Seandainya saat ini kita sedang duduk di kursi pengadilan, berhadapan dengan seorang hakim yang sedang mengadili kita atas kesalahan yang telah kita lakukan sebelumnya, disertai saksi yang siap menjawab pertanyaan-pertanyaan, maka mungkin kita pun akan bisa membayangkan betapa menyesal dan malunya kita saat itu. Atau, mungkin saja ada di antara kita yang justru merasa seperti tak bersalah sama sekali, hingga bahkan tanpa ragu untuk berbohong ataupun sampai membayar saksi untuk ikut berbohong juga, hanya demi sebuah keselamatan yang sementara. Tapi memang demikianlah kenyataan pengadilan manusia di dunia ini, di mana kita bisa berbohong untuk menghindari hukuman, dan bahkan sang hakim sendiri pun juga terkadang bisa salah dalam memberikan keputusannya meskipun kita telah berusaha untuk mengatakan kebenaran.
Namun, kelak di dalam pengadilan yang sesungguhnya pada hari yang sangat berat dan panjang, ketika Sang Maha Hakim justru sekaligus menjadi Saksi, yang mana telah menyaksikan sendiri segala perbuatan kita selama di dunia, maka ketika itulah kita tak mungkin bisa menghindar. Kita tentu tidak mungkin menutup-nutupi sesuatu dari Saksi yang justru telah melihat sendiri tingkah laku kita. Saat itu tiada lagi yang akan bisa kita sembunyikan. Dan ketika itu, amal kebaikan orang-orang yang ingkar dan enggan beriman akan diperlihatkan tanpa pahala apapun, melainkan telah cukup bagi mereka pahala di dunia saja, dan sisanya adalah pertanggungjawaban atas keingkaran dan amal kejahatan mereka. Sedangkan orang-orang yang beriman, akan ada yang amal baiknya diterima dan ada yang tidak, ada yang amal buruknya diampuni dan ada yang dibalas dengan hukuman. Dan semua itu akan menyesuaikan dengan amal perbuatan dan niat masing-masing selama di dunia ini. Sang Maha Hakim akan mengadili dengan sangat tepat, tanpa meleset sedikitpun meski hanya setitik maksiat di dalam hati kita.
Pada hari yang berat tersebut, semua dari kita akan dikumpulkan setelah dibangkitkan dari kematian, lalu masing-masing dipanggil untuk diberi sebuah kitab catatan yang menceritakan dengan sangat terperinci segala amal perbuatannya selama di dunia ini. Semuanya akan diperlihatkan dengan sangat jelas di dalam kitab catatan tersebut. Di dalam al-Qur’an disebutkan ayat-ayat tentang itu semua, di antaranya adalah yang artinya berikut ini:
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan (singkirkan secara perlahan) gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu menjadi datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan satu orang pun dari mereka.” (Al-Kahfi: 47)
“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris, (dan dikatakan:) sesungguhnya kalian datang kepada Kami sebagaimana Kami menciptakan kalian pada kali yang pertama; bahkan kalian mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kalian waktu (untuk memenuhi) perjanjian.” (Al-Kahfi: 48)
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis di dalamnya). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Al-Kahfi: 49)
Juga dalam surat lainnya yang artinya berikut ini:
“Katakanlah: ‘Allah-lah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tiada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (Al-Jaatsiyah: 26)
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dan pada hari terjadinya kebangkitan, akan merugilah pada hari itu orang-orang yang mengerjakan kebatilan.” (Al-Jaatsiyah: 27)
“Dan (pada hari itu) kamu melihat tiap-tiap ummat berlutut. Tiap-tiap ummat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. (Lalu dikatakan:) ‘Pada hari ini kalian diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan (sebelumnya).’” (Al-Jaatsiyah: 28)
“(Allah berfirman): ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan tentang kalian dengan benar. Sesungguhnya Kami telah memerintahkan pencatatan atas apa yang telah kalian kerjakan.’” (Al-Jaatsiyah: 29)
Dan juga yang artinya berikut ini:
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat); dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya; dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini)?”; pada hari itu bumi menceritakan beritanya; bahwa sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya; Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya (bangkit dari kematiannya) dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka; Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya; Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya pula.” (Al-Zalzalah: 1-8)
Dan di sana masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang menggambarkan tentang hari yang sangat berat tersebut. Dan ketika itulah penyesalan yang mendalam akan dialami oleh orang-orang kafir non-Muslim dan orang-orang yang tak pernah mempedulikan urusan kehidupan setelah mati tersebut, di mana amal kebaikan yang telah diusahakannya selama di dunia ternyata tidak membuahkan pahala apapun di akhirat, dan mereka bahkan sangat berharap untuk menjadi debu atau tanah yang tak perlu merasakan nikmat apapun selama di dunia. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu (ternyata) dia tidak mendapati sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nuur: 39)
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan; Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Huud: 15-16)
“Dan Kami hadapi segala amal (kebaikan) yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan (selama di dunia), lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqaan: 23)
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya; Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.’” (An-Nabaa’: 39-40)
Demikianlah Allah SWT memberitakan tentang kehidupan yang nyata setelah mati. Kesengsaraan yang kita alami di dunia ini ternyata tak akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kesengsaraan di akhirat kelak. Kebahagiaan pun juga demikian; semuanya tak akan bertahan lama dan pasti akan berakhir. Ketika kita telah dibangkitkan dari kematian kelak, maka seakan-akan waktu hidup kita selama di dunia ini hanyalah seperti waktu sore atau pagi hari saja. Dan apalah artinya sebuah waktu sore ataupun pagi yang hanya tak sampai sehari penuh atau hanya beberapa jam saja dibandingkan dengan ribuan tahun umur dunia dari awal diciptakannya hingga tiba hari kiamat nanti. Tentu akan terbayang betapa pendek dan tak berartinya dunia ini. Dan demikianlah mungkin kurang lebih perumpamaan masa hidup di dunia dibandingkan dengan masa hidup di akhirat kelak. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar) di waktu sore atau pagi hari (saja).” (An-Naazi’aat: 46)
Dan pada dasarnya, menumbuhkan rasa takut dan cemas terhadap hari yang sangat berat tersebut bukan dimaksudkan agar kita meninggalkan segala urusan duniawi, melainkan justru agar kita lebih berhati-hati dalam segala urusan tersebut dan agar justru semakin giat mengejar amal kebaikan demi akibat yang lebih kekal nantinya. Mengenal hari yang besar tersebut tidak harus menjadikan kita menghina dan mencela dunia, karena sebenarnya dunia ini pun baru akan menjadi hina dan tercela jika memang hanya digunakan untuk bersenang-senang belaka atau bahkan untuk menanam keburukan dan kejahatan. Dan dia justru akan menjadi ladang yang baik jika memang ditanami kebaikan yang didasari iman dan rasa takut kepada Allah SWT, insyaa’Allaah.
Dan dengan pemahaman yang demikian itu, maka kita pun akan dapat semakin bersemangat dalam menjalankan peran masing-masing. Apapun peran kita, selama bukan untuk maksiat, melanggar syari’at, ataupun berbuat kerusakan di muka bumi ini, insyaa’Allaah tiada yang salah ataupun perlu dipermasalahkan. Bahkan, kita justru dilarang meninggalkan beragam peran yang saling melengkapi tersebut. Kita sebagai ummat Islam diharuskan menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupan, sesuai kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Mengenal kehidupan setelah mati bukan justru agar kita meninggalkan ilmu-ilmu duniawi, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, geografi, dan semacamnya, melainkan justru agar kita lebih meningkatkan ilmu-ilmu tersebut dan mengarahkannya sesuai rambu-rambu Islam, agar iman kita justru semakin bertambah dengan mendalami ayat-ayat Allah SWT yang tersebar di alam semesta ini.
Mengenal kedahsyatan akhirat tidak harus berarti memisahkan antara perkara agama (Islam) dengan perkara dunia, hingga seakan-akan yang kita sebut agama (Islam) itu pasti harus menjauh dari dunia. Padahal, justru agama (Islam) itulah yang diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur urusan dunia, demi keselamatan manusia di akhirat kelak. Selama ini kita cenderung meyakini bahwa ummat Islam haruslah dipisahkan dari perkembangan sarana dunia seperti teknologi, media, ataupun kemajuan-kemajuan lainnya, yang mungkin itu semua adalah karena kita menyetujui istilah-istilah yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam sendiri, seperti istilah pembedaan antara Islam dan Barat misalnya, yang mana dengan menerima istilah tersebut sebagai kenyataan, maka kita pun akan lantas menjaga jarak dan bahkan menjauhi Barat yang konon adalah tempat bagi para penguasa dunia. Padahal, Timur ataupun Barat, semuanya hanyalah milik Allah SWT, dan bukan milik non-Muslim. Kita mungkin sering ketakutan sendiri dengan istilah ‘Islam versus Barat’ yang dibuat-buat oleh mereka, padahal bisa jadi itu akan justru membatasi jangkauan dakwah agama Islam itu sendiri, dan padahal istilah yang benar adalah ‘Islam versus kekafiran’, dan bukan ‘Islam versus Barat’ tersebut. Kita justru seharusnya mendekati Barat agar dapat menyerukan Islam di sana, karena Barat adalah bumi Allah SWT juga. Kita tentu juga akan justru bergembira ketika semakin banyak ummat manusia di Barat yang turut bergabung dengan kita dalam agama yang lurus ini, agar kerusakan-kerusakan aqidah dan syari’at yang telah diperbuat oleh non-Muslim di sana dapat diluruskan.
Adapun penyerupaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam, maka itu adalah penyerupaan dengan sikap orang-orang kafir, bukan dengan Barat. Karena di Barat maupun di Timur, pasti ada orang-orang yang ingkar dan kafir. Di Barat juga ada orang-orang yang beriman, sebagaimana di Timur juga ada orang-orang yang kafir. Jadi, Islam tidak seharusnya dipisah-pisah berdasarkan arah, tempat, ataupun ruang, melainkan yang menjadi pemisah adalah keimanan dan keingkaran. Bumi ini dan segala arahnya hanyalah milik Allah SWT. Teknologi memang lebih banyak berkembang di Barat, namun teknologi bukan hanya milik orang-orang di Barat, melainkan dia adalah anugerah dari Allah SWT yang diperuntukkan bagi ummat manusia, yang seharusnya juga dikuasai oleh sebagian ummat Islam agar dapat dipergunakan ke arah yang lebih sesuai dengan aturan Islam. Media pun juga demikian, jika orang kafir Yahudi menyerang kita dengan media, maka tentu kita pun harus menggunakan media juga untuk melawan mereka.
Islam tidak pernah melarang perkara-perkara dunia yang baik, melainkan yang dilarang adalah membesar-besarkan perkara dunia tersebut hingga kita mengecilkan perkara akhirat yang sebenarnya lebih besar dan lebih berat. Karena itulah, di sana memang harus ada yang sibuk mengembangkan perkara dunia, namun harus ada pula yang tetap fokus dengan urusan agama Islam ini, hingga detil-detilnya. Semuanya saling melengkapi dan mendukung. Dan jika mengembangkan perkara dunia adalah ibarat perang, maka akan tidak semestinya semua orang-orang yang beriman ikut serta dalam peperangan tersebut. Seharusnyalah ada sebagian mereka yang menempuh perjuangan dalam bentuk yang lain berupa belajar agama. Golongan inilah yang akan mempelajari agama secara detil, hingga bahkan masalah ibadah ritual yang tampak sederhana sekalipun, seperti mengalirkan air ke dalam hidung ketika berwudhu, dan seterusnya, karena jika tiada yang mengurusi hal-hal yang seperti itu, mungkin kita juga tidak akan pernah tahu seperti apakah sifat shalat Rasulullah SAW, yang mana tentunya tidak mungkin kita karang sesuka hati. Bahkan dalam hal mempelajari agama pun akan harus ada juga pembagian tugas-tugas; ada yang harus menguasai ilmu warisan dalam Islam, ilmu Tafsir, ilmu Hadits, ilmu bahasa Arab, Fiqih dan seterusnya, di mana semuanya akan saling melengkapi. Dan kita yang hanya mengerti dasar-dasar agama pun akan bisa merujuk kepada para ahlinya untuk permasalahan yang lebih detil. Semuanya akan saling menopang dan membantu.
Intinya adalah agar kita semua tidak lupa dan melupakan tujuan hidup yang sejati, yang bukan selalu tentang pembangunan duniawi dalam bentuk fisik, melainkan justru lebih cenderung tentang pembangunan ruhani yang niscaya akan juga dengan sendirinya memperbaiki sisi fisik manusia. Karena setelah dunia ini akan masih ada hari berat yang panjang dan melelahkan, yang penuh dengan keluhan dan penyesalan yang tak berujung. Maka sangat merugilah kita jika sampai meremehkan hari yang berat tersebut. Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (Islam) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
“Sesungguhnya mereka menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).” (Al-Insaan: 27)
Dan dari semua itu, kita pun akan dapat lebih berhati-hati dalam berbuat sesuatu. Kita akan berusaha menghindari perbuatan buruk dan akan lebih bersemangat dalam mengejar kebaikan untuk akhirat. Kita akan menjadi semakin yakin bahwa dunia ini adalah tempat menanam yang hasil panennya akan menyesuaikan dengan apa yang kita tanam. Maka betapa banyaknya keburukan amal yang telah kita tanam di sini. Betapa banyaknya kekurangan diri kita yang tak diketahui oleh orang lain. Kita memang saat ini hanya diharuskan menyembunyikan aib masing-masing dari sesamanya. Tapi kelak pada hari yang berat tersebut, tiada lagi yang bisa disembunyikan dan ditutup-tutupi kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Pada hari itu, ketika catatan amal perbuatan ditampakkan, kita tak akan sempat mengingat orang-orang yang pernah menyakiti kita di dunia. Rakyat yang teraniaya tak akan sempat meneliti kabar para pemimpin yang menganiaya mereka. Bahkan, jika saja dengan memaafkan orang yang menyiksa dan menganiaya kita, kita lantas bisa selamat sepenuhnya ketika itu, niscaya detik ini pun kita akan lebih memilih untuk memaafkan, karena keselamatan di kampung abadi tersebut sangatlah mahal dibandingkan dengan kenikmatan semacam apapun di dunia ini. Semuanya akan sibuk memikirkan keselamatan masing-masing. Semuanya sibuk dengan catatan amal perbuatannya. Kita tak lagi sempat berkeinginan menggunjing, melainkan justru menyesali gunjingan-gunjingan yang telah kita lakukan. Kita juga tak akan sempat berprasangka buruk kepada orang lain, melainkan segala prasangka buruk yang telah menjadi tuduhan akan dimintai pertanggungjawaban bukti yang justru akan menjadi beban yang sangat disesali. Semua berita yang telah kita sebarkan tanpa kebenaran akan justru menjadi bumerang yang mempersulit diri kita sendiri. Segala ucapan yang bermuatan kata-kata mengganggu akan justru menjadi gangguan bagi diri kita sendiri. Ketika kita pernah menuduh saudara-saudara seiman kita sebagai orang-orang yang kafir, seperti menyamakannya dengan orang-orang Kristen, Yahudi, bahkan Dajjal ataupun iblis, padahal tidak demikian kenyataannya, maka ketika itulah tuduhan kita tersebut akan menjadi masalah besar bagi diri kita sendiri.
Memang, di dunia ini kita tampak lebih cenderung sibuk dengan kesalahan-kesalahan orang lain, bahkan menikmati kesibukan semacam itu hingga melupakan kesalahan-kesalahan kita sendiri. Padahal, jika saja setiap orang dari kita bersedia untuk melihat ke dalam hati, lalu menghitung setiap titik debu yang hinggap di situ, pasti kita pun akan tak sempat untuk mencari-cari kesalahan orang lain, karena menghitung debu yang menempel di hati kita sendiri saja juga tak akan ada habisnya. Ini bukan berarti kita harus menghentikan kegiatan saling mengingatkan kesalahan sesama, karena tentu saling menasehati itu sangat diharuskan, namun tentu antara memberi nasehat dengan meneliti aib itu pasti akan berbeda. Yang pertama akan dilandasi dengan semangat memperbaiki, sedangkan yang kedua akan dilandasi semangat negatif yang bahkan bisa jadi tak akan ada ujungnya kecuali hanya kepuasan hati yang manfaatnya sangat sementara dan fana. Nasehat akan dapat membantu mereka yang telah bersalah untuk dapat berbuat baik dan benar, sedangkan meneliti aib biasanya dimaksudkan untuk menghalang-halangi mereka dari memperoleh kebaikan, didasari oleh perasaan negatif kita. Dan hati kita sendiri pun pasti akan bisa membedakan sendiri mana yang nasehat dan mana yang bukan.
Cukuplah Allah SWT sebagai saksi atas segala perbuatan kita selama ini. Dialah pihak ketiga ketika kita hanya berdua, Dialah yang kedua ketika kita hanya sendirian. Dialah yang tak pernah salah dalam menilai. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujaadilah: 7)
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka.” (An-Nisaa’: 108)
“Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (At-Taubah: 78)
“Katakanlah: ‘Jika kalian menyembunyikan apa yang ada di dalam dada (hati) kalian atau kalian menampakkannya, pasti Allah mengetahui. Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Aali ‘Imraan: 29)
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahi kita ingatan akan kedekatan dan kebersamaan-Nya dengan kita, bahwa Dia senantiasa menyaksikan kita. Dan semoga Dia mengampuni kita atas segala kesalahan yang tidak kita sadari dan tidak kita maksudkan. Kita memang terkadang tidak bermaksud berbuat salah dalam suatu sikap dan tindakan, dan tidak juga bermaksud mendzalimi orang lain, namun memang cara menilai manusia itu pasti akan beragam sesuai sudut pandang masing-masing, hingga yang telah kita usahakan benar pun bisa saja tetap salah dalam pandangan orang lain, atau bahkan tiada yang pernah benar sama sekali, hanya karena tertutup sebagian kesalahan kita yang lainnya. Dan itulah keridhaan seluruh manusia yang selamanya akan mustahil dapat berkumpul di satu titik. Maka dari itu, cukuplah Allah SWT sebagai Saksi yang tak pernah salah dalam menghukumi. Apapun amal perbuatan yang kita lakukan, setidaknya kita tidak sampai mendasarinya dengan niat berbuat kerusakan di muka bumi ini. Perkara apakah amal tersebut akan diterima ataukah tertolak, maka itu bukanlah wewenang kita. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang paling kuat persaksiannya?’ Katakanlah: ‘Allah, (Dialah) Saksi antara aku dan kalian.’” (Al-An’aam: 19)
“Katakanlah: ‘Cukuplah Allah menjadi Saksi antara aku dan kalian. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.’” (Al-‘Ankabuut: 52)
Dan akhirnya, kita pun sama-sama bukan Tuhan yang mengetahui isi hati orang lain ataupun nasib masa depan mereka. Kita bahkan juga tidak pernah tahu akhir hidup kita sendiri. Maka sepantasnyalah kita tak perlu terlalu berlebihan meresahkan kesalahan orang lain, semenjak kita sendiri pun juga tak pernah terlalu berlebihan meresahkan kesalahan kita sendiri. Kita hanya diperintahkan untuk menyeru sesama manusia untuk kembali kepada kebaikan dan kebenaran dengan nasehat dan cara yang benar, sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, menurut kesanggupan dan keterbatasan masing-masing. Dan tentu kita pun tak ada yang berniat untuk terjerumus ke dalam siksa neraka. Maka dari itu, semoga Allah SWT yang merupakan Saksi Nyata kehidupan kita, senantiasa menunjuki kita hidayah-Nya serta mengampuni segala kesalahan kita, terutama kesalahan yang tidak kita sadari dan tidak kita maksudkan. Dan hanya dari dan milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.
Ibnu Anwar