Jatuhnya kota suci Baitul Maqdis ke tangan pasukan salib seperti halilintar yang menyambar para pemimpin Islam. Kota suci yang telah 500 tahun berada dalam naungan Islam, kini terampas. Dengan ribuan korban menjadi tumbal. Darah-darah yang menggenangi sudut-sudut kota, seakan tak hendak hilang aroma anyirnya. Hari itu, Jerussalem benar-benar tumpas.
Maka berkumpullah para ulama dan khalifah seluruh jazirah Arab. Mereka tak menyangka Jerussalem jatuh ke tangan pasukan salib. Kemudian terkumpullah beberapa kalifah negara Islam yang bersedia menyatukan kekuatan untuk merebut kembali Baitul Maqdis.
Singkat cerita, setelah 40 tahun pasukan salib menduduki kota suci, Baitul Maqdis, lahirlah seorang bocah yang diberi nama Shalahuddin Al Ayyubi. Ayahnya, seorang pahlawan kota Syria, Najmuddin Ayyub. Shalahuddin yang lahir tahun 1138 itu mempunyai seorang paman, panglima perang kerajaan Syria, Asasuddin Syirkuh. Dari kedua orang itulah Shalahuddin mendapat gemblengan. Ayahnya dengan tegas mengajarkan agama, sedangkan pamannya dengan keras mendidiknya dalam ilmu keprajuritan.
Pada usianya yang masih belia, Shalahuddin kerap kali ikut turun ke kancah laga menemani pamannya. Pada tahun 1154, Panglima Asasuddin dan tentaranya berhasil merebut Damsyik yang kala itu dikuasai oleh pasukan salib. Kala itu, Shalahuddin masih berusia 16 tahun. Tapi ia sudah memanggul pedang dan senjata turun ke medan laga menegakkan daulat pemerintahan Islam.
Karirnya sebagai prajurit kian hari kian mantap. Saat usianya menginjak 25 tahun, bersama pamannya ia menaklukan dinasti Fatimiyah di Mesir. Daulat Fatimiyah yang beraliran Syi’ah itu tunduk. Nama Asasuddin Syirkuh, paman Shalahuddin pun kian melambung sebagai pahlawan kebanggaan.
Ternyata di mana-mana orang sakit hati dan iri selalu ada. Kedudukan dan kemenangan yang diraih Asasuddin membuat seorang pembesar kerajaan Syria, Wazir Shawar sakit hati. Ia tak rela Syirkuh menjadi besar dan berpengaruh. Maka dengan diam-diam ia mendekati pasukan salib dan meminta bantuan pada penguasanya kala itu, King Almeric. Dan terjadilah pertempuran besar antara pasukan salib dengan pasukan Asasuddin.
Tapi sayang, karena pasukan salib berjumlah sangat besar, Asasuddin dan shalahuddin pun dapat di kalahkan.
Setelah menerima syarat-syarat perdamaian dari pasukan salib, Asasuddin dan Shalahuddin pun diusir ke Damsyik. Mendengar persekongkolan yang terjadi, raja Syria, Emir Nuruddin Zanki marah besar pada sang Wazir. Dengan kekuatan gabungan para khalifah Islam mengirimkan pasukan untuk dipimpin kembali oleh Asa-suddin dan Shalahuddin. Hukuman untuk pengkhiatan akan dijatuhkan.
Kali ini pasukan salib di bawah komando King Almeric berhasil dikalahkan. Shawar yang hanya mempunyai sedikit pasukan pun bisa ditaklukkan. Mereka terusir dari tanah Mesir tanpa muka alias dipermalukan.
Kelak, suatu hari ketika Shalahuddin melakukan ziarah, dalam perjalanannya ia bertemu dengan wazir pengkhianat Shawar. Tawanan dibawa kembali untuk diadili dan dijatuhi hukuman. Setelah itu, khalifah Al Adhid mengangkat Shalahuddin sebagai panglima perang menggantikan pamannya. Sedangkan Asasuddin Syirkuh menduduki jabatan menjadi Wazir Besar, Perdana Menteri.
Tak lama setelah pelantikannya, Shalahuddin melakukan razia besar-besaran. Ia melakukan perjalanan militer mengamankan jalur sepanjang tepian Sungai Nil sampai daerah utara, Assuan. Sedangkan pamannya segera melakukan pembersihan kabinet dari aksi-aksi KKN besar-besaran.
Pada tahun 1171 terjadi peralihan pemerintahan besar-besaran, dari daulat Fatimiyah pada daulat Abassiah. Tapi berkat kepiawaian Shalahuddin tidak terjadi pertumpahan darah atau kericuhan besar. Semua berjalan dengan tenang dan aman. Pada tahun itu pula Shalahuddin meresmikan Universitas Al Azhar yang sebelumnya dijadikan tempat kajian kaum Syi’ah menjadi pusat ilmu Ahlul Sunnah.
Pada tahun-tahun pertamanya memegang jabatan sebagai panglima, Shalahuddin Al Ayyubi sekali lagi membuktikan kualitas kepemimpinannya. Selain gagah perkasa di medan laga, ia adalah seorang laki-laki lembut hati dan penyabar dalam kehidupannya sehari-hari. Ia punya kesetiaan yang tinggi dan sangat bersahaja hidupnya. Gemerlap kekayaan dunia tak menyilaukan pandangannya.
Dari tahun ke tahun, sebagai panglima, ia selalu berusaha menghalau pasukan salib yang akan mencaplok wilayahnya. Selain itu ia juga selalu berusaha menyatukan kekuasaan dan kekuatan khalifah-khalifah Islam lainnya. Setiap kakinya melangkah ia selalu menyerukan, bahwa umat Islam harus bersatu menghan-curkan kebathilan. Mesir yang saat itu di bawah kekuasaanya menjadi daerah yang benar-benar makmur dan adil.
Pada tahun 1173, Sultan Nuruddin Zanki wafat, dan digantikan oleh anaknya yang baru berusia 11 tahun. Banyak para ulama saat itu meminta Shalahuddin memangku jabatan khalifah untuk sementara. Usulan itu dilontarkan, karena selain masih muda khalifah baru itu juga belum punya wawasan yang cukup untuk memimpin bangsanya. Tapi Shalahuddin tidak menerimanya, ia lebih memilih untuk mendukung dan membantu khalifah muda itu saja.
Khalifah Ismail yang masih muda, ternyata tidaklah lama memangku jabatannya. Ia wafat dan tampuk kekuasaan beralih pada Shalahuddin Al Ayyubi. Pada masa pemerintahannya inilah Islam benar-benar mengalami masa kejayaan. Pasukan salib yang semula sangat berbangga diri, kini mulai mengukur-ukur kekuatan untuk menghadapi Shalahuddin. Mau tidak mau pasukan salib merasa gentar juga, karena kekuatan Islam di jazirah Arab dapat dipersatukan oleh Shalahuddin. An Nubah, Sudan, Yaman, Hijaz bahkan sampai Afrika pun telah bersatu.
Dengan kekuatan yang telah dihimpunnya, dan setelah melakukan beberapa perundingan, Shalahuddin memutuskan untuk merebut kembali kota suci Baitul Maqdis.
Strategi awal yang diterapkan oleh Shalahuddin adalah mengajak pasukan salib untuk berdamai. Tapi dasar pasukan salib, bak pepatah dikasih hati meminta jantung. Tawaran damai yang diulurkan Shalahuddin dianggap sebagai tanda kekalahan pasukan Islam.
Mereka akan melakukan pengkhianatan perjanjian damai yang telah disepakati.
Ternyata, Shalahuddin telah mencium isyarat-isyarat pengkhiatan mereka. Justru itulah langkah kedua yang sudah direncanakan, ketika pasukan salib mengkhianati perjanjian, maka Shalahuddin punya alasan untuk memerangi mereka. Dan betul saja, tak menunggu waktu lama kaum salib melakukan pelanggaran.
Dengan kekuatan penuh Shalahuddin mencoba mengancam pasukan salib yang melanggar. Tapi dengan kekuatan penuh pula pasukan salib menantang. Peperangan terbuka tak bisa dihindari, pedang lawan pedang, darah bercucuran.
Shalahuddin Al Ayyubi turun ke medan laga dengan gagah berani menerjang lawan. Tapi sayang pasukan Shalahuddin kocar-kacir berantakan. Ia kalah, serangan pertamanya ke Baitul Maqdis mengalami kegagalan. Bahkan Shalahuddin sendiri nyaris tertawan musuh karena kekalahan itu.
Di saat yang seperti itu, ada sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Di tengah terjadinya kancah peperangan antara pasukan salib dan tentara Shalahuddin, seorang panglima pasukan salib Count Rainald de Chatillon dengan membawa pasukan besar menuju Makkah dan Madinah. Dengan pasukan yang lengkap persenjataannya dan gegap gempita pasukannya ia hendak meluluhkan dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Tak ubahnya pasukan gajah yang dulu hendak menghancurkan Ka’bah, pasukan Count Rainald de Catillon pun membawa niat yang sama. Tapi nasibnya memang tak lebih dari pasukan gajah pimpinan raja Abraha, pasukan salib pun dapat dihancurkan oleh kekuatan Islam di laut merah. Dengan sisa-sisa pasukannya Count Rainald de Catillon kembali lagi ke Jerussalem dengan tangan hampa.
Dalam perjalanan pulangnya ia melakukan perusakan dan pembantaian penduduk sipil yang tak berdaya. Sisa pasukannya melampias-kan kekalahan dengan biadab dan manusiawi. Di tengah perjalanan itu pula ia dan pasukannya bertemu dengan rombongan kabilah. Dalam rombongan kabilah itu kebetulan sekali terdapat salah seorang saudara perempuan Shalahuddin Al Ayyubi.
Bak singa menemukan mangsa, tanpa pikir panjang lagi kabilah kecil itu di hancur lumatkan pula. Ia menawan saudara perempuan Shalahuddin dan sesumbar pada orang-orang tentang kemenangan kecilnya. Dengan angkuh ia berkata, “Apakah Muhammad, nabi mereka itu, mampu datang dan menyelamatkan pengikutnya?”(her)