Sebelumnya telah sedikit kita ulas salah satu pelanggaran terbesar aturan nalar “Prinsip Proporsionalitas” di dunia pemikiran, yaitu “menyama-nyamakan hal-hal yang tidak bisa disamakan”. Dan kita sudah melihat bahwa pelanggaran semacam ini dengan mudahnya telah menghasilkan berbagai keyakinan, paham, dan aliran-aliran keagamaan yang sangat melecehkan akal sehat serta bertentangan dengan hati nurani.
Kali ini, kita akan menyoroti pelanggaran kedua terhadap prinsip ini, yaitu “membeda-bedakan atau memisah-misahkan hal-hal yang tidak bisa dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan”. Ketika dua hal atau lebih itu sama, sejenis, senilai, atau saling mengukuhkan, maka hal-hal tersebut tidaklah sah secara rasional untuk dibeda-bedakan status, jenis, nilai, atau bentuk penyikapannya. Pelanggaran terhadap hal ini adalah diskriminasi tanpa alasan (tafrîq bilâ farqin) yang sebetulnya merupakan wujud inkonsistensi dalam berpikir.
Pada puncaknya, inkonsistensi berpikir akan membuahkan anggapan-anggapan takstabil, paham-paham absurd, dan tindakan-tindakan yang plin-plan tak beraturan. Dan ketika pola kesemrawutan semacam ini merasuki konsep-konsep keberagamaan seseorang, yang akan muncul adalah split personality serta ketidakmenentuan dalam mengabdi, bertuhan, dan beribadah—yang tentu saja akan mengantarkan pelakunya pada ketidakseimbangan hidup, kesia-siaan amal, serta kekacauan nasib di Dunia dan Akhirat.
Al-Quran menandaskan: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah pada satu tepi (saja). Jika ia memperoleh kebaikan, ia tetap nyaman dalam keadaan (beribadah) itu; dan jika ia ditimpa suatu bencana, ia sontak berbalik ke belakang (tidak lagi beribadah). Rugilah ia di Dunia dan Akhirat! Yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).
Ibadah dan pengabdian kepada Tuhan adalah sesuatu yang utuh, bersifat universal, serta merupakan kesatuan konsep dan tindakan yang terpadu sehingga tidak bisa dicerai-beraikan unsur-unsurnya dan sama sekali tidaklah sah untuk hanya dilakukan dalam momen-momen tertentu saja. Pada saat keutuhan, universalitas, dan kesatu-paduan ibadah ini diterjang, maka kepribadian seseorang akan pecah dan berbagai kerja serta usaha parsialnya itu akan sia-sia tidak berguna.
Konsistensi dalam berpikir—yang kemudian akan menjaga stabilitas dalam bertindak—memang merupakan modal dasar bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran secara utuh serta mendambakan kemanfaatan yang lestari. Dan esensi paling mendasar bagi konsistensi berpikir adalah menilai dan memperlakukan obyek, statemen, maupun konsep yang sejenis dan selaras sebagai hal-hal yang memang identik, seragam, atau berstatus sama dan saling mengukuhkan.
Para rasul (utusan Allah), misalnya, adalah figur-figur manusia yang sama-sama mendapatkan wahyu dari Allah sekaligus sama-sama mengemban misi luhur untuk mengantarkan hidayah kepada umat manusia serta mengentaskan mereka dari jurang kesesatan dan kubangan noda kejahatan. Pemikir yang konsisten akan melihat jelas keseragaman identitas, kesamaan status, dan keterpaduan ajaran para rasul ini sehingga ia akan memberikan penilaian dan penyikapan yang senada terhadap mereka semua.
Sebaliknya, pemikir inkonsisten akan kehilangan kesadaran nalarnya dalam menilai dan menyikapi para rasul tersebut sehingga ia nampak mengakui yang ini tetapi menolak yang itu atau menyukai yang ini tetapi membenci yang itu. Dan yang lebih parah dari sikap seperti ini ini adalah orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah Tuhan seru sekalian alam tetapi ia justru mengingkari pesan-pesan Allah yang dibawa oleh para rasul utusan-Nya.
Ketidakjelasan pola pikir ini menunjukkan bahwa sebetulnya ia tidaklah memiliki konsep matang dan pijakan kuat dalam bernalar—sehingga hal itu akan berkonsekwensi pada ketiadaan buah pikiran yang hakiki pada alam rasional dan ruang perasannya. Ketika ia mengklaim telah mengakui, menyukai, serta mengimani kerasulan salah satu rasul tetapi tidak memberikan sikap yang sama terhadap rasul yang lain, maka sesungguhnya klaim pengakuan, kesukaan, dan keimanannya itu adalah sesuatu yang nihil serta tidak betul-betul ada secara nyata. Begitu juga ketika ia mengaku beriman kepada Allah tetapi justru menolak pesan-pesan Allah melalui para utusan-Nya.
Al-Quran mendedahkan karakteristik pemikir inkonsisten semacam ini dalam ayatnya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dan juga mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebagian (rasul) dan kami kafir terhadap sebagian (rasul yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (antara iman dan kekafiran), mereka itulah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisâ’: 150-151).
Ketika seseorang mengaku beriman kepada Allah, konsekwensi logisnya ia harus mengimani semua pesan-pesan dan ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepadanya melalui akal fitrah maupun melalui semua rasul yang diutus Allah. Melalui siapapun pesan dan ajaran Allah itu disampaikan, semuanya adalah pesan dan ajaran Allah. Jadi tidaklah sah secara rasional untuk membeda-bedakan sikap terhadap pembawa pesan dengan pembawa pesan yang lainnya, sebagaimana juga tidaklah sah mengaku beriman kepada Allah tetapi menolak semua pesan yang dibawa para utusan-Nya. Oleh karena itulah, keimanan yang dicemari oleh salah satu dari kedua bentuk ketidakrasionalan paham dan inkonsistensi berpikir ini adalah keimanan yang semu, tidak hakiki, dan sia-sia belaka.
Ketidakrasionalan pertama direpresentasikan oleh kalangan Yahudi dan Nasrani yang enggan mengakui kerasulan Muhammad saw. sementara mereka sudah mengakui kerasulan beberapa nabi sebelum beliau. Dan ketidakrasionalan kedua direpresentasikan oleh kalangan penentang rasul yang banyak diceritakan oleh Al-Quran. Di era modern, paham penentangan para rasul itu menitis kembali pada kalangan Deists (penganut paham Deisme) yang mengaku beriman kepada Tuhan tetapi menolak wahyu dan kenabian.
Ada bentuk lain dari paham irasional berjenis inkonsistensi berpikir ini yang sangat populer di zaman sekarang, yaitu Sekularisme. Paham ini menganggit konsep yang secara substansial menyatakan bahwa wilayah kedaulatan agama tidak boleh mencakup wilayah-wilayah kedaulatan negara atau pemerintahan. Aturan Tuhan hanya dibatasi keberlakuannya dalam ruang sempit individu atau komunitas masyarakat yang terbatas. Sebagai gantinya, hukum dan ajaran yang diterapkan pada level publik adalah hukum dan ajaran yang diproduk oleh adat dan budaya setempat (warisan nenek moyang) atau dihasilkan secara kontemporer oleh konvensi para wakil rakyat dan keputusan pada pemegang kendali pemerintahan.
Ini sebetulnya paham klasik yang sudah ditradisikan oleh kalangan Ahlul Kitab ketika mereka menjadikan kalangan cerdik-cendekia dan figur-figur religius mereka sebagai pemegang penuh supremasi leglisatif di level publik. Allah menceritakannya dalam Al-Quran: “Mereka menjadikan orang-orang pandai dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (mereka juga mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31). Inkonsistensi sikap sedemikian ini juga rawan terjadi di lingkungan Umat Islam sendiri—akibat ulah kalangan Munafiqun—sebagaimana disindir dalam QS. An-Nisâ’: 61-63.
Untuk level yang sempit, mereka mengakui otoritas Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah dan ditaati aturan-Nya, tetapi untuk level yang lebih luas mereka menolaknya dan justru menjadikan opini-opini manusia yang rawan salah sebagai pijakan dan panutan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah ajaran yang telah diturunkan oleh Allah!" mereka menjawab: ‘(Tidak!) Kami justru mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari (warisan) nenek moyang kami’. Akan bagaimanakah halnya jika nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak berada dalam jalur hidayah?!” (QS. Al-Baqarah: 170).
Inilah sampel-sampel nyata untuk pola inkonsistensi yang terkait dengan pengakuan atas kebenaran dan otoritas Tuhan Yang Maha Sempurna. Akibat penerjangan Prinsip Proporsionalitas dalam bernalar, seseorang kemudian secara semrawut membeda-bedakan situasi sehingga ia hanya beribadah dan menghamba Allah pada momen-momen tertentu saja. Akibat kesalahan yang sama, seseorang kemudian mengaku beriman kepada Allah tetapi mengingkari wahyu-wahyu dan para rasul-Nya; atau mengakui beberapa tetapi menolak yang lainnya; atau mengakui semuanya tetapi membatasi ruang pelaksanaannya hanya pada level-level kehidupan tertentu saja. Semua kesesatan pikiran dan inkonsistensi sikap ini adalah buah dari "pembedaan hal-hal yang identik dan pemisahan hal-hal yang utuh". Semoga Allah menjauhkannya dari kita semua!
Penulis: Nidlol Masyhud, Lc.
Mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo. Aktif di KPS (Kampus Pemikiran SINAI) dan Majelis Litbang SINAI. Juga aktif sebagai Wakil Ketua I Orsat ICMI Kairo dan anggota Majelis Litbang PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo).