2. Kurang menghargai hal-hal yang dianggap kecil dari pasangan
Batu sandungan kedua yang bisa mengganjal tergapainya keluarga samara adalah kurang menghargai hal-hal yang dianggap kecil dari pasangan. Dan karena hal yang dianggap kecil ini terjadi terus-menerus, bahkan menjadi budaya, suatu saat bisa menjadi bom waktu yang ledakannya teramat besar.
Umumnya, seorang suami kerap menganggap kecil untuk memberikan apresiasi dari sesuatu yang agak beda yang ditampilkan seorang isteri. Baik itu berupa penampilan, kreasi masakan, dan ide-ide pemecahan problematika rumah tangga.
Sebagai contoh, ketika seorang isteri mengenakan sebuah busana baru misalnya, hal yang sangat dinanti-nanti sang isteri adalah komentar dari suaminya. Dan biasanya, komentar yang diinginkan seorang isteri adalah yang sesuai dengan apa yang ia rasakan. Karena komentar suami yang diharapkan, biasanya hanya sebagai penguat persepsi dan rasa yang disimpan seorang isteri.
Karena itu, seorang suami sebaiknya jangan hanya asal memberikan komentar. Tapi, mencermati lebih dalam ekspresi apa yang diharapkan dari isterinya. Dalam hal ini, komentar yang sekadar asal pujian, biasanya lebih cenderung memberikan kesan memudahkan terhadap apa yang lebih diharapkan dari isteri. Terlebih lagi jika komentar lebih buruk dari itu, yaitu hanya asal kritik. ”Nggak pantes banget bajunya, Ma. Norak!”
Repotnya, ketika ditanya di mana noraknya, sang suami tidak mampu memberikan deskripsi yang memadai. ”Ya, pokoknya norak aja!” Kalau sudah begitu, akan terjadi kesenjangan hubungan emosional antara isteri dan suami.
Perhatikanlah apa yang mesti dikomentari dari yang ditampilkan atau dikreasikan oleh isteri. Buat kesan seolah-olah, dan sebaiknya memang tidak berpura-pura, berpikir agak lama sambil perhatian tertuju pada sesuatu yang akan dikomentari. Segala kesibukan apa pun, untuk sementara waktu, sebaiknya ditinggalkan. Jangan memberikan kesan seolah ada hal yang lebih penting dari tawaran komentar itu.
Komentar yang baik adalah komentar yang argumentatif. Ketika misalnya seorang suami mengatakan, ”Kok kayaknya kurang matching ya Ma, antara jilbab sama blus.” Argumentasi tidak matchingnya di mana. Apakah dari sudut pandang warna, potongan desain, atau postur tubuh si pemakai. Komentar yang argumentatif akan selain memberikan kesan apresiasi yang dalam juga mampu memberikan kritik yang konstruktif.
Kalau memang ingin mengatakan ’bagus’, berikan kesan yang spontan dan tidak sekadar pujian. Bahasa tubuh untuk menguatkan komentar ini, akan memberikan kepercayaan isteri untuk mengenakan busana itu.
Contoh lain adalah mengomentari sebuah kreasi masakan. Seorang suami sebaiknya bisa empati lebih dalam terhadap apa yang telah dilakukan isteri ketika telah berusah payah menyiapkan masakan. Terlebih lagi jika hal itu berkenaan dengan resep baru.
Bayangkan tentang segala pengorbanan itu. Bayangkan ketika harus berlama-lama di dapur yang panas karena hawa dari kompor, aneka bau-bauan yang kurang sedap, dan mungkin ruangan yang sangat sempit.
Di luar dari hasil kreasi masakan yang bisa bagus atau tidak, upaya untuk memberikan kreasi baru dari sebuah masakan saja sudah merupakan hal yang patut untuk diapresiasi.
Upayakan untuk mencicipi terlebih dahulu kreasi masakan sebelum memberikan komentar yang sebaiknya berupa pujian. Dalam hal mencicipi ini, upayakan tidak memperlihatkan aktivitas membaui masakan yang sudah jadi.
Seorang suami sebaiknya mempunyai seni untuk mengungkapkan kritik dari kreasi masakan isteri. Misalnya, untuk mengungkapkan rasa yang terlalu asin, bisa dikatakan, ’Enak, tapi kayaknya kelebihan garam.” Dan begitu seterusnya jika keaseman, dan kepedasan.
Hal ini untuk memberikan kesan bahwa keasinan dan sejenisnya itu adalah hal teknis, bukan sesuatu yang prinsipil. Dan hal teknis itu bisa disiasati dalam bentuk yang tidak terlalu serius.
Begitu pun dalam merespon sebuah gagasan penyelesaian terhadap problematika rumah tangga. Baik itu dari isteri, atau pun suami.
Dengarkan dengan baik apa yang disampaikan suami atau isteri. Berikan komentar jika hal yang disampaikan telah benar-benar selesai diucapkan. Jangan membuat gagasan baru sebelum gagasan yang disampaikan benar-benar telah disimak dan dipelajari. Dan hal ini bisa berlaku untuk gagasan yang disampaikan oleh anak-anak. ([email protected])