Sebagai sebuah dīn (baca: agama) Allah memberikan berbagai keistimewaan kepada Islam. Ia merupakan satu-satunya agama yang diakui di sisi Allah (Qs. Āl ‘Imrāb [3]: 19). Untuk itu, siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dīn, maka ia akan ditolak. Lebih menyedihkan lagi, para penganutnya akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi di akhirat (Qs. Āl ‘Imrān [3]: 85).
Untuk itu, umat Islam dituntut untuk berjuang penuh dalam mempertahankan dīn yang benar (dīn al-ḥaqq) ini. Salah satunya adalah dengan berpegang-teguh kepada Al-Qur’an (Qs. Āl ‘Imrān [3]: 103), yang disebut oleh Allah dengan “tali Allah
(ḥabl Allāh). Keistimewaan ini benar-benar menjadi anugerah yang dijelaskan untuk umat ini di dalam sumber undang-undang dan hukum kehidupannya, Al-Qur’an: kitab suci yang mencakup seluruh lini kehidupan, disamping sebagai “batu ujian” bagi kandungan kitab-kitab sebelumnya (Qs. al-Mā’idah [5]: 48).
Sebagai agama terakhir – sekaligus Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir bagi manusia – Allah berjanji untuk ‘menjaga’ dan memeliharanya, agar tidak mengalami distorsi (al-taḥrīf) sebagaimana yang terjadi terhadap kitab-kitab sebelumnya (Qs. al-Ḥijr [15]: 9). Karena agama ini terpelihara dan terjagi dari berbagai distorsi dan interpolasi itu, ia menyeru kepada seluruh manusia untuk menjadikannya sebagai panduan hidup dan kehidupan yang terbaik. Disini kemudian menjadi nyata mengapa umat Islam disebut oleh Allah sebagai khaira ummah (umat terbaik) yang “dilahirkan” oleh Allah bagi seluruh manusia (Qs. Āl ‘Imrān [3]: 110), dengan syarat mereka melakukan dua hal penting: melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Islam adalah dia merupakan agama seluruh para nabi dan rasul Allah (Qs. al-Syūrā [42]: 13). Artinya: sejak zaman nabi Adam as. hingga Rasulillah Saw. agama yang dibawa dan disampaikan kepada manusia adalah ‘Islam’. Dan inti dari Islam itu adalah ‘Tawhid’ (mengesakan Allah Swt. dalam nama-Nya, dalam sifat-Nya, dalam pekerjaan-Nya). ‘Alī ibn Abī Ṭālib mengomenari realitas ini dengan menyatakan, “Iman sejak diutusnya Adam as. adalah syahadat (kesaksian) ‘La ilaha illa Allah’ (Tidak ada tuhan selain Allah) dan iman kepada apa yang turun (datang) dari sisi Allah. Dan, setiap kaum (umat) diberikan syariat (hukum) dan minhaj (jalan menuju hukum itu).”
Menegaskan hal itu, Rasulullah Saw. menyatakan, “Aku adalah orang yang paling berhak atas ‘Isa ibn Maryam di dunia dan di akhirat. Pada nabi adalah bersaudara meskipun ibu mereka beda, tetapi agama mereka satu.” (HR. al-Bukhārī). (Lihat, Dr. Mu‘ādz ibn Muhammad Abū al-Futūḥ al-Bayānūnī, al-Ta‘addudiyyah al-Da‘wiyyah (Kairo: Dār Iqra’ li al-Nasyr wa al-Tawzī‘, cet. I, 1427 H/2006 M), hlm. 19, 20).
Namun demikian, Sayyid Quṭb (w. 1966) menegaskan bahwa Islam yang berfungsi sebagai manhaj ilahi itu diwujudkan oleh “Islam” dalam wujudnya yang final sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Meskipun ia tidak dapat direalisasikan hanya dengan kata “kun”. Ia pun takkan dapat membumi hanya gara-gara disampaikan dan dijelaskan kepada manusia. Pun tak dapat diejawantahkan dengan paksaan Tuhan seperti edaran hukumnya di dunia benda-benda langit. Ia dapat berfungsi sebagai dīn lewat usaha maksimal kelompok manusia. Dan usaha itu wajib “diwarnai” dengan keimanan penuh, konsistensi – sesuai kemampuan – dan berusaha untuk “membumikannya” dalam hati manusia dan kehidupannya. (Sayyid Quṭb, Hādzā al-Dīn (Kairo: Dār al-Syurūq, cet. XIV, 1412 H/1992 M), hlm. 9).
Kalau begitu, berarti hanya Islam sajalah yang layak disebut sebagai al-dīn al-ḥaqq (agama yang benar) dan selain Islam adalah batil (Qs. Āl ‘Imrān [3]: 19, 85 dan Qs. al-Bayyinah [98]: 5). Hal ini karena agama Islam ini adalah dīn al-fiṭrah: sesuai dan sejalan dengan fitrah manusia. Di atas fiṭrah ini lah seluruh manusia diciptakan oleh Allah (Qs. al-Rūm [30]: 30). Nabi Saw. pun menegaskan hakikat fiṭrah ini bahwa, “Tidak ada seorang bayi pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fiṭrah (suci-bersih), kedua orangtuanyalah yang kemudian menjadikan bayi itu menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. Hal ini seperti seekor binatang ternak yang melahirkan anak yang sempurna fisiknya. Apakah kalian mendapati binatang yang dilahirkan itu cacat (tidak sempurna)?” (HR. al-Bukhārī).
Itu sebabnya Allah Swt. memerintahkan umat ini untuk menjaga dan memelihara dīn ini dengan maksimal. Bahkan, bila perlu dengan jalan jihad di jalan Allah (Qs. al-Anfāl [8]: 39). Selain Allah juga memberikan wanti-wanti agar umat Islam tidak berpecah-belah dan tidak berselisih dalam menjalankannya (Qs. al-Syūrā [42]: 13). Bahkan, “negosiasi” dalam masalah akidah tidak dibenarkan bagaimana pun kondisinya (Qs. al-Kāfirūn [109]: 1-6).
Semoga kita dapat mengaplikasikan Islam dalam realitas kehidupan. Dan, kita dapat mendakwahkannya sekaligus mempertahankannya secara istiqāmah. Wallāhu waliyyut-taufīq.
*) Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Menulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012) dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui: [email protected]