkan beberapa orang kepada Utsman dan berkata, “Aku bersama lima ratus orang pasukan berbaju besi. Karena itu, izinkan aku untuk melindungimu dari mereka. Sungguh engkau tidak akan pernah melakukan sesuatu pun yang menyebabkan darahmu dihalalkan.” Utsman menjawab, “Semoga Allah melimpahkan balasan-Nya kepadamu. Tetapi, aku tidak ingin menumpahkan darah para pemudaku.” Beberapa sahabat lain datang menawarkan bantuan dan perlindungan kepada Utsman ibn Affan. Abu Habibah menuturkan bahwa ia diutus Zubair kepada Utsman yang saat itu sedang dikepung. “Pada hari yang sangat genting itu aku masuk menemuinya. Saat itu ia duduk di kursi ditemani oleh al-Hasan ibn Ali, Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Abdullah Ibn Zubair,” kata Abu Habibah mengawali ceritanya. Ia berkata kepada Utsman, “Zubair mengutusku kepadamu dan mendoakan keselamatan bagimu. Lebih dari itu, Zubair mengatakan bahwa ia tetap setia pada baiatnya kepadamu dan tidak pernah membangkang. Jika engkau mau, katanya, ia akan masuk ke rumahmu ini untuk ikut menemani dan menjagamu seperti para sahabat yang lain. Dan jika engkau mau, ia akan berjaga di sini. Bahkan, ia akan mengerahkan Bani Amr ibn Auf yang telah berjanji untuk membantunya.” Utsman menjawab, “Allah Maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menjaga saudaraku. Sampaikan kepadanya, wahai Abu Habibah, salam keselamatan dariku dan katakan kepadanya: ‘Aku sangat berterima kasih. Semoga Allah melindungiku melalui dirinya. Usai surat itu dibacakan, Abu Hurairah bangkit dan berkata, “Sudikah kalian kuberi tahu apa yang kudengar dari Rasulullah?” “Baiklah,” jawab mereka. “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Setelah kepergianku nanti akan muncul banyak fitnah dan masalah.’ ‘Siapakah yang selamat, wahai Rasulullah’ tanya para sahabat. ‘Orang yang berama al-amin dan kelompoknya – sambil menunjuk Utsman.'” Mendengar itu semua, orang-orang yang berada di dalam rumah Utsman bangkit dan berkata, “Kalau begitu, izinkan kami berjihad.” Namun, Utsman bersikukuh menolak itu, “Aku tidak ingin orang-orang yang setia kepadaku berperang,” Ia bersikukuh menolak keinginan para sahabat itu, karena ia meyakini ucapan Rasulullah yang menyatakan bahwa ia akan terbunuh. Utsman menerima ketentuan itu dengan ikhlas dan lapang dada. Selain itu ia juga tidak mau menjadi sebab tertumpahnya darah umat Islam. “Aku tidak akan menjadi orang yang pertama melanggar Rasulullah dengan menumpahkan darah umatnya,” begitu ujarnya. Khutbah Terakhir Utsman mengamanatkan kepada Abdullah ibn Abbas untuk menyampaikan khutbahnya kepada seluruh umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Berikut adalah beberapa penggalan khutbahnya: Bismillahirrahmanirrahim. Dari hamba Allah, Utsman, Amirul Mukminin, untuk segenap kaum yang beriman dan berserah diri. Semoga keselamatan menyertai kalian. Sungguh aku menyeru kalian untuk memuji Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Amma ba’du. Aku ingatkan kalian kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat-Nya kepada kalian dengan mengajarkan Islam, menunjuki kalian dari kesesatan, menyelamatkan dari kekafiran, menampakkan kejelasan, meluaskan rezeki dan penghidupan, memberikan pertolongan saat kalian menghadapi lawan, dan menyempurnakan karunia-Nya kepada kalian. Allah swt berfirman dan firman-Nya pasti benar: Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. 14:34) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. 3:102-105) -khutbah bersambung di bagian berikutnya- Iman Adipurnama, mahasiswa S2 di kota taipei, Taiwan.