(Dosen Studi Islam STAI Darul Ulum Purwakarta)
Merumuskan sebuah struktur pemerintahan memang bukan perkara mudah, terlebih jika sistem pemerintahan tersebut eksistensinya sudah hilang, seperti sistem Khilafah yang runtuh pada tahun 1924 M, yang di dalangi oleh Mustafa Kemal tokoh sekuler Turki yang sangat pro Barat.
Namun berkat karunia Allah swt meski sistem ini runtuh, konsepnya masih tersimpan utuh dan diabadikan para Ulama dalam ratusan kitab-kitab mereka. Berdasarkan penelusuran, struktur pemerintahan Islam baik dalam konteks Pemerintahan maupun Administrasi, meliputi sebagai berikut: (1) Khalifah; (2) Mu’awin at-Tafwidh (Pembantu Khalifah bidang Pemerintahan); (3) Wuzara’ at-Tanfidz (Sekretaris Negara); (4) Wali (Gubernur); (5) Amirul Jihad (Militer); (6) Departemen Keamanan Dalam Negeri; (7) Departemen Urusan Luar Negeri; (8) Departemen Perindustrian; (9) Lembaga Peradilan; (10) Departemen Pelayanan Masyarakat (Mashalih an-Nas); (11) Baitul Mal (Kas Negara); (12) Departemen Penerangan; dan (13) Majelis Umat.
Beberapa jabatan dalam pemerintahan Islam yang termasuk sebagai penguasa adalah: (1) Khalifah; (2) Mu’awin at-Tafwidh; (3) Wali; (4) Amil; (5) serta orang (jabatan) yang dihukumi sama seperti mereka, semisal Qadhi Mazhalim, dan Qadhi Qudhat (jika punya kewenangan mengangkat Qadhi Mazhalim). Karena posisi-posisi tersebut berkaitan dengan pemerintahan atau kekuasaan, maka yang menempati jabatan ini haram seorang wanita, hal ini sesuai hadis: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. (HR. Al-Bukhari, no. 4073, 6570).
Pemerintahan dalam Islam bersifat sentralisasi (terpusat), artinya yang memiliki otoritas menerapkan hukum hanya satu orang saja, tidak boleh lebih; pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum hanya berada di tangan orang yang diamanati rakyat, yaitu seorang khalifah dan orang-orang yang mewakilinya. Sedangkan sistem administrasinya adalah desentralisasi, artinya diserahkan kepada masing-masing penguasa wilayah dan tidak semuanya diatur oleh pusat, misalnya pengangkatan pegawai teknis pemungut dan penyalur zakat, hal ini diserahkan kepada Wali (gubernur) masing-masing, sesuai dengan prinsip kemudahan dan kecepatan administrasi.
Khalifah: Kepala Negara Dalam Islam
Khilafah adalah sistem pemerintahan, sedangkan kepala negaranya disebut Khalifah, yakni orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah. Sebab, Islam menjadikan hak pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itulah umat mengangkat orang yang mewakili mereka dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan syariah yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka.
Khalifah disini bukan wakil Tuhan (Allah swt), bukan wakil Rasul saw, dan bukan pula wakil khalifah sebelumnya. Namun khalifah adalah wakil umat. Alasannya, khalifah adalah jabatan politik, bukan jabatan spiritual, dia bisa dikoreksi dan dijatuhkan jika tidak menjalankan fungsinya sebagai penguasa yang menerapkan syariah; Dia juga diangkat melalui baiat yang diambil dari umat, artinya ia bukan sebagai wakil Rasul saw, maupun di tunjuk Rasul saw; Khalifah pun bukan wakil (penerus) Khalifah sebelumnya, karena sistem pemerintahan Islam bukan dibangun berdasarkan pewarisan atau putra mahkota seperti monarki.
Untuk menjadi seorang Khalifah, ada beberapa syarat in’iqad (syarat legal) yang wajib dipenuhi: (1) mesti laki-laki; (2) muslim; (3) merdeka; (4) baligh; (5) berakal; (6) adil, artinya bukan orang fasik; dan (7) mampu mengemban jabatan. Selain tujuh syarat tersebut, tidak ada lagi yang layak jadi syarat in‘iqâd. Namun di luar itu dimungkinkan menjadi syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan) jika memang didukung nash-nash sahih atau merupakan turunan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash sahih. Misalnya: keturunan Quraisy, Mujtahid, atau Ahli menggunakan senjata.
Ketika ada yang memenuhi syarat, maka ia diangkat menjadi Khalifah dengan Baiat kaum Muslim kepadanya untuk memerintah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Batas waktu pengangkatan Khalifah adalah 3 (tiga) hari, jadi selama waktu tersebut kaum muslimin mesti bersungguh-sungguh mengupayakannya. Hal ini sesuai Ijma’ Sahabat.
Perlu ditekankan disini, bahwa daerah atau negeri yang membaiat khalifah dengan baiat in’iqad (baiat pengangkatan) disyaratkan mempunyai kekuasaan independen, yang bersandar pada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun; dan keamanan kaum Muslim di daerah itu —baik di dalam maupun di luar negeri— adalah dengan keamanan Islam saja, bukan dengan keamanan kufur. Adapun baiat taat (baiat pengakuan)yang diambil dari kaum Muslim di negeri-negeri lain tidak disyaratkan demikian.
Jabatan Khalifah tidak dibatasai periode tertentu. Selama Khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Jika Khalifah kehilangan satu dari tujuh syarat in‘iqâd maka secara syar‘i ia tidak boleh terus menduduki jabatan kekhilafahan. Pada kondisi ini ia harus dipecat. Pihak yang memiliki wewenang menetapkan pemecatannya hanya Mahkamah Mazhâlim.
Dalam menjalankan tugas kenegaraan, seorang Khalifah memiliki wewenang sebagai berikut:
- 1.Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syariah yang diperlukan untuk memelihara berbagai urusan rakyat. Hukum-hukum tersebut mesti digali berdasarkan ijtihad yang shahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Ketika diadopsi Khalifah, hukum-hukum tersebut menjadi undang-undang yang wajib ditaati, dan tidak seorang pun boleh melanggarnya.
- 2.Khalifah penanggung jawab politik dalam dan luar negeri sekaligus. Khalifah memegang kepemimpinan atas angkatan bersenjata; ia memiliki hak mengumumkan perang serta mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata, dan seluruh bentuk perjanjian lainnya.
- 3.Khalifah berwenang menerima atau menolak para duta negara asing. Khalifah pun berwenang mengangkat dan memberhentikan para duta kaum Muslim.
- 4.Khalifah berwenang mengangkat dan memberhentikan para Mu‘âwin dan para Wali (termasuk para Amil). Mereka semuanya bertanggung jawab di hadapan Khalifah sebagaimana mereka pun bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat.
- 5.Khalifah berwenang mengangkat dan memberhentikan Qadhi Qudhat (Kepala Kehakiman) dan para qadhi (hakim) yang lain, kecuali Qadhi Mazhalim. Berkaitan dengan pencopotan Qadhi Mazhalim, Khalifah terikat dengan beberapa ketentuan khusus. Khalifah juga berwenang mengangkat dan memberhentikan para dirjen, panglima militer, komandan batalion, dan komandan kesatuan. Mereka semuanya bertanggungjawab di hadapan Khalifah dan tidak bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat.
- 6.Khalifah berwenang mengadopsi hukum-hukum syariah yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN. Khalifah berwenang menetapkan rincian APBN, besaran anggaran untuk masing-masing pos baik berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran.
Demikianlah gambaran sederhana sistem pemerintahan Islam dan deskripsi tugas kepala negara dalam Islam, semoga ini bisa dipahami oleh umat bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan yang spesifik dan berbeda dari sistem pemerintahan yang lainnya.
—–
1. Beberapa sampel kitab-kitab yang umumnya membahas tentang pemerintahan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah: (1) Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Shulthaniyyah; (2) Abu Ya’la Al Farra’, Al-Ahkam as-Shulthaniyyah; (3) Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah; (4) Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 28; (5) Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Fashl Ma’na al-Imamah wa al-Khilafah; (6) Prof. Dr. Dhiya’uddin Ar-Rais, Al-Islam wa al-Khilafah; (7) Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy-Syura; (8) Abdul Qadir Audah, Al-Islam wa Audha’una as-Siyasiyah; (9) Dr. Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al ‘Uzhma; (10) Rasyid Ridha, Al-Khilafah Au al-Imamah al-‘Uzhma; (11) Abdurrahman Al-Jaziri, Al–Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah; (12) Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu; (13) Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, pada bag tertentu; (14) An-Nawawi As-Syafi’i, Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin; (15) Al-Kassani al-Hanafi, Bada-i’ ash-Shana-i’ fi Tartib asy-Syara-i’; (16) Ar-Rahibani al-Hanbali, Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha; (17) Taqiyuddin An-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II; (18) Imam al-Hafidz an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadz-dzab Juz V; (19) Al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, juz II; (20) Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajairimi, Hasyiyah Al-Bajairimi ala al-Khatib, juz XII; (21) Imam Al-hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al-Andalusi Adz-Dzahiri, Maratib al-Ijma’, juz 1; (22) Al-Allamah As-Syaikh Musthafa bin Sa’ad bin Abduh As-Suyuthi Ad-Dimasyqi Al-Hanbali, Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayah al-Muntaha, juz XVIII; (23) KH. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. Bab Khilafah; (24) Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath Al-Mu’in, Juz IV; (25) Dr. Abdul Majid al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam; (26) Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam; (27) Dr. Samih Athif az-Zain, Nizham al-Islam: al-Hukm, al-Iqtishad, al-Ijtima’; (28) An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, Bag. I; (29) Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Ajhizah Ad-Daulah Al-Khilâfah: fî al-Hukm wa al-Idârah, dan 4 kitab terakhir inilah, kitab paling sistematis dan paling mudah dipahami, sekaligus menjadi rujukan primer bahasan kedepan.
Dalil eksistensi Khalifah adalah perbuatan dan sabda Rasul saw. serta Ijma’ Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw (dalam konteks politik, bukan nubuwwah) setelah wafatnya. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Rasul saw. (Muqaddimah ad-Dustûr, bag. I, hal. 114).
Baiat itu bisa dilakukan dengan berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar melaporkan, ia berkata: Aku pernah menyaksikan Ibn Umar pada saat orang-orang bersepakat membaiat Abdul Malik bin Marwan. Ibn Umar berkata, ia telah menulis: Aku berikrar untuk mendengarkan dan menaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu. Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan. (Syaikh Al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Ajhizah ad-Daulah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, hal. 36)
An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, bag. I, hal. 128
Pengecualian pemecatan Qadhi Mazhalim berlaku dalam kondisi ketika Qadhi Mazhalim memeriksa kasus yang diajukan atas Khalifah, para mu‘âwin Khalifah, atau Qâdhî Qudhat-nya. Hal itu berdasar kaidah syariah: Sarana/wasilah yang mengantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram. Hal ini menghindari intervensi Khalifah membebaskan dirinya dari tuntutan dan untuk menjaga independensi keputusan Qadhi Mazhalim. Karena jika Khalifah terdakwa memecat Qadhi Mazhalim yang memeriksanya, ini bisa menyebabkan terabaikan hukum syariah, hal ini haram. Sedangkan dalam kondisi normal, ketika Khalifah tidak menjadi terdakwa, maka kewenangan memecat Qadhi Mazhalim kembali milik Khalifah.