Perlu di sebutkan juga bahwa Ibnu Taimiyah tatkala menyebutkan perkataan golongan Bathiniyah secara absolut (mutlak) dalam berbagai kitabnya, seperti “Dar Ta’arud al-Aql wa an-Naql”, “Minhaaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, ia tidak membatasi artian dan penisbahan Bathiniyah kepada Syi’ah Isma’iliyah saja, melainkan meliputi seluruh golongan yang berkeyakinan bahwa syari’at atau teks-teks al-Qur’an itu mengandung makna lahir dan batin, seperti yang diyakini oleh para Ahli Tasawwuf, Filsafat, dan golongn Jahmiyah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa standarisasi Ibnu Taimiyah dalam pemakaian istilah Bathiniyah terlihat pada bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan kepada teori lahir batin, yang dalam perkembangannya gaya penafsiran tersebut didukung penuh oleh pemikir-pemikir sekuler atau liberal[1]. Sebagaimana yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini.
Sejauh observasi penulis, ada tiga pengaruh atau kesan metodologi ta’wil Bathiniyah terhadap Hermeneutika yang dipropagandakan oleh kaum sekuler dan liberal, yang daripadanya kita dapat melihat sejauh manakah pengaruh tersebut pada pemikiran liberal dalam memahami, menterjemahkan dan memainkan ajaran-ajaran agama melalui interpretasi mereka terhadap teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Yang pertama: melalui teori lahir batinnya al-Qur’an dan Sunnah. Yang kedua: Ta’wil liar yang tidak sesuai dengan gramatikal bahasa Arab. Yang ketiga: Penyesatan aqidah. Untuk lebih jelasnya mari kita mencoba melihat kebenaran hipotesa ini dalam uraian berikut:
A, Teks al-Qur’an dan Sunnah Mengandung Makna lahir (eksplisit) dan Batin (implisit).
Teori lahir dan batin merupakan asas utama bagi pemahaman aqidah syi’ah Ismal’ilyah Bathiniyah dan Syi’ah Imamiyah. Dengan melalui teori tersebut lahirlah konsep Ta’wil yang tidak beraturan dan tidak dilandasi oleh kaedah apapun. Melihat pentingnya teori tersebut dalam syi’ah Isma’iliyah, Paul E. Walker – Guru besar di Universitas MacGill- dalam bukunya “Hamdi ad-Din al-Kirmani”, mengamati bahwa teori lahir dan batin adalah masalah esensial, oleh karena itu sangat ramai diperbincangkan oleh aliran syi’ah, baik syi’ah Isma’Iiyah[2] ataupun syi’ah Imamiyah.
Dan teori ini selanjutnya dikenal dengan slebutan lain, yaitu: “al-Mutslu wa al-Mamtsul”. Di mana mereka memposisikan lahir itu sebagai “al-Mutslu”, sedangkan batin diposisikan sebagai “al-Mamtsul”. Teori ini digunakan oleh syi’ah Isma’ilyah untuk memahami segala wujud alam langit dan bumi, dan dijadikan sebagai standar interpretasi dalam menegakkan dan membela kepercayaan yang mereka anut dan yakini sepenuhnya. Di samping itu, mereka juga mengistilahkan teori tersebut dengan dua istilah lain, yaitu: “at-Tanzil wa at-Ta’wil”, juga: “al-Ilmu wa al-‘Amal” [3].
Untuk mengetahui lebih jauh implementasi teori lahir dan batin yang diagung-agungkan oleh syi’ah Isma’ilyah, penulis menukil perkataan salah satu filosof syi’ah Isma’ilah yang bernama Abu Mu’ayyan al-Marwazi yang populer dengan sebutan akrabnya “Nashir Khasru” (wafat sekitar 470 H): “Sebagaimana halnya alam dunia ini tersusun dari empat unsur, yaitu: panas, dingin, kering dan lembab, maka alam agamapun demikian, ia tersusun dari empat unsur juga, yaitu: Kitab (al-Qur’an), Syari’at, Ta’wil dan Tauhid” [4].
Dengan landasan perumpamaan (analogy) tersebut, syi’ah Isma’Iiyah berasumsi bahwa syari’at itu mengadung dua makna, yaitu: makna lahir dan makna batin[5].
Di tempat lain, salah satu filosof syi’ah Isma’illiyah moderat yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H), yang berasal dari negara Yaman, mendefinisikan hakikat makna lahir dan batin, ia berkata: “Jika penganut aliran syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah mengatakan: Qur’an itu mengandung dua makna, yaitu lahir dan batin, maka maksudnya tidak lain adalah makna lahir itu adalah amalan perbuatan manusia yang sifatnya syari’at (furu’iyah), seperti: mengucapkan dua kalimat syahadat, melakukan ritual shalat, menunaikan zakat, puasa dan haji, serta berjihad.
Adapun makna batin dalam pengertian mazhab kami, maksudnya adalah pengetahuan batin, seperti: mengetahui eksistensi sesuatu, elemen-elemen dan hakikatnya, dan hal ini tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, serta hanya dapat dicapai melalui ilustrasi dan imajinasi jiwa dan akal manusia, contohnya dalam permasalahan tauhid, kenabian, balasan dan siksaan di hari kemudian. Dan hal itu hanya bisa diketahui oleh sebagian manusia, yaitu para imam-imam syi’ah” [6].
Dari penuturan filosof syi’ah Isma’Iiyah diatas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan makna lahir adalah segala bentuk perbuatan dan amalan manusia yang berkaitan dengan furu’iyyyah syari’at (fiqh). Sedangkan makna batin merupakan inti atau esensi agama yang tidak nampak oleh pancaindera manusia. Namun hal itu dapat diketahui, dideteksi dan dicapai oleh para imam-imam mereka saja.
Dalam konteks yang sama, Ja’far bin Mansur (wafat 347 H), yang juga merupakan salah satu ulama syi’ah Isma’liyah, bahkan termasuk tokoh terkemukan syi’ah Isma’ilyah di Yaman, mendefinisikan lebih detil definisi makna lahir dan batin, baginya: “Makna batin adalah hakikat agama Allah yang tercatat dan dimiliki oleh para Waliyullah (imam-imam syi’ah). Sedangkan makna lahir adalah syari’at-syari’at agama dan semisalnya.
Dengan demikian, agama merupakan ruh dan jiwa bagi syari’at. Sedangkan syari’at merupakan jasmani bagi agama. Sebab jasmani tidak dapat hidup tanpa adanya ruh. Dengan sebab keberadaan ruhlah jasmani itu dapat hidup. Begitupun sebaliknya, tanpa adanya jasmani, ruh tidak dapat hidup. Sebab jasmani merupakan tempat hidupnya ruh. Sama halnya dengan lahiriyah syari’at, ia tidak dapat tegak tanpa keberadaan batin, sebab batin itu adalah cahaya dan hakikatnya, dan batin itulah yang menegakkan syari’at [7].
Sebagi catatan, teori lahir dan batin dapat ditemui juga dalam konsep ilmu Tasawwuf. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya konsep tersebut merupakan hasil adopsi dari sy’iah. Secara khusus konsep ini akan ditemukan pada tasawwuf yang bercorak filsafat (at-Tasawwuf al-Falsafiy), yang memiliki beberapa orang tokoh seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dll.
Begitu juga halnya dengan salah seorang ulama terkemuka tasawwuf at-Tustari yang dalam kitab tafsirnya dengan jelas menekankan adanya makna lahir dan batin bagi teks Qur’an, ia berkata: “Makna batin itu merupakan hasil pemahaman seseorang dalam menela’ah isi kandungan al-Qur’an, dan makna batin itulah yang merupakan makna yang sebenarnya (hakiki) [8].
Dengan demikian, teori lahir dan batin merupakan masalah penting dan utama bagi ahli Tasawwuf dalam merumuskan permasalahan ma’rifat [9].
Dari beberapa penjelasan ulama Isma’ilyah di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sangat meyakini adanya makna lahir dan batin bagi teks-teks Qur’an maupun Sunnah, dan bagi mereka makna lahir bukanlah initi dari al-Qur’an, melainkan intinya terletak pada pemaknaan batinnya, dan bagi mereka amalan ibadah syari’at seperti, mengerjakan shalat, puasa, haji dll, adalah makna lahir bagi agama, adapun makna batinnya terselubung dan hanya diketahui oleh para imam-imam mereka yang maksum (terpelihara dari noda dan dosa), alasan mereka, karena imam itu adalah pilihan langsung dari Allah, jadi pengankatan mereka langsung pula dari Allah Swt, oleh karena itu setiap imam memiliki kemampuan dan keilmuan yang memadai terhadap segala seluk beluk agama, baik yang sifatnya lahiriyah atau bathiniyah, dan anehnya mereka berasumsi lebih jauh bahwa alam ghaib bisa diilustrasikan oleh para imam-imam mereka, seperti kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi di alam akhirat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau penganut syi’ah Isma’iliyah meremehkan amalan-amalan syari’at, sehingga mereka mengatakan bahwa pelaksanaan ibadah shalat hanya perlu dilakukan dalam tiga waktu sehari, yaitu, shalat Maghrib, Isya dan Shubuh, bahkan bila perlu ditinggalkan sama sekali, alasan mereka amalan shalat tidak ditentukan waktunya secara detil dalam teks-teks al-Qur’an, melainkan ditentukan oleh Nabi, maka sepeninggal Nabi Muhammad, Imam Syi’alah yang menjadi penerus dan generasinya untuk menentukan perkara-perkara agama, dengan demikian seorang imam boleh saja baginya membuat amalan atau syari’at sendiri atau merevisi ajaran-ajaran yang telah ada sebelumnya, dengan cara menambahkan atau mengurangi amalan-amalan yang telah ditentukan oleh Nabi sebelumnya, hal ini berlaku sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi.
Adapun argumentasi mereka tentang pelaksanaan yang membatasi hanya tiga waktu shalat sehari, asumsi mereka pelaksanaan shalat asalnya lebih sepuluh kali dalam sehari semalam, kemudian berkurang menjadi lima waktu saja, di samping itu mereka berargumentasi dengan teks Qur’an ayat 78, surah al-Isra: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) shalat shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)" [10].
Bila kita kontemplasikan fenomena diatas maka akan jelas ide bahwa segala teks agama mengandung makna lahir dan batin yang disuarakan dan dikonsumsikan oleh gerakan sekuler dan liberal, yang dibawa oleh para pemikir kontemporer di Timur Tengah, adalah sebenarnya ide atau metodelogi Syi’ah Isma’iliyah yang diadopsi dan dikembangkan serta dipopulerkan oleh oleh gerakan sekuler dewasa ini, namun mereka memakai slogan lain dalam membahasakan makna lahir dan batin, kalau Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan istilah “Lahir” dengan lafadz “Makna”, dan “Batin” dengan lafadz “al-Maghza”, sedangkan Ali Harb memakai istilah “al-Magza dan Ma’na al-Ma’na” untuk makna “Batin”, sementara al-‘Isymawi memilih penamaan “Batin” dengan “al-Jauhar”. Adapun Abid al-Jabiri menyebutnya “al-Maqashid”, dan Arkoun membahasakannya lewat istilah “al-Hadaatsha”.
Aneka terminologi di atas kerapkali kita temukan dalam buku yang bercorak sekuler dan liberal, tapi yang terpenting dari sekian banyak terminologi yang diketengahkan oleh para pemikir sekuler tersebut, intinya hanya satu, yaitu melagukan kembali teori (ad-Dzahri wa al-Batin) yang diprakarsai dan diploklamirkan oleh kalangan Syi’ah khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah.
Untuk melihat lebih dekat unsur pemakaian terminologi ini, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash”, ia berpendapat bahwa segala teks agama tidak mampu memberikan makna hakiki, oleh karena itu, tidaklah patut bagi seorang berinteraksi terhadap teks-teks agama melalui makna lahiriyah yang tercantum dan tercatat jelas dalam subuah lafadz, dan sebaik-baik cara untuk berinteraksi dengan teks al-Qur’an adalah mencari makna batin yang terselubung dan tersembunyi dibalik lafadz yang lahir” [11].
Senada pada tempat lain, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash” menegaskan bahwa untuk memahami inti dari suatu lafadz, hendaknya tidak hanya berhenti pada artian lahiriah lafadz tersebut, melainkan harus menelusuri secara mendalam makna batin yang tersembunyi dibalik lafadz tersebut [12].
Dalam konteks yang sama Nasr Hamid Abu Zaid, tidak ketingggalan dalam masalah ini, ia ikut memastikan bahwa esensi teks al-Qur’an itu terletak pada maknanya dan bukan pada lafadznya [13].
Dan hal senada ditegaskan pula oleh Muhammad Sai’id al-‘Isymawi, dengan terang-terangan ia mengatakan dalam bukunya “Hishad al-‘Aql”: “Sesungguhnya al-Qur’an itu turun berdasarkan makna dan tujunannya –bukan berdasarkan pada lafadznya-[14].
Inilah sederetan dari beberapa penuturan-penuturan dan penegasan-penegasan yang bercorak sekuler yang dikonsumsikan oleh para pemikir liberal di Timur Tengah, lalu diadopsi oleh selompok kajian-kajian liberal di Indonesia.
Dengan demikian dalam asumsi pemikiran sekuler dan liberal, hal yang paling utama dalam memahami teks al-Qur’an bukan bergantung pada makna harfiah sebuah lafadz, melainkan makna batin yang terselubung dibalik lafadz tersebut, dan ini merupakan lagu dan ide lama Syi’ah, khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah yang telah muncul pada tahun 250 Hijriah.
Di sinilah letak kesamaan metode penafsiran antara Syi’ah Bathiniyah dengan gerakan sekuler dan leberal, yang keduanya berasumsi bahwa lahiriah sautu teks agama tidak dapat dijadikan patokan pemahaman, sebab ia tidak boleh memberikan suatu makna hakiki.(Bersambung)
Catatan :
- Seandainya Ibnu Taimiyah masih hidup sekarang maka golongan sekuler atau liberal akan ia juluki “Bathiniyah”.
- Al-Fikr al-Isma’ily fi al-‘Ashr al-Haakim bin Amrillah, halaman 108, Dar al-Madaa li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, Dimsyiq, Suriah, cet 1/1980, Terjemah: Saifuddin al-Qashir, Judul asli: “Hamd ad-Din al-Kirmani”.
- Lihat desesrtasi penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqdiah al-Isma’ilyah wa Falsafatuha, halaman 89 – 100, Darul Kutub al-Ilmiah, Bairut, Lebanon, 2009.
- Zaadul Musaafirin, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal: 180. ad-Diwan, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal:238, dikutip dari Muqaddimah Jaami’ al-Hikmatain, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal: 56, dar at-Tsaqafah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, Kairo, Mesir, 1974, Taqdim: wa Tarjamah dari bahasa Persia: DR. Ibrahim ad-Dasuqi Syata, dan lihat: Kitab Syajarah al-Yaqin, ad-Daa’I Abdan al-Qirmithi, hal: 38, 39, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut, Lebanon, cet 1/1982, editor: DR. Arfi Tamir.
- Lihat kitab al-Majalis al-Musayarat, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, hal: 86, Dar al-Muntadhar, Bairut, Lebanono, cet 1/1996, editor: al-Habib al-Faqi, Ibrahim Syabbuh, Muhammad al-‘Alawi. Kitab Asas at-Ta’wil, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, hal: 28, Dar al-Ma’arif, Kairo, Mesir, cet 1 tanpa tahun terbit, editor: DR. Arif Tamir. Ar-Risalah al-Muzdhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, hal: 129, Dar al-Masiirah, Baerut, Lebanon, cet 1/1988, editor: DR. Arif Tamir.
- Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadil, ad-Da’I Ali bin al-Walid, jilid 1, hal: 1, Muassasah ‘Izzuddin, Bairut, Lebanon, 1982, editor: DR. Musthafa Gaalib.
- Al-‘Alim wa al-Ghulam, ad-Da’I Ja’far bin Mansur, hal: 12, al-Muassasah al-Jami’iyah, li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, Bairut, Lebanon, cet 2/1987, editor: DR. Musthafa Ghalib.
- Lihat tafsir at-Tustari, hal: 82.
- Lihat: Min Qadhayaa at- Tasawwuf, DR. Muhammad al-Jalayand, hal: 137-142.
- Kitab Sulaymaniah, Faiz ad-Dhman al-Bathini, hal: 51.
- Lihat: Naqd an-Nash, Ali Harb, hal: 15, al-Markaz at-Tsaqafiy al-‘Arabi, cet 1/1993.
- Lihat: Naqd an-Nash, Ali Harb, hal: 24.
- Lihat: al-Imam as-Syafi’I wa Ta’sis al-Idulujiyahah al-Wasathiyah, hal: 20 Dar Sinaa, Kairo, cet 2/1992.
- Hishad al-‘Aql, al-‘Isymawi,