Rasulullah Saw. mengumpulkan keturunan Bani Abdul Muththalib di sebuah rumah. Lalu beliau mengajak mereka masuk Islam, “Hai Fathimah binti Muhammad! Hai Shafiyah binti Abdul Muththalib! Hai Bani Abdul Muththalib! Aku tidak dibekali Allah untuk kalian, kecuali mengajak kalian beriman kepada Allah dan mempercayai kerasulanku.”
Di antara mereka ada yang langsung menyambut ajakan beliau, ada yang ragu-ragu, dan ada yang menolak mentah-mentah. Shafiyah binti Abdul Muththalib termasuk dalam kelompok yang langsung menyambut ajakan Rasulullah Saw. Sejak itu, Shafiyah dan anaknya Zubeir bin Awwam masuk ke dalam barisan kaum muslimin.
Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, Shafiyah yang keturunan bangsawan Bani Hasyim itu turut bersama mereka. Dengan ikhlas, ia tinggalkan Mekkah dengan segala kenangan indah, status kebangsawanan, kemegahan, dan kemewahan. Shafiyah tidak seperti wanita kebanyakan. Ia punya nyali yang besar, pemberani, dan penuh inisiatif. Selama bergabung dengan barisan kaum muslimin, Shafiyah selalu ikut di berbagai medan jihad.
Dalam Perang Uhud, Shafiyah turut berperang bersama Rasulullah dalam pasukan wanita. Tugasnya mengangkut air, menyediakan anak panah, dan memperbaiki busur. Disamping itu, ia amat ingin merekam seluruh jalannya pertempuran ke dalam ingatannya yang kuat.
Shafiyah selalu bersemangat dalam setiap pertempuran. Wajar, karena dalam barisan Islam ada keponakannya Muhammad Rasulullah, saudaranya Hamzah bin Abdul Muththalib, dan anak kandungnya Zubeir bin Awwam. Apalagi Perang Uhud merupakan perang terbesar setelah Perang Badar.
Saat Perang Uhud mulai berkecamuk dan pasukan kaum muslimin terdesak, Shafiyah melihat barisan mujahidin kocar-kacir menjauhi Rasulullah Saw. Hanya sedikit kaum muslimin yang tinggal bertahan bersama beliau. Sementara itu pasukan kaum musyrikin terus memburu hingga hampir mendekati Rasulullah. Secepat kilat Shafiyah melemparkan tempat air yang dibawanya. Dengan tangkas ia melompat bagaikan singa betina yang sedsang melatih anaknya. Direbutnya pedang seorang muslim yang lari ketakutan. Shafiyah maju menyerang barisan musuh yang ada dihadapannya. Ia berteriak kepada kaum muslimin, “Pengecut kalian! Mengapa kalian tinggalkan Rasulullah!”
Melihat itu, Rasulullah menyuruh Zubeir agar mencegah ibunya. Tapi, Shafiyah tetap maju sambil menyabetkan pedangnya ke arah musuh yang mendekatinya. “Mengapa aku harus kembali! Aku mendengar mayat Hamzah dirusak. Padahal saudaraku tewas fi sabilillah,” teriaknya kepada Zubeir. Akhirnya Rasulullah memerintahkan Zubeir agar membiarkan ibunya mencari mayat Hamzah bin Abdul Muththalib.
Ketika perang usai, Shafiyah menyaksikan mayat Hamzah rusak berat. Perutnya terkoyak, jantungnya hilang, hidung dan telinganya dipotong. Menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu, Shafiyah berdoa, memohon ampunan bagi Hamzah. Ia sabar dan menyerahkan semua itu kepada Allah.
Dalam Perang Khandaq, Shafiyah, para istri Rasulullah, isti para shahabat, dan anak-anak ditempatkan di pondok Hassan bin Tsabit. Pondok itu terletak di atas sebuah bukit, kokoh dan sukar ditembus musuh.
Ketika kaum muslimin sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi kemungkinan serangan dari pasukan kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya, kaum Yahudi Bani Quraizhah mendatangi pondok tempat para wanita dan anak-anak dikumpulkan. Tujuannya untuk memata-matai dan mengacaukan konsentrasi pasukan muslimin. Pondok memang tidak dijaga, lantaran seluruh kekuatan kaum muslimin dikerahkan untuk menjaga Khandaq dan menghadapi musuh yang sangat banyak.
Shafiyah melihat sesosok bayangan bergerak di keremangan fajar. Ia curiga dengan bayangan yang mengendap-endap itu. Dan ia yakin bahwa itu bukan bayangan pasukan muslimin. Pandangan dan pendengarannya terus mengikuti gerak bayangan itu.
Kiranya seorang Yahudi sedang menuju pondok. Yahudi itu bergerak mengelilingi pondok, memeriksa kalau-kalau ada pengawal yang menjaga. Shafiyah segera mengetahui bahwa orang itu adalah mata-mata. ‘Kaum Yahudi Bani Quraizhah melanggar perjanjian damai yang mereka buat dengan Rasulullah. Kini mereka terang-terangan membantu pasukan kafir Quraisy dalam memusuhi kaum muslimin. Seandainya musuh Allah yang satu ini tahu bahwa kami tanpa pengawal, pasti orang Yahudi akan menawan kami dan menjadikan kami budak,’ gumamnya dalam hati.
Dengan cepat Shafiyah mengenakan pakaian tempur. Diambilnya sebuah tongkat, lalu ia turun mendekati pintu. Direnggangkannya pintu perlahan-lahan. Kemudian dari celah-celah pintu itu, ia mengamati si Yahudi. Pada saat yang tepat, Shafiyah memukul kepala si Yahudi dengan tongkat. Musuh Allah itu langsung jatuh. Dengan sigap, Shafiyah memburu dan memukulnya kembali hingga tiga kali. Seketika itu juga si Yahudi tewas.
Shafiyah lalu memenggal kepala si Yahudi dan menggelindingkannya dari puncak pondok ke hadapan kawan-kawannya yang tengah menunggu. Melihat kepala kawannya terpotong, mereka saling menyalahkan. Seorang dari mereka berkata, “Kita sudah tahu, Muhammad tidak akan meninggalkan kaum wanita dan anak-anak tanpa pengawal.” Mereka pun angkat kaki ketakutan