Dari Abu Hurairah, Aisyah berkata : “Aku tidak pernah merasa cemburu kepada seorang wanita sebesar rasa cemburuku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya, tetapi Rasulullah sering menyebut dan mengingatnya”. Ketika menyembelih seekor kambing, beliau selalu memotong sebagian dagingnya dan menghadiahkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Aku pernah berkata kepada Rasulullah, ‘Seperti tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah’. Rasulullah menjawab, ‘Khadijah itu begini dan begitu, dan dari dialah aku memperoleh anak.’” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Baghawi)
Subhanalloh, begitu detail Aisyah, istri rasululloh yang jelita menceritakan rasa cemburunya. Dan itu diungkapkannya kepada semua orang yang berniat mendengarkan kisah tauladan dan perasaan yang dialami Aisyah.
Bagaimana bisa seorang wanita menceritakan rasa cemburunya, kejadian demi kejadian yang secara jujur pasti menyakitkan dan membuat hati serasa teriris pisau. Namun Aisyah dengan cara yang sangat professional ternyata mampu mengatasi itu semua serta menceritakan semua kejadian dan perasaan yang dialaminya untuk dijadikan ibrah atau pelajaran bagi siapa saja yang mendengarkan bahkan sampai beratus tahun kemudian.
Aisyah akan terus bercerita tentang kisah hidup rumah tangganya berulang kali sampai sekarang, seakan-akan apa yang dialami oleh beliau baru beberapa hari yang lalu terjadi. Sehingga kitapun seakan hadir pada waktu peristiwa itu terjadi. Subhanalloh demikian indah beliau menggambarkan perasaannya yang secara fitrah pasti tidak enak, karena sikap profesionalnya yang dilandasi keimanan yang tinggi.
Ya, Aisyah demikian profesional dalam menjalankan tanggung jawab sebagai istri terdekat rasul yang meriwayatkan berbagai hadist, untuk dijadikan hikmah bagi umat. Aisyah mampu mengelola rasa cemburunya sehingga rasa cemburu itu dikemas dengan indah sehingga menjadi cemburu yang profesional.
Sanggupkah kita memiliki cemburu yang profesional?, yaitu cemburu namun tetap professional, tidak menyakiti diri sendiri, tidak kekanak-kanakan atau mencelakan orang lain dan atau marah marah tidak karuan, uring uringan berbulan bulan, cemberut serta negative thinking ketika cemburu menyerang kita.
Mampukah kita mengelola rasa cemburu agar menjadi cemburu yang profesional, misalnya ketika kita mengalami cemburu yang sangat dahsyat disaat suami kita berpoligami atas dasar agama, memperluas dakwah dan menolong si papa. Kita tetap tabah dan sabar dan tetap beribadah serta melakukan tugas sebagai istri dengan ikhlas secara profesional sehingga cemburu tidak mengganggu kerja dan ibadah kita. Selain itu cemburu juga harus tetap profesional bila suami kita diharuskan untuk berdakwah kemana-mana dan hanya menyisakan waktu sedikit saja untuk kita.
Ada pepatah yang mengatakan bukan berbagi suami, tapi memang tidak kebagian suami, karena waktunya habis untuk yang lain selain kita yaitu istri yang lain, dakwah, kerjaan dan lain sebagainya.
Ternyata hanya keimanan yang tinggilah yang mampu membuat kita memiliki kepandaian untuk mengelola rasa cemburu sehingga menjadi cemburu yang profesional. Hidup bunda Aisyah, darimulah aku terinspirasi untuk memiliki cemburu yang professional. Walau cemburu, tetap melakukan tugas dan tanggung jawab dengan baik tanpa terganggu oleh rasa cemburu itu.