Pada masa ketika Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam) masih hidup dan menjadi pemimpin ummat, orang-orang yang beriman senantiasa kembali kepada beliau dalam usaha menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan. Beliau selalu memberikan solusi perdamaian atas dasar kebenaran dan sesuai ketentuan dari Allah (subhaanahuu wata’aalaa). Namun, setelah beliau wafat, mereka pun kemudian mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan kepada warisan beliau, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, yang mana merupakan panduan utama dalam hidup mereka sepeninggal beliau. Di dalam sebuah ayat al-Qur’an dan sebuah riwayat hadits disebutkan yang artinya sebagaimana berikut:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59)
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang selama kalian berpegang teguh kepada keduanya maka niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah-ku.” (H.R. Hakim)
Pada hakikatnya, perselisihan dalam hal apapun bisa saja terjadi di antara ummat Islam, karena memang Allah sendiri telah berkehendak menganugerahi perbedaan dan keragaman di antara mereka, yaitu berupa perbedaan karakter, kecenderungan, kemampuan, kegiatan, status sosial, suku, negara, warna kulit, dan seterusnya. Namun, yang sebenarnya menjadi permasalahan bukanlah bagaimana menghilangkan perbedaan dan keragaman tersebut, atau bagaimana memaksanya agar melebur hingga menjadi sama, melainkan bagaimana menyikapinya serta mengembalikan hakikat permasalahan yang muncul karenanya kepada sumber kebenaran, yaitu kedua warisan mulia tersebut. Karena pada dasarnya, meskipun ummat Islam memiliki perbedaan secara lahir, sesungguhnya mereka tetap sama secara batin, yaitu sama-sama menyimpan iman di dalam hatinya. Dan perbedaan lahir di antara mereka, selama tetap dalam aturan yang dibenarkan syari’at, maka justru akan mewujudkan keseimbangan dan keutuhan di antara mereka sendiri, dan tak perlu dipermasalahkan secara berlarut-larut, kecuali jika misalnya memang ada yang menciptakan rukun iman atau rukun Islam yang berbeda. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertaqwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Seyogyanya, dalam usaha menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara ummat Islam, semua pihak semestinyalah agar saling menghargai perbedaan lahir yang ada, dan lebih menjunjung persamaan batin di antara mereka. Jika pun perselisihan yang terjadi adalah masalah cabang agama, dan bukan pondasinya, seharusnyalah masing-masing bisa tetap melaksanakan kesimpulan ijtihadnya dengan tanpa menimbulkan permusuhan. Dan jika perlu untuk saling menjelaskan, maka penjelasan tersebut pun selayaknya dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan cara saling mencela.
Mungkin, bagi kita yang merasa harus menyeru ummat kepada kemurnian ajaran sebagaimana generasi pertama Islam, yang menghindari hal-hal baru yang meragukan dalam agama demi keselamatan akhirat, maka tetaplah cara menyerunya pun harus dilakukan dengan cara Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam), dan tidak sampai menjatuhkan pihak lain yang sebenarnya juga sama-sama beriman. Karena bagaimanapun juga, dalam beberapa kasus memang akan kita temukan beragam dalil yang sama-sama kuat dan tampak saling tarik-ulur, sehingga kita pun tidak bisa hanya menyimpulkan dari satu sisi saja. Intinya, kita harus berhati-hati agar tidak mudah menghukumi seseorang keluar dari iman atau Islamnya hanya karena sebuah dalil, tanpa memperhatikan dalil lainnya. Karena pada dasarnya, iman dan Islam itu pun ada tingkatannya. Karena itulah, di dalam al-Qur’an kita mendapati ayat yang memerintahkan kita orang-orang yang beriman agar masuk Islam secara keseluruhan, yang mana dapat berarti bahwa meskipun kita telah beriman namun sebenarnya kita pun belum sempurna dalam ber-Islam. Mungkin kita memang rutin melaksanakan shalat, namun terkadang masih larut dalam kebiasaan melanggar, atau melaksanakan shalat fardhu lima waktu yang kadang lengkap dan kadang tidak lengkap, atau bahkan kita hanya shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat jum’at saja, dan seterusnya, yang mana tentu saja jika harus ada predikat kufr, maka tentu ia akan memiliki tingkatan dan tidak bisa disamaratakan. Karena di sana ada kufr yang berarti mengingkari ni’mat, yang mana juga memiliki tingkatan, dan ada kufr yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Demikian juga dengan predikat syirk, yang mana ada syirk samar, yang juga mempunyai tingkatan, dan ada syirk yang besar dan nyata. Dan hanya Allah-lah yang akan mengadakan penilaian atas semua itu. Jadi, semestinya tidak boleh terjadi penyematan predikat kufr, dalam arti keluar dari Islam, kepada pelaku maksiat yang sebenarnya tak sampai keluar dari Islam.
Selain itu, bagaimanapun juga, kemantapan dalam kemurnian ajaran tersebut pun sebenarnya hanyalah kemudahan dan anugerah dari Allah, dan bukan hasil belajar atau usaha kita sendiri. Sehingga, kita pun harus tetap menghargai pihak yang kita anggap belum dianugerahi hal tersebut, sambil mendoakan kebaikan untuk mereka. Karena yang sebenarnya harus dibenci adalah perbuatan yang dianggap tidak baik, dan bukan orang yang berbuat tidak baik. Kita mungkin ingat bagaimana Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam) tetap menyeru ummatnya dengan cara yang baik meskipun usaha beliau tersebut justru ditanggapi dengan perlakuan yang jahat.
Kemudian, jika memang misalnya kita prihatin mendapati suatu maksiat yang tampak difasilitasi secara resmi, maka sebenarnya itu bukanlah wewenang kita sebagai rakyat untuk merubahnya dengan tangan kita sendiri, meskipun di sana ada riwayat yang menganjurkan merubah dengan tangan jika mampu, melainkan itu adalah wewenang mereka yang memegang kebijakan dan keputusan dalam urusan rakyat. Kita hanya harus memperingatkan dengan cara dan pendekatan yang baik sesuai tuntunan sunnah, dan bukan dengan kekerasan. Oleh karena itulah, memegang amanat rakyat yang sedemikian rumit dan berat sebenarnya adalah pilihan pemberani yang hanya akan diambil oleh mereka yang benar-benar siap dengan sebuah tanggung jawab besar dan pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Bagi mereka yang memang benar-benar ingin berjuang mengurus urusan rakyat tulus karena Allah, bukan karena sekedar dorongan kemanusiaan semata atau lainnya, serta berusaha sekuat tenaga menghindari yang syubhat dengan mempertaruhkan kebersihan jiwa dan raga mereka, maka hanya Allah-lah yang berhak menilai niat, usaha dan keberanian mereka tersebut. Adapun mereka yang hanya terdorong oleh kepedulian sosial dan rasa kemanusiaan semata, tanpa mengkaitkannya dengan niat berjuang untuk Allah, maka balasan kebaikannya pun hanya akan diterima di dunia saja, dan urusan pertanggungjawaban akhiratnya pun akan terserah kepada Allah, sebagaimana mereka yang juga hanya tertarik dengan kekuasaan belaka, sambil bahkan tanpa rasa malu atau takut untuk berbuat aniaya sementara Allah menyaksikan mereka. Sesungguhnya semua pertanggungjawaban kelak akan dipertanyakan di hari perhitungan, sesuai amal dan niat masing-masing.
Kemudian, begitu juga sebaliknya, bagi kita yang mungkin cenderung menempuh ikhtiar untuk mengambil amalan-amalan yang sifatnya sekedar perantara untuk lebih mendekatkan kepada Allah, misalnya seperti majlis dzikir, majlis doa, majlis ta’lim, atau semacamnya, yang dimaksudkan untuk menyeru ummat kepada dzikrullah atau mengingat Allah, maka seharusnyalah kita tetap meyakini dan menjelaskan keyakinan bahwa amalan-amalan tersebut sebenarnya hanyalah bersifat sah, dan bukan sunnah yang disyari’atkan secara tata-cara dan waktunya, sehingga sebenarnya bisa dilakukan kapanpun dan di manapun tanpa harus menunggu jadwal majlis tersebut, agar amalan-amalan yang beda tipis antara ibadah ritual dan sekedar penunjang tersebut tidak sampai menjerumuskan orang awam kepada keyakinan yang salah, bahwa jika misalnya amalan tersebut tidak mereka laksanakan sesuai cara dan waktu sebagaimana di majlis, maka sebuah dosa, beban, atau kesulitan akan menimpa mereka, hanya karena amalan tersebut telah ditradisikan. Inilah yang mungkin perlu kita khawatirkan. Dan mungkin sebagian kelompok dalam suatu majlis akan beranggapan bahwa sebenarnya urusan tersebut memang tidak sampai sebegitu mengkhawatirkan, namun kita pun harus juga menyadari bahwa majlis semacam itu tentu cukup banyak dan beragam serta tersebar di berbagai daerah yang berbeda-beda tradisinya, yang kadang hingga dimasuki unsur tradisi yang justru melanggar sunnah itu sendiri, seperti sesajen dan semacamnya.
Kemudian selain itu, mungkin juga ada di antara kita yang pada kenyataannya kurang mengerti makna dari dzikir dan doa yang kita ucapkan di dalam majlis. Padahal berdzikir dan berdoa itu bukan amalan lisan semata, namun lebih sebagai amalan hati. Tentu Allah akan lebih mendengarkan doa dan gerakan hati yang kita hayati meskipun dengan bahasa dan ungkapan kita sendiri, daripada doa dengan bahasa Arab yang merupakan karangan ulama misalnya, dan bukan dari contoh sunnah, yang maknanya pun mungkin kurang kita mengerti. Memang, bagi kita yang tidak mengerti bahasa Arab, maka shalat kita pun akan tetap dapat diterima, dan doa serta bacaan surat yang sesuai contoh sunnah pun juga dapat diterima, karena itu semua memang telah disyari’atkan. Namun untuk waktu kegiatan yang tidak disyari’atkan, dan doa-doa bahasa Arab susunan ulama yang bukan dari sunnah, atau urutan-urutan doa yang kita tentukan sendiri misalnya, tentunya tidak bisa disamakan kedudukannya dengan shalat, doa, dan bacaan surat yang telah disyari’atkan. Yang disyari’atkan akan tetap berpahala meski tanpa pemahaman. Namun yang tidak disyari’atkan tentu akan sia-sia jika tanpa penghayatan. Dan hanya Allah-lah yang lebih mengetahui hakikat urusan tersebut.
Mungkin jika diibaratkan, maka majlis dzikir secara berjama’ah adalah semacam sedekah yang ditampakkan, agar dapat menyeru lebih banyak ummat kepada dzikir atau mengingat Allah, tentu tetap dengan ketentuan bahwa doa-doa di dalamnya harus sesuai sunnah, dan jika pun doanya merupakan karangan ulama, maka yang berdoa dengannya pun harus mengerti maksudnya sehingga tidak menjadi sekedar ucapan yang tanpa makna. Sedangkan memurnikan amalan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, yang mana tanpa perlu ditambahi ataupun dikurangi, mungkin adalah ibarat sedekah yang cukup menjadikan Allah sebagai satu-satunya saksi, tanpa terikat, menyesuaikan, atau menunggu adanya jadwal perkumpulan atau semacamnya. Dan mungkin, insyaa’Allaah keduanya adalah sama-sama baiknya jika memang diniatkan sebagai ketaatan terhadap perintah Allah. Yang pertama adalah mentaati perintah Allah agar menempuh sesuatu yang bisa lebih mendekatkan diri kepada-Nya, sedangkan yang kedua adalah mentaati perintah Allah agar memurnikan syari’at serta menjaganya dari kemungkinan perubahan. Karena sebenarnya memang ada di antara kita yang lebih cenderung membutuhkan penjelasan tentang perintah Allah secara kasat mata, namun ada juga yang telah cukup dengan penjelasan yang ada di dalam warisan Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam). Dan keduanya mungkin adalah bentuk keseimbangan yang saling melengkapi. Dan hanya Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.
Mungkin, yang selama ini banyak menjadi permasalahan adalah ragam pengertian tentang istilah bid’ah. Dan bid’ah yang dimaksudkan dalam banyak riwayat mungkin adalah ketika kita merubah ritual syari’at yang telah ditentukan, atau menambah-nambahkan sesuatu di dalamnya yang mana sebenarnya sudah sempurna, ataupun membuat sebuah kegiatan baru yang kemudian diyakini sebagai ibadah ritual, sehingga bid’ah pun tampaknya bisa muncul dalam bentuk keyakinan dan niat, misalnya mengelilingi sebuah masjid yang kemudian diyakini sebagai pengganti thawaf di Ka’bah, padahal jika tanpa keyakinan dan niat semacam itu pun mungkin akan sah-sah saja. Atau misalnya ketika kita berziarah kubur namun dengan keyakinan bahwa jasad yang dikubur tersebut bisa mendatangkan keberuntungan dan keselamatan. Atau ketika kita mencium hajar aswad namun dengan keyakinan bahwa nasib kita akan bergantung dan ditentukan kepada amalan tersebut. Atau bahkan misalnya jama’ah laki-laki yang melaksanakan shalat di masjid dengan imam perempuan, dan seterusnya.
Oleh karena itu, selain merupakan bentuk amal yang menyelisihi syari’at, bid’ah juga ditentukan oleh keyakinan dan niat. Sehingga ibadah ritual yang telah disyari’atkan pun akan bisa saja menjadi bid’ah jika salah dalam keyakinan dan niatnya. Dan begitu juga dengan amalan-amalan yang bukan ibadah ritual, yang semuanya akan juga bisa menjadi bid’ah ketika salah dalam keyakinan dan niatnya. Pada intinya, kita harus meyakini bahwa ibadah ritual adalah suatu hal yang tersendiri, dan amalan-amalan yang sifatnya penunjang juga adalah hal yang tersendiri lainnya, yang semuanya harus disertai niat yang benar dan masih dalam tuntunan dalil syari’at. Ibadah ritual akan berpahala dalam niatnya, dalam usaha menghadirinya, dalam pelaksanaannya, dalam tata caranya, dalam waktunya, dalam kehadiran hati di dalamnya, serta dalam dampak kebaikan yang timbul karenanya, dan seterusnya. Ia akan tetap berpahala meskipun mungkin kehadiran hati kita tidak sempurna. Sedangkan yang sekedar penunjang, mungkin hanya akan berpahala dalam niat meraih kebaikan darinya, dalam usaha menghadiri kebaikan tersebut, dan dalam dampak kebaikan yang timbul karenanya, namun sekedar sah dalam pelaksanaannya, sah dalam tata caranya, sah dalam waktunya, dan tak berarti apa-apa jika tak disertai kehadiran hati di dalamnya, dan itupun selama tidak melanggar ketentuan syari’at. Jadi, kesalahan yang mungkin biasa kita lakukan adalah ketika kita menyetarakan kedudukan di antara kedua hal tersebut, atau bahkan hingga mengutamakan yang sifatnya sekedar sah di atas perintah yang telah disyari’atkan. Dan hanya Allah-lah yang lebih mengetahui. Semoga Allah segera memberikan petunjuk-Nya jika ternyata pemahaman yang telah diutarakan tersebut salah dan harus diluruskan.
Kemudian, jika misalnya perselisihan yang terjadi adalah disebabkan oleh sikap aniaya di antara ummat Islam, maka jika pihak yang telah dianiaya pertama kali berkenan memilih bersikap seperti Habil, yang lebih cenderung mengutamakan kepuasan diterimanya amal daripada kepuasan membalas perbuatan Qabil saudaranya, maka tentu yang demikian itu akan lebih baik bagi diri mereka sendiri. Namun, jika mereka memang memilih untuk membalas, maka dalam membalas pun tentu ada batasannya, yang mana tidak boleh berlebihan hingga akhirnya dapat menimbulkan hal negatif yang justru lebih besar dari persaudaraan dan kerukunan yang sebenarnya lebih utama bagi mereka.
Dan bagi mereka yang telah mendzalimi diri sendiri dengan perbuatan aniaya mereka kepada saudaranya, sebaiknyalah mereka segera meminta maaf secara terus terang jika memang kesalahan mereka dilakukan secara terus terang. Namun jika kesalahan mereka tidak diketahui oleh yang mereka dzalimi, maka permintaan maafnya pun tidak perlu diungkapkan secara terus terang, yang justru malah akan mungkin melahirkan perselisihan. Cukup penyesalan tersebut dilakukan dengan cara mendoakan mereka yang telah didzalimi, disertai istighfar dan upaya tidak mengulanginya lagi.
Dan jika memang permintaan maaf yang telah disampaikan pun tampak tidak diterima, maka mereka tetap bisa memohon ampunan kepada Allah serta mendoakan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi saudara yang telah mereka aniaya, sambil memasrahkan urusan kesalahannya tersebut kepada Allah. Karena bagaimanapun juga, yang paling penting dalam sebuah penyesalan adalah pengakuan batin di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Maka jika pun pengakuan mereka justru ditertawakan, mereka tidak perlu banyak mempertanyakan hal tersebut, karena memang tiada peristiwa yang dapat terjadi kecuali karena memang Allah tidak mencegah peristiwa tersebut. Dan karena memang kita diperintahkan beramal juga bukan agar disebut sebagai orang jujur, melainkan agar kebenaran dapat ditegakkan. Bahkan Rasulullah yang pasti kebenarannya saja masih ada yang meragukan, maka apalagi kita sisa-sisa ummat beliau yang belum pasti benarnya namun sudah pasti bisa berbuat salah.
Oleh karena itu, jika memang usaha memperbaiki telah dilakukan semampunya, maka tak perlu lagi harus terbebani perasaan bersalah. Islam tidak akan memaksa ummatnya yang cacat kaki untuk shalat berdiri, atau mewajibkan mereka yang hanya bisa duduk di kursi roda untuk thawaf dengan berjalan, atau mengharuskan mereka yang tuna netra agar membaca al-Qur’an dengan mata kepalanya, dan seterusnya. Karena kesalahan yang sebenarnya adalah ketika hati sengaja mengabaikan kewajiban dari-Nya padahal dalam kondisi fisik yang tanpa halangan. Dan karena bagaimanapun juga, amal itu hanyalah raga yang dihuni oleh nyawa berupa gerakan hati. Gerakan hati inilah yang akan menentukan nilai sebuah amal di sisi Allah.
Kita mungkin ingat sebuah riwayat hadits yang mengisahkan tentang diterimanya taubat seseorang yang telah menghilangkan seratus nyawa manusia, yang padahal secara amalan, dia belum menempuh satu amal kebaikan pun sebagai wujud taubatnya, melainkan hanya memiliki niat untuk beramal baik yang itu pun ternyata terhalang oleh ajal yang menjemputnya di tengah usahanya menuju kebaikan tersebut. Tentu saja akan wajar jika ada pertanyaan bagaimana mungkin taubat yang semacam itu dapat diterima. Maka mungkin inilah pelajaran yang menjelaskan bahwa niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan sebuah amal ketaatan sebenarnya telah dinilai sebagai sebuah amal ketaatan tersendiri, meskipun belum sampai sempurna dalam pelaksanaannya. Sebagaimana juga dalam sebuah riwayat hadits lainnya yang menyebutkan bahwa sebuah niat baik yang belum terlaksana akan tetap dinilai sebagai sebuah kebaikan.
Diarenakan niatlah, shalat mereka yang berada di dalam kereta akan tetap sah meskipun sebenarnya qiblat shalat mereka tidak sempurna karena arah kereta yang selalu berubah. Dan karena niatlah, mereka yang hidup di daerah kutub bisa berbuka puasa tanpa harus menunggu matahari terbenam, namun menyesuaikan waktunya dengan daerah terdekat yang memiliki waktu puasa yang sesuai dengan kesanggupan tubuh manusia, atau menyesuaikan waktunya dengan Mekah yang merupakan tempat qiblat, karena memang siang terpanjang di daerah tersebut dikatakan hingga mencapai 20 jam dalam sehari, yang tentu akan membuat kita lemah untuk berkegiatan dalam keadaan berpuasa. Mungkin akan demikian juga halnya jika suatu saat nanti seorang astronot Muslim ingin melaksanakan shalat lima waktu di luar angkasa, sedangkan semua waktu ketika itu adalah siang baginya, yang mungkin penentuan waktu shalatnya bisa diperkirakan sesuai dengan waktu normalnya di permukaan bumi. Demikianlah, yang mana inti dari itu semua adalah niat dan ketaatan hati yang disertai ikhtiar di tengah-tengah keterbatasan. Dan tentunya itu akan selalu berbeda dengan kesengajaan hati untuk meninggalkan ketaatan di tengah-tengah keterbatasan tersebut.
Oleh karena itu, demi kemaslahatan bersama di antara ummat Islam, seharusnyalah kita senantiasa mengembalikan perkara yang menjadi perselisihan di antara kita kepada warisan Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wasallam), yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika kita bermaksud menyeru sesama kepada kebenaran, maka kita pun harus mengikuti cara sebagaimana yang disebutkan dalam warisan tersebut. Jangan sampai terjadi saling merendahkan atau saling mencela. Karena sikap semacam itu hanya akan merugikan diri kita sendiri. Bahkan terhadap orang non-Muslim sekalipun kita diharuskan menyeru mereka dengan cara yang baik. Karena hinaan atau celaan tidak akan merubah orang yang tidak shalat menjadi shalat, atau yang tidak membaca al-Qur’an menjadi membaca al-Qur’an, melainkan justru bisa menjadikan mereka semakin tidak tertarik untuk shalat ataupun membaca al-Qur’an. Maka jika untuk memperingatkan mereka yang belum shalat dan belum membaca al-Qur’an saja harus dengan cara yang baik, tentu untuk mengingatkan mereka yang sudah shalat dan sudah membaca Qur’an pun harus dilakukan sesuai ruh shalat dan ruh al-Qur’an itu sendiri, bukan justru dengan mencela mereka. Karena mencela orang-orang yang sudah beriman adalah bentuk kefasikan yang harus kita hindari. Di dalam al-Qur’an dan sebuah riwayat hadits disebutkan peringatan yang artinya sebagaimana berikut:
“Dan janganlah kalian mencela diri kalian dan jangan pula panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.” (Al-Hujurat: 11)
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan jika mungkin masih juga terjadi saling memanggil dengan panggilan yang tidak baik antara sesama ummat Islam setelah jelas adanya peringatan dari Allah dan Rasul-Nya tersebut, maka biarkanlah mereka yang berbuat demikian lelah dengan perbuatannya tersebut, dan biarkanlah mereka yang memilih beramal lelah dengan amalnya pula. Barang siapa berbuat baik, maka keuntungannya pun akan kembali kepada dirinya sendiri. Dan barang siapa berbuat buruk, maka kerugiannya pun hanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah (subhaanahuu wata’aalaa) tidak pernah merugi sedikitpun akibat keburukan hamba-Nya.
Maka dari itu, agar kita selalu ingat akan hal penting ini, mungkin kita perlu mengingat kembali bagaimana Allah (subhaanahuu wata’aalaa) pernah menegur Rasulullah Muhammad (shallallaahu ‘alaihi wasallam) ketika beliau sempat berpaling serta bermuka masam di saat seseorang yang buta mendatangi beliau untuk meminta sebuah nasehat, hanya karena beliau tidak ingin memutus pembicaraannya kepada para pembesar suku, karena mungkin beliau beranggapan bahwa mereka akan lebih banyak manfaat dakwahnya daripada hanya satu orang saja. Dan itu baru sebuah anggapan di dalam hati, namun Allah telah secara langsung menegur beliau. Maka jika sekedar anggapan dalam hati saja sudah mendapat teguran yang nyata dari Allah, tentu Allah pasti akan lebih menegur lagi jika misalnya sebuah anggapan atau prasangka hingga kita umumkan dan sebarkan tanpa kebenaran, apalagi dengan cara yang tidak layak, yang mana tentu akan mengakibatkan tuduhan dan fitnah yang lebih besar. Jika mungkin kita telah terlanjur berbuat yang demikian sebelumnya, tentu kita tak harus mengulanginya lagi. Karena mungkin kita akan menyesal di hadapan Allah jika ternyata pada hari perhitungan nanti tuduhan kita terbukti salah, namun fitnahnya telah terlanjur menyebar dan menjadi dosa. Oleh karena itulah Allah memperingatkan agar kita banyak menghindari anggapan, dugaan atau prasangka, sebagaimana firman-Nya yang artinya berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Sesungguhnya, target utama hidup kita orang-orang yang beriman adalah menggapai keberhasilan yang lebih abadi, yaitu ridha Allah (subhaanahu wata’aalaa), dan bukan kepuasan di dunia. Selama kita ikut berlayar dalam bahtera al-Qur’an dan as-Sunnah, insyaa’Allaah kita tidak akan turut tenggelam dalam banjir isyarat tentang dekatnya hari kebangkitan. Kiranya kita tetap dapat menanam pohon kebaikan dalam keadaan masing-masing, agar hati kita tetap teguh dan tentram di tengah-tengah ujian akhir zaman yang dihadiahkan Allah kepada kita semua.
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.” (Al-Anbiya’: 1-2)
Wallaahu a’lam.
-Ibnu Anwar-