Granada, kota terakhir yang dimiliki muslimin dikepung oleh Tentara Kristen. Jumlahnya cukup besar; 40.000 infanteri dan 10.000 kavaleri, ini masih ditambah jumlah bantuan yang terus berdatangan.
Masyarakat muslim ketika itu dipimpin oleh dua tokoh. Pertama adalah Amir Granada Ibnu Ahmar Abu Abdillah al-Shaghir dan Musa bin Abi Ghassan pemimpin jihad melawan Kristen. Dua nama yang sangat berbeda. Ibnu Ahmar al-Shaghir, persis seperti namanya. Dia al-Shaghir (kecil) otaknya, semangat jihadnya, imannya. Sementara Musa bin Abi Ghassan adalah mujahid agung yang memimpin jihad masyarakat muslim melawan kerajaan-kerajaan Kristen. Musa adalah simbol jihad, simbol aqidah kokoh tanpa mengenal kompromi.
Saat Granada sudah dikepung sedemikian rupa, dua tokoh ini berbeda pendapat. Sesungguhnya ini bukan sekadar perbedaan pendapat biasa. Tetapi sebenarnya, diam-diam Ibnu Ahmar al-Shaghir telah membuat kesepakatan dengan kerajaan Kristen Qostala untuk menyerahkan Granada dengan imbalan. Begitulah, pengkhianatan yang dilakukan di luar pengetahuan masyarakatnya itu memang tidak terlihat. Tetapi gejalanya sangat kentara. Sikap Ibnu Ahmar al-Shaghir terhadap keadaan masa itu merupakan terjemahan dari trik jahat yang dirahasiakannya.
Sementara iman yang terus membara di hati Musa, pasti secara otomatis menolak semua pengkhianatan tersebut. Musa dengan masyarakat mujahid siap membela setiap jengkal negeri muslim. Tidak ada kata menyerah pada keadaan. Tiada kata kompromi jika harus menjual agama. Musa bin Abi Ghassan benar-benar menjadi simbol jihad kala itu. Walau sayang nama mulia itu hampir tidak singgah di benak kita hari ini.
Ibnu Ahmar al-Shaghir benar-benar telah kalap. Dia sangat tergiur dengan cara penyelamatan diri yang mengorbankan agama Allah. Diserahkan kunci Granada kepada kerajaan Kristen, sementara dia tetap bertengger sebagai pemimpin dengan jaminan keamanan dan berikut pundi-pundi dunia lainnya. Rendah. Cara berpikir yang amat murah.
Keputusan orang nomor satu di dalam jamaah muslimin itu diamini oleh kerakusan para pejabat berikut ulama di sekitarnya. Bahkan penandatangan penyerahan Granada itu diwakili oleh menterinya yang bernama Abul Qasim Abdul Malik. Sementara penjabat lain juga sama menyetujuinya. Sesungguhnya yang sedang bicara adalah syahwat yang menggelegak yang telah membakar setiap selaput iman mereka.
Istana al-Hamra’ hari itu menjadi saksi. Saksi dialog antara mujahid dan oportunis alias pengkhianat umat. Musa bin Abi Ghassan datang dan langsung naik ke istana al-Hamra’. Dia menemui Ibnu Ahmar al-Shaghir dan para pejabat serta ulama di sekelilingnya yang sudah sangat nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Musa bicara. Di hadapan semua. Di hadapan para pejabat dan disaksikan oleh sebagian masyarakatnya. Dengan keberanian yang tidak menyisakan segumpal ketakutan. Hanya Allah yang layak ditakuti. Begitulah aqidah seringkali meminta bukti keberanian dari para ulama dan mujahid. Untuk membedakan antara mutiara dan lumpur.
Dan mari kita dengarkan langsung dialog antara mujahid Musa bin Abi Ghassan dan para oportunis Ibnu Ahmar al-Shaghir dan para pejabat berikut ulamanya.
Musa bin Abi Ghassan, “Jangan serahkan Granada, biarkan kami berjihad fi sabilillah, biarkan kami berperang fi sabilillah!”
Ibnu Ahmar & para pejabat, “Orang-orang Kristen menawarkan kepada kita perjanjian kesepakatan. Dengan perjanjian itu, kita bisa menjaga eksistensi muslimin. Agar tidak ada kejahatan dan keburukan yang menyentuh muslimin. Maka mari serahkan Andalus, agar kita bisa menjaga yang kita miliki sekarang ini dengan perjanjian dan kesepakatan.”
Musa bin Abi Ghassan, “Jangan sampai kalian bersandar kepada orang-orang Kristen itu. Jangan sampai kalian percaya kepada orang-orang Kristen itu.”
Musa pun melanjutkan, “Kalian jangan menipu diri sendiri. Jangan kalian menyangka kalau orang-orang Kristen itu akan memenuhi janji mereka. Jangan sampai kalian percaya pada raja mereka yang curang. Kematian hal kecil yang kita takutkan. Kita akan menghadapi penjarahan dan penghancuran kota-kota kita, pengotoran masjid-masjid kita, perobohan rumah-rumah kita, pemerkosaan istri-istri dan anak-anak kita. Kita juga akan mengalami kedzaliman yang keji, fanatisme liar, cambuk dan rantai-rantai. Di hadapan kita juga ada penjara dan pembakaran.”
Musa akhirnya menegaskan sikapnya, “Adapun saya demi Allah tidak akan pernah menyaksikan itu semua! Saya tidak pernah menerima kehinaan dan saya akan mati dengan cara mulia!!!”
Abu Abdillah al-Shaghir berdiri dari tempat duduknya kemudian berkata, “Allahu Akbar, lailaha illallah, Muhammadur rasulullah, tidak ada yang bisa menolak ketentuan Allah, usaha kita sia-sia begitu saja berhadapan kehendak ilahi. Demi Allah, saya ini telah ditakdirkan sebagai orang yang sengsara dan kerajaan ini akan hilang di tangan saya.”
Para menteri berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan oleh ulama jahat menguatkan, “Allahu Akbar, tidak ada cara yang bisa menghadapi ketentuan Allah.”
Melihat perbedaan prinsip yang sangat mendasar tersebut, Musa bin Abi Ghassan meninggalkan mereka berikut semua syahwat dan kerakusan mereka. Dia tinggalkan itu menuju keridhaan Allah dan kemenangan penuh izzah di hadapan Allah.
Musa keluar dari al-Hamra’. Ia langsung mengendarai kudanya, menghunuskan pedangnya. Menggerakkan muslimin yang masih siap berjihad. Menghadapi pasukan Kristen yang sudah berniat menguasai Granada. Ia terus berperang, hingga akhirnya Musa seorang diri harus berhadapan dengan 15 tentara Kristen. Musa berhasil membunuh sebagian besar tentara itu. Tapi akhirnya ia gugur sebagai syahid.
Rahimakallah ya mujahid…
Dialog Sepanjang Zaman
Dialog antara para dai mujahid dengan oportunis akan terjadi di sepanjang zaman. Sikap yang menunjukkan siapa kita sebenarnya. Sikap yang menentukan kita ada di barisan siapa. Penentuannya sering terbukti pada dua suasana: suasana genting atau justru sebaliknya; suasana banyak harta dan kesempatan.
Kisah penutupan Andalus adalah gabungan antara dua suasana. Suasana genting saat musuh mengancam dan saat dunia telah ditawarkan. Dan saat itulah muncul Musa sang mujahid dan Ibnu Ahmar al-Shaghir sang oportunis.
Tataplah lebih dalam kalimat-kalimat dialog di atas. Hingga kalimat dialog pun terulang sepanjang zaman. Setidaknya ada tiga alasa dan dalih para oportunis yang diambil dari pelajaran kisah di atas:
- Untuk menjaga eksistensi muslim dan dakwah
- Untuk mempertahankan yang kini telah kita miliki
- Ketidakberdayaan umat Islam berhadapan dengan musuh
Itu alasan. Sekali lagi dalih saja. Hanya cover. Sebenarnya adalah penandatanganan penyerahan umat dan dakwah dengan berbagai tawaran dunia. Walau umat tidak tahu. Walau umat tidak pernah melihat.
Tapi hanya tinggal waktu. Saat sebuah masa tiba, mengungkap semua hal yang dilakukan para pengkhianat itu. Seperti pengkhianat Ibnu Ahmar al-Shaghir dan semua antek-anteknya itu dibuka oleh zaman. Dokumen itu masih diabadikan oleh Kerajaan Kristen dan hari ini masih tersimpan rapi di Madrid Spanyol. Agar muslimin belajar. Agar sejarah pengkhianatan tak terulang lagi.
Dan selalu, para mujahid sejati memilih hidup mulia atau mati syahid. Para mujahid tidak akan pernah rela dengan hidup penuh kehinaan. Mereka akan meraih kemenangan penuh izzah.
Sepanjang zaman selalu hadir mujahid dengan kalimat yang mirip.
“Adapun saya demi Allah tidak akan pernah menyaksikan itu semua! Saya tidak pernah menerima kehinaan dan saya akan mati dengan cara mulia!!!” (Musa bin Abi Ghassan)
“Akhi, saya tidak pernah bosan dengan jihad ini. Aku tidak pernah meletakkan senjata. Jika aku mati, maka telah kuraih syahidku. Dan kamu akan melanjutkan raih kemenangan mulia.” (Sayyid Quthb).
فاعتبروا يا أولي الأبصار