Kandidat Master di Centre For Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM).
“Seandainya dia (Muhammad) membuat sebagian perkataan atas (nama) kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya, maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (QS al-Haqqah [69]: 44-7).
Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Secara historis, ia tidak diturunkan 30 juz sekaligus, tetapi diturunkan selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Walaupun masa turunnya wahyu sudah selesai dan al-Qur’an tidak mungkin lagi bertambah ayatnya, namun ia tidak akan pernah lekang dimakan oleh zaman. Bukankah al-Qur’an telah memperkenalkan dirinya sebagai “hudan linnas,” yaitu petunjuk bagi manusia?
Sebagaimana diketahui bersama, perbincangan mengenai al-Qur’an tidak pernah habis, terutama ketika dikaitkan dengan permasalahan hidup. Keunikan al-Qur’an inilah yang membuat para pecinta kesesatan dan kebatilan mengerahkan segala usahanya demi memuaskan nafsunya untuk mengotak-atik, merekonstruksi, dan mendekonstruksi segala hal yang sebenarnya bukan persoalan yang layak untuk diperdebatkan. Orang-orang seperti itu bukan berasal dari kalangan orientalis Barat dan non Muslim saja, tetapi banyak juga dari kalangan umat Islam.
Di zaman yang serba modern ini, banyak sekali karya-karya edisi kritis terhadap al-Qur’an bermunculan. Konon “katanya” karya-karya tersebut bersifat “objektif”, “modern”, dan mampu membuat umat Islam terbebas dari kejumudan. Namun sebaliknya, upaya demikian ternyata tidak bisa memberikan pencerahan terhadap umat Islam, tetapi justru membawa umat Islam jatuh ke jurang kekufuran, kekeliruan, dan kesesatan. Akibatnya, otentisitas al-Qur’an diragukan. Sendi-sendi agama pun akhirnya runtuh.
Sepanjang sejarah manusia, berbagai usaha yang mencoba untuk meragukan al-Qur’an sebagai kalamullah tidak pernah membuahkan hasil. Padahal banyak dari mereka yang tahu akan kebenaran al-Qur’an, tetapi mereka tidak tahu bahwa diri mereka itu tahu. Bukankah Allah telah menyatakan, “Itulah al-Kitab (al-Qur’an), tidak ada keraguan di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 2). Kata “ذالك”(itu) yang Allah gunakan merupakan isyarat jauh untuk menunjukkan al-Qur’an. Tujuan penggunaan isyarat jauh ini agar memberikan kesan bahwa al-Qur’an menduduki tempat yang tinggi dan sangat jauh dari jangkauan manusia, karena ia bersumber dari Allah yang Mahatinggi. Sementara kata “الكتاب” (al-kitab) yang menggunakan “alif lam al-ma’rifah” difahami sebagai arti kesempurnaan.
Di antara pemikir modernis terdepan yang berusaha untuk mendekonstruksi al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Pemikirannya menjadi idola sehingga dijadikan referensi para aktivis Islam Liberal—baik dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dosen, maupun mahasiswa. Dikarenakan Abu Zayd memiliki latar belakang teknik, mungkin ia berfikir bahwa al-Qur’an itu seperti mesin yang bisa diotak-atik dan dibongkar pasang semaunya.
Biografi Abu Zayd
Abu Zayd dilahirkan di Desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943. Ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Thantha. Setelah lulus dari Sekolah Teknik di Thantha pada tahun 1960, dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo sampai tahun 1972. Pada tahun 1968 ia meneruskan studinya di Jurusan Bahasa dan sastra Arab di Universitas Kairo. Dia masuk kuliah pada malam hari dan siangnya dia tetap bekerja. Kemudian studinya diselesaikan pada 1972 dengan predikat cum laude. Pada tahun 1975 ia mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk melakukan studi selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar MA dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo dengan predikat cum laude dengan tesis yang berjudul, “Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor Menurut Mu‘tazilah”. Pada tahun 1981, ia juga meraih gelar PhD dalam studi Islam dan Bahasa Arab dari Jurusan yang sama dengan predikat cum laude dengan disertasi yang berjudul, “Filsafat Ta’wil: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi” (untuk maklumat lebih lanjut silakan rujuk Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, 2003, 15-26 dan karya-karyanya, 207-8).
Pandangan Abu Zayd Tentang al-Qur’an
Abu Zayd berpendapat bahwa hakikat teks al-Qur’an adalah produk budaya, teks manusiawi, teks historis, dan teks linguistik. Terma-terma ini didasari atas kenyataan bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya tertentu, sehingga ditulis kepada aturan-aturan budaya tersebut, di mana bahasa merupakan sistem pemaknaannya yang sentral. Teks al-Qur’an tegasnya bersifat ilahiyah, namun ia menjadi sebuah konsep yang relatif dan berubah ketika ia dilihat dari perspektif manusia; ia menjadi teks manusiawi (Ibid., 71 dan 73).
Pandangan Para Ulama Mu’tabar Mengenai al-Qur’an
Menyikapi pernyataan bodoh Abu Zayd di atas, kita harus bertanya, adakah di antara para ulama mu’tabar (klasik ataupun kontemporer) yang memiliki pemahaman sama seperti Abu Zayd? Ulama tersebut penting untuk dijadikan rujukan, sebab mereka memiliki kepakaran dan otoritas keilmuwan. Karya-karya besar dan berjilid-jilid yang ditulis oleh mereka menjadi bukti tentang hal tersebut. Mari kita lihat bagaimana mereka memahami al-Qur’an.
Al-Qur’an dalam pandangan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha adalah kalamullah yang diturunkan berbahasa Arab kepada Nabi SAW (M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, 1990, v.9, 282 & v.12, 52).
Sedangkan Imam al-Jurjani memiliki pandangan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW, termaktub di dalam mushaf dan sampai kepada kita melalui periwayatan yang mutawatir (al-Jurjani, al-Ta‘rifat, 1405 H, 223).
Imam al-Zurqani berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, dan kalamullah berbeda dengan kalam manusia (al-Zurqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1998, v.1, 28).
Al-Nasafi mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq (sesuatu yang diciptakan), yang dapat dibaca dengan lisan, dihafal (terpelihara) di dalam dada, dan tertulis dalam mushaf (al-Nasafi, Kitab al-Tamhid li Qawa‘id al-Tauhid, 1986, 175).
Imam al-Jawzi mendefinisikan al-Qur’an sama dengan al-Nasafi sebagai kalamullah dan bukan makhluq (lihat Imam al-Jawzi (w.597 H), Funun al-Alfnan fi ‘Uyun ‘Ulum al-Qur’an, 1987, 149-157).
Imam al-Zarkasyi mendefinisikan al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW untuk dijelaskan pesan-pesannya dan dijadikan mu‘jizat (Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1957, v.1, 318).
Imam Baydhawi dan al-Qurthubi mendefinisikan al-Qur’an sebagai wahyu yang benar-benar diturunkan dari sisi Allah SWT (lihat Tafsir al-Baydhawi, 1998, v.1, 136; dan Tafsir al-Qurthubi, 1964, v.19, 168).
Adapun al-Qur’an dalam pandangan Ali Shabuni adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW untuk membenarkan berita yang dibawa oleh Nabi SAW, dan adil atas apa yang telah ditentukan dan diputuskan (Ali Shabuni, Shafwat al-Tafasir, v.1, 273).
Begitu juga dengan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi yang mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dihafal di dalam dada, yang dapat dibaca dengan lisan, ditulis dalam mushaf yang dilingkari dengan kemuliaan yang tidak ada kebatilan, baik di awalnya maupun di akhirnya, diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, seperti ditegaskan di surat Fushshilat [41]: 42. (lihat Jurnal Al-Insan, Al-Qur’an dan Serangan Orientalis, 2005, 79).
Pandangan para ulama di atas, baik klasik maupun kontemporer, sebenarnya satu dan memiliki tujuan yang sama. Domain al-Qur’an menurut mereka tidak terlepas dari kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW dan berbahasa Arab. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada satu pun di antara mereka yang mendefinisikan al-Qur’an bukan pada tempatnya, terutama memandangnya sebagai teks manusia atau pun hasil produk budaya.
Siapa pun yang ingin berinteraksi dengan al-Qur’an, ada rambu yang telah ditetapkan oleh para ulama dan harus ditaati bersama: pertama, senantiasa memposisikan al-Qur’an sebagai kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang sampai kepada kita melalui periwayatan yang mutawatir. Kedua, senantiasa memposisikan al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab (M. Salim Abu ‘Ashi, Maqalatan fi al-Ta’wil, 2003, 5). Jika ada orang yang melanggar kedua rambu tersebut, kajiannya dapat dikategorikan menyimpang dan diragukan keilmiahannya. Wallahua’lam bishawab.
Email penulis : [email protected]