Tahun baru Hiriyah yang “dirayakan” beberapa waktu lalu, sedikit demi sedikit, telah semakin menjauh. Dalam hal ini ahli bahasa telah memperingatkan, “Masa depan sungguh dekat betapapun jauhnya, sedangkan masa lalu begitu jauh betapapun dekatnya” (Kullu Madin Ba’id, Wakullu Mustaqbalin Qarib). Namun semoga semangat yang dibawanya tidak ikut menjauh. Merupakan kewajiban umat untuk memahami semangat tersebut agar tahun baru kali ini tidak berlalu begitu saja seperti tahun baru sebelumnya.
Ada suatu kejadian yang terekam erat dalam tulisan sejarah dan tinta-tinta suci dalam kitab hadist, merupakan awal dimulainya kelahiran Islam sebagai agama final. Agama yang pang pada kemudian hari mengubah padang pasir Arab yang tandus menjadi mesiu yang meledak-ledak.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a (yang artinya), wahyu pertama yang datang kepada Rasul adalah mimpi yang benar, Rasul tidak bermimpi kecuali terlihat seperti terbitnya fajar di saat subuh, kemudian beliau suka menyendiri (al-Khala’) di gua Hira’ untuk beribadah…(HR. Al-Bukhari/ Hadits. No.4573).
Hadits di atas paling tidak ingin menyampaikan dua pesan penting. Pertama, pendidikan jiwa dengan metode ikhtila’ (menyendiri). Ikhtila’ adalah metode awal yang dilakukan Nabi untuk memahami esensi kehidupan. Pemahaman mengenai esensi kehidupan ini merupakan modal awal untuk menerima dan mengemban tugas besar, yaitu risalah kenabian. Karena itu ikhtila’ mempunyai posisi penting dalam permulaan keberagamaan umat Islam secara umum.
Al-Qur’an dalam surat Asy-Syams ayat 8 menyampaikan bahwa setiap jiwa manusia sudah diilhami potensi ketakwaan dan kejahatan (fujur). Fujur adalah penyakit jiwa (seperti: sombong, pamer, dengki, riya’, terlena oleh dunia dll) yang akan memenjarakan jiwa dan membuat hati gelisah dan jauh dari ketenangan. Hal ini karena penyakit tersebut sangatlah cerdik dan cerdas untuk melakukan tipu daya. Karena itu dalam dua ayat berikutnya ditekankan bahwa kebahagiaan hanya bagi yang mensucikan jiwanya, sedang kesengsaraan hanya bagi yang mengotorinya. Melalui pendidikan jiwa dengan metode ihktila’ tersebut akan mengantarkan kepada pemahaman esensi kehidupan.
Kedua, pendidikan jiwa dengan metode muhasabah. Ikhtila’ tidak akan mencapai hasil maksimal jika tidak disertai dengan introspeksi mendalam (muhasabah). Salah satu pesan berharga sayyidina Umar bin Khattab r.a., sebagai penggagas penanggalan Hijriyah, “Hisablah Diri, Sebelum Di Hisab Nanti” (حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا) menekankan betapa pentingnya mengevaluasi setiap amal yang telah dijalankan. evaluasi ini akan mengantarkan seseorang menuju kesadaran total untuk menegaskan perannya di dunia. Seorang mukmin seharusnya tidak jatuh dua kali dalam satu lubang. Muhasabah yang di dalamnya memuat rasa pengawasan Allah (Muraqabah Allah) dan memikirkan (al-Tafakkur) keagungan Allah akan berujung kepada kesadaran yang membangkitkan.
Seperti pesan Syed Naquib Al-Attas; “Hanya jika kesadaran dapat berubah menjadi kebangkitan yang sepenuhnya, dengan bantuan matahari ilmu, maka di sana akan muncul di kalangan kita, laki-laki maupun perempuan, dengan kematangan spiritual dan intelektual serta integritas, yang akan memerankan perannya dengan kebijaksanaan dan keadilan dalam menjunjung tinggi kebenaran” (Al-Attas, Islam dan Sekularisme).
[Abdul Mukit Ridwan, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Pendidikan dan Pemikiran Islam, asal Pamekasan Madura]
Donasi Kaderisasi Ulama dan Cendekia dapat disampaikan melalui Rekening BRI SYARIAH Jl Jajajaran Bogor atas nama Ibdalsyah QQ Cendekiawan Muslim No Rek. 100 436 8246