Bulan Sya’ban tahun 5 H. 120 KM dari Kota Mekah. Peperangan yang dimenangi umat Islam melawan masyarakat Bani Musthaliq baru saja usai. Kemenangan itu, diiringi dengan konflik internal yang membuat Rasul SAW sangat tidak nyaman.
Di pinggiran sumber air al-Muraisi’. Ketika Jahjah al-Ghifari dan Sinan bin Wabar al-Juhani berdesakan untuk mengambil air. Al-Juhani berteriak, “Wahai masyarakat Anshar..!” Jahjah pun berteriak, “Wahai masyarakat Muhajirin..!” Keduanya berteriak meminta tolong sukunya masing-masing. Teriakan yang bisa menumpahkan darah sesama muslimin.
Begitulah, walau mereka hidup bersama Rasulullah SAW, mereka tetaplah manusia dengan segala kekurangannya. Apalagi suasana kelelahan fisik selepas perang, membuat orang mudah marah oleh masalah yang amat sepele. Apalagi mereka berdua bukanlah orang yang seistimewa Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair.
Abdullah bin Ubay bin Salul tokoh munafik yang waktu itu ada, marah mendengar peristiwa tersebut. Inilah kalimatnya yang kasar dan provokatif di tengah-tengah pengikutnya dan sebagian shahabat, “Benarkah mereka (Muhajirin) telah melakukannya? Mereka itu lari (dari negerinya) dan kemudian semakin banyak di negeri kita. Demi Allah, tidaklah kita dan mereka itu kecuali seperti ungkapan: Buatlah gemuk anjingmu, kamu akan dimakannya! Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah, yang mulia akan mengeluarkan yang hina darinya.”
Tidak puas dengan kalimat-kalimatnya ini, Abdullah bin Ubay langsung menghadapkan dirinya kepada para pengikutnya sambil terus marah, “Ini salah kalian sendiri, kalian memberi tempat mereka di negeri kalian, kalian bagi harta kalian untuk mereka. Demi Allah, jika kalian tidak memberi untuk mereka apa yang kalian miliki, pasti mereka akan pergi ke selain negeri kalian.”
Itulah sepenggal kisah konflik yang memilukan. Terjadi di dalam tubuh muslimin yang sudah sangat lama bersaudara karena Allah. Mereka dahulu saling berbagi. Saling memberi. Bahkan saling mendahulukan saudaranya berlandaskan cinta karena Allah. Konflik itu kini muncul.
Perlu sebuah solusi jitu. Jika tidak, bisa menyebabkan pertikaian dan mungkin pertumpahan darah. Tidak dibiarkan redam sendiri, karena hanya akan menambah kusut rajutan persaudaraan.
Umar bin Khattab yang mengetahui konflik tersebut, segera menawarkan solusi kepada Rasul. “Bunuh Abdullah bin Ubay bin Salul!” usul Umar.
Sekilas usulan Umar masuk akal. Abdullah bin Ubay yang merupakan tokoh munafik berikut para pengikutnya, bukanlah kelompok yang berani berhadapan langsung dengan Umat Islam. Mereka bersembunyi di balik selimut shaf muslimin. Umar ingin menghentikan sumber masalah. Supaya aliran masalah terhenti. Dengan jaminan, tidak akan pernah ada perlawanan dari para pengikutnya. Mengingat mereka bukan kelompok berani. Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan atau diijinkan oleh Rasul, maka pasti para shahabat akan ada di pihak Rasulullah.
Ternyata, Rasul SAW menolaknya. Dengan pertimbangan yang matang dan jauh ke depan. Berikut pertimbangan Nabi tidak mengambil usulan Umar, “Bagaimana wahai Umar jika masyarakat berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri? Tidak! Tetapi perintahkan semua untuk berangkat pulang!”
Berangkat pulang ke Madinah. Itulah salah satu langkah penting penyelesaian yang akan ditempuh Nabi SAW.
Selengkapnya, sesuai dengan urutan solusi Nabi SAW adalah sebagai berikut:
- Tidak menyebarkan kalimat provokasi munafik yang telah sampai kepada beliau melalui shahabat muda Zaid bin Arqam. Karena kekacauan dan fitnah akan meluas. Terbukti, hingga Nabi memerintahkan agar pasukan bergerak pulang, tokoh Madinah sekelas Usaid bin Hudhair pun tidak tahu. Dia hanya terheran-heran, mengapa Nabi memberangkatkan pasukan tidak pada waktu yang biasa.
- Mengeluarkan kalimat tegas yang mudah diingat sebagai peredam awal: Apakah (kalian masih pertahankan) slogan jahiliyyah sementara aku masih ada di antara kalian? Kalimat seperti ini pasti tidak akan kuat menyelesaikan fitnah yang sudah mulai membesar. Tetapi ini berfungsi untuk mengingatkan para shahabat sekaligus meminimalisir konflik.
- Memerintahkan mereka agar pergi meninggalkan tempat terjadinya konflik. Hal ini berhubungan dengan masalah psikologis. Terkadang suatu kenangan yang sudah lama sekalipun akan kembali muncul dengan segala rasanya, ketika melihat kembali tempat terjadinya masalah tersebut. Maka dalam suasana tegang seperti itu, penting sekali untuk meninggalkan tempat konflik dan berpindah ke tempat lain.
- Melemahkan fisik mereka agar tidak sempat membesar isu buruk itu di tubuh umat. Karena mereka tidak lagi punya energi untuk memikirkannya apalagi menggalang kekuatan perpecahan.
Perjalangan dilakukan sepanjang siang hari itu. Terus berjalan tanpa istirahat dari kelelahan, hingga masuk waktu malam. Perjalanan diteruskan hingga pagi, tanpa istirahat. Dan diteruskan hingga matahari mulai meninggi. Perjalanan itu kurang lebih memakan waktu 24 jam, tanpa istirahat kecuali untuk shalat yang di-jama’ qashar.
Dibacakannya surat al-Munafiqun yang turun untuk menjelaskan sekaligus menjadi penutup besar yang menggema menjelaskan dengan gamblang sumber konflik.
Itulah 5 langkah yang dilakukan Rasulullah untuk menyelesaikan konflik yang muncul antar muslimin yang sudah lama bersaudara dan berukhuwah sangat baik.
Dengan kondisi:
- Keberadaan musuh dalam selimut (munafik).
- Fisik yang lelah.
- Kemarahan dan mencuatnya fanatisme kesukuan/golongan
Setelah turun ayat yang merupakan rangkaian penyelesaian konflik, masyarakat bisa menilai sendiri. Bahkan setelah itu, jika terjadi kasus yang menyangkut Abdullah bin Ubay, masyarakatnya sendiri yang langsung mencercanya. Di saat itulah Rasul menyampaikan kepada Umar, “Bagaimana pendapatmu sekarang hai Umar, Demi Allah jika aku bunuh dia saat kau usul, pasti akan muncullah fanatisme golongan. Tetapi jika aku perintahkan hari ini, pasti ia akan dibunuh.”
Dan inilah yang keluar dari lisan jujur Umar, “Urusan Rasulullah lebih berkah dibandingkan urusanku.”
Mari kita analisa lebih jauh solusi sukses Nabi SAW tersebut. Mungkin menurut sebagian kita, jika telah jelas sumber kalimat fitnah itu, mungkin shahabat menjadi mafhum bahwa perpecahan itu sumbernya adalah musuh, sehingga mereka tidak perlu ambil peduli. Dan masalah tidak perlu dikhawatirkan. Tetapi tidak, masalahnya adalah api fanatisme golongan dan kesukuan itu telah membakar dan tak bisa dipadamkan. Atau kalau pun bisa, sebagian akan menjadi api dalam sekam. Suatu saat akan menyala kembali. Nabi SAW ingin semuanya selesai dengan tuntas.
Nabi SAW bisa saja menyampaikan sendiri kepada para shahabat bahwa sumber masalahnya adalah munafik. Tetapi tidak disampaikan nabi mengingat sebagian orang Anshar meragukan pendengaran Zaid bin Arqam yang mendengar langsung ocehan Abdullah bin Ubay. Karena ia terhitung masih beliau. Jangan-jangan, Zaid tidak begitu memahami kalimat tokoh munafik itu.
Jika Nabi SAW memaksakan diri menyampaikan apa yang didengar Zaid, maka akan muncul masalah baru. Yaitu pembelaan Nabi terhadap Zaid yang diragukan oleh banyak shahabat Anshar yang telah lebih senior. Maka ayatlah yang menyampaikan langsung.
Bagi kita yang tidak lagi mendapatkan wahyu turun, bisa mengambil pelajaran bahwa menyelesaikan konflik tidak mesti harus dimulai dengan ayat. Karena saat masalah masih sedang membara, kemudian ayat dibaca, justru dikhawatirkan orang-orang baik yang sekarang sedang bermasalah itu kalap dan secara tidak langsung menolak ayat.
Pendinginan masalah dimulai dengan bertahap. Setahap demi setahap, hingga suasana benar-benar mendingin. Dan guyuran salju wahyu yang putih menjadi happy ending.
Solusi konflik tersebut terlihat sangat berbeda, ketika kita membandingkan dengan kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari no. 2231 dan Muslim no. 2357,
Dari Abdullah bin Zubair radhiallahu anhu berkata, “Seseorang dari Anshar mengadukan Zubair kepada Nabi pada masalah aliran air yang mengaliri kebun korma mereka berdua. Orang Anshar itu meminta agar air dibiarkan mengalir ke kebunnya, tetapi Zubair menolak. Mereka berdua berseteru di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
“Rasul memerintahkan kepada Zubair, ’Airi kebunmu wahai Zubair kemudian setelah itu kirimkan airnya ke tetanggamu’.”
“Orang Anshar itu marah, ’Apakah karena ini keponakanmu?’”
“Berubahlah wajah Rasulullah kemudian berkata, ’Wahai Zubair airi kebunmu kemudian tahanlah air itu hingga meresap ke dalam tanah’.”
Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi menjelaskan bahwa tanah Zubair berada lebih tinggi dari tanah orang Anshar tersebut. Sehingga air akan mengairi kebun Zubair sebelum kebun orang Anshar itu. Dengan demikian, Zubair yang lebih berhak terhadap air.
Tetapi Nabi memerintahkan Zubair agar berbagi dengan kebun tetangganya. Dan kemarahan orang Anshar yang tidak menerima keputusan Nabi itu menyebabkannya mengeluarkan kalimat yang menyentuh hingga kesucian nubuwwah. Maka, kemudian Nabi mengeluarkan keputusan yang bernuansa hukuman bagi yang tidak menerima keputusan Nabi sekaligus hakim.
Konflik internal ini ada sisi kemiripannya dengan konflik internal selepas perang Bani Musthaliq di atas. Yaitu sama-sama dimulai antara satu orang Muhajirin dan satu orang Anshar.
Tetapi ada beberapa perbedaan:
- Tidak ada musuh Islam di antara Zubair dan orang Anshar itu. Berbeda dengan keberadaan munafik di antara muslimin di Bani Musthaliq
- Tingkat kelelahan fisik yang berbeda dengan kelelahan muslimin saat di Bani Musthaliq.
- Tidak diketahui secara masal.
Jadi, dua masalah ini mempunyai tingkat kerawanan yang berbeda.
Dari sinilah maka penyelesaiannya pun berbeda. Bagi Zubair yang merupakan shahabat mulia akan dengan sangat mudah kembali berbagi dengan saudaranya dari Anshar tersebut. Dan bagi orang Anshar dia sudah belajar bahwa hukum Rasulullah SAW adalah hukum yang terbaik. Masalah ini akan selesai dengan sangat mudah dan sederhana.
Solusi yang bukan berasal dari Islam telah terbukti runtuh. Semakin hari semakin redup kemudian padam. Dan hanya solusi dari Rasulullah SAW yang berupa cahaya. Terang, semakin terang dan akhirnya akan sempurna.
Maka, sangat penting untuk mengkaji siroh lebih dalam agar mampu menangkap cahaya solusi.