Kartini sendiri berkorespondensi dengan Stella, seorang feminis ekstrimis, sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Namun kapasitas itu menurut, Tiar Anwar Bachtiar, karena Kartini masih dalam masa pencarian.
Menyambung daripada itu, peneliti INSISTS ini juga menyatakan bahwa Kartini sempat berinteraksi dengan Islam adalah fakta sejarah. Dalam masa akhir-akhir hidupnya, Kartini berguru ke Semarang. Hal itu besar didasarkan karena Kartini terkenal sebagai gadis yang gemar mengaji.
“Tapi memang dalam akhir hidupnya itu dia sempat mengaji ke Kiai Soleh Darat di Semarang karena memang dia senang mengaji. Karena ayahnya Bupati Rembang termasuk santri yang agak senang mengaji. Sebagai istri keempat kan Kartini pasti tidak banyak acara. Jadi Kartini itu sebagai pencari statusnya. Maklum sebagai anak muda dia mencari pengetahuan berbagai macam dan jatidiri, termasuk di masa akhir hidupnya Kartini bertemu Islam. Makanya Pak Mansyur (Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, red) mengatakan, Kartini terpengaruh Qur’an.” Sambung Tiar Anwar menambahkan.
Dalam keterangan lebih lanjut, Tiar Anwar Bachtiar juga melihat bahwa feminisme dalam pemikiran Kartini adalah taktik Belanda untuk membumikan ajaran feminisme dan liberalisme di Indonesia.
“Anehnya kan yang dimunculkan sekarang bukan Kartini pada masa akhir hidupnya. Kartini dikesankan feminis. Makanya mungkin Kartini juga gak engeh dia ditokohkan. Ini kan terjadi setelah Abendanon (Mr. J.H Abendanon, red.) menerbitkan surat-surat Kartini dengan Stella setelah Kartini meninggal. Jadi Kartini itu dikonstruk oleh Abendanon dan semuanya itu menjadi konsumsi publik dan cenderung liar.” Lanjutnya meyakinkan.