Rasulullah SAW menangis di suatu tengah malam sampai membasahi tanah setelah menerima wahyu surat Ali Imran ayat 190: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (ulil-albab)” . “…Sungguh, celakalah bagi orang yang membacanya kemudian tidak berfikir tentangnya…” demikian sabda Rasulullah menjawab keheranan dan pertanyaan Bilal Bin Rabbah yang ketika itu datang saat menjelang subuh.
Ayat berikutnya, ayat 191, menjelaskan kriteria yang termasuk dalam golongan ulil-albab ini. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.
Cukup jelas ayat ini secara spesifik ditujukan pada golongan pemikir (ulil-albab) yang mampu mengkaji, meneliti, dan memahami proses kejadian alam semesta, serta pergantian siang dan malam, dan akhirnya, berdasarkan nilai-nilai tauhid yang diimaninya, menarik kesimpulan “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.
Tentu, ayat ini sebenarnya dimaksudkan berlaku umum kepada mereka yang tergolong ilmuwan, apapun bidangnya, tetapi dalam ayat ini diambil salah satu contoh ilmuwan yang berkecimpung dan menekuni bidang ilmu alam (natural science) dan teknologi.
Penyelidikan-penyelidikan tentang proses kejadian jagat raya dan isinya, termasuk bumi, memerlukan pengetahuan tingkat tinggi dan penelitian-penelitian di laboratorium. Informasi-informasi yang diberikan Allah dalam Al-Quran yang berkaitan dengan proses kejadian alam semesta dan pesan untuk menelitinya cukup banyak; di antaranya dapat dilihat pada surat-surat Yunus: 101, Al-Anbiya: 30, Adz-Zariyat: 47, Fushshilat: 11,12 dan 53, Al-Ghasyiyah: 17-20.
Apa yang merisaukan Rasulullah sehingga beliau menangis begitu pilu? Jawaban yang disampaikan Rasulullah kepada Bilal cukup jelas. Celakalah seseorang ilmuwan itu bila tak mampu menarik kesimpulan akhir dari hasil kajian dan penelitiannya, dalam bidang apapun, sama seperti kesimpulan yang digariskan oleh para ulil-albab itu. Kesimpulan yang mengakui secara mutlak keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kerahiman Allah yang tak terukur. Kesimpulan yang sekaligus juga mengakui kekerdilan manusia, keterbatasan, ketidak-berdayaan, dan ketergantungannya yang mutlak kepada Sang Pencipta.
Tidak dapat tidak, kesimpulan seperti hanya bisa dimiliki oleh ilmuwan yang ketauhidannya tanpa cacat. Pengakuan ketergantungan dan ketundukan mutlak para ulil-albab ini selanjutnya bisa dilihat dalam do’a mereka yang termaktub dalam 3 ayat berikutnya, Ali Imran: 192-194.
Azas Tauhid Dalam Pendidikan
Wawasan ilmu, apapun bidangnya, belum dikatakan sebagai ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’a) bila tidak dilandasi oleh nilai-nilai ketauhidan yang benar. Muhammad Natsir, diusia muda 29 tahun (1937) telah menyampaikan pikiran-pikiran cerdasnya dalam majalah Pedoman Masyarakat berjudul “Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan”. Dalam pandangan beliau, pendidikan tauhid kepada anak hendaklah diberikan seawal mungkin, selagi masih muda dan belum dibentuk, sebelum didahului oleh ideologi dan fahaman lain.
Seorang ilmuwan yang memiliki tauhid yang benar akan merasakan bagaimana potensi ilmu yang dimilikinya tak berarti apa-apa, begitu juga yang dimiliki oleh orang lain, bila dibandingkan dengan alam dan benda yang penuh misteri, apalagi terhadap ilmu Sang Penciptanya. Ilmu yang diperoleh adalah semata-mata pemberian Allah dan itupun sedikit sekali (Al-Isra’: 17).
Kemampuan akal yang disadari sangat terbatas dan karenanya rasionalitas yang dikembangkan juga diyakini sangat terbatas jangkauannya. Ia mampu menundukkan rasionalitas pemikirannya yang berkembang liar dalam memahami Al-Quran dan Hadist. Ilmuwan seperti inilah yang diharapkan sebagai cendekiawan muslim yang mampu memerankan dirinya sebagai benteng penjaga agama Allah, mampu memberikan pencerahan di tengah ummat, memperkuatnya, dan melahirkan gagasan cemerlang dan keteladanan dalam menggapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Satu hal yang penting disadari bahwa pengetahuan dasar ketauhidan dalam tataran konsep saja tidaklah cukup tetapi haruslah dibarengi dengan pengalaman “merasakan” keagungan, kebesaran, kerahiman, dan kemahakuasaan Allah.
Konsep tauhid harus diperkenalkan kepada setiap muslim sejak kecil dan berkelanjutan hingga akhir hayat. Semua peristiwa dan alam sekitar yang dilihat dan difikirkan haruslah dikaitkan dengan peran Allah sehingga dapat “merasakan” kebesaran, kerahiman, dan kekuasaan Allah sampai pada suatu tingkat suasana batin yang memiliki keyakinan mutlak padaNya.
Keyakinan mutlak bermakna bahwa Allah SWT yang Maha Esa adalah segala-segalanya sementara manusia adalah hamba yang tunduk mutlak pada kehendakNya, tidak berdaya sama sekali kecuali apa yang diberikanNya. Al-Quran diyakini sebagai pedoman mutlak yang membimbingnya dalam menyelesaikan seluruh aspek persoalan kehidupan. Rasio diposisikan sebagai sebuah potensi akal untuk memahami petunjuk-petunjuk Al-Quran dan Hadist yang berproses dalam jalur tauhid.
Tujuan Pendidikan Islam
Berangkat dari nilai ketauhidan inilah, sekurang-kurangnya ada empat objektif yang harus menyatu dalam setiap individu muslim (four in one) dalam menuntut ilmu. Pertama, untuk mengenal kebesaran Allah lebih dalam lagi yang terdefinisi dalam asma-ul husna. Kondisi ini memerlukan bekal pemahaman dasar ketauhidan dan keyakinan mutlak kepada Allah SWT yang menjadi benteng kokoh dari setiap konsep yang meragukanNya.
Pemahaman tauhid dalam tataran konsep tanpa keyakinan mutlak memungkinkan gagalnya seorang ilmuwan muslim mencapai objektif pertama ini. Ilmu yang berkembangpun menjadi liar tak terkendali. Barangkali, ini juga salah satu sebab mengapa sekarang ini bermunculan sarjana-sarjana muslim yang sangat mengagungkan potensi akal (rasionalisme), berfikiran aneh nyeleneh sampai berani menggugat Allah dan Rasulullah, mempertanyakan kesucian Al-Quran dan menafsirkannya sekehendak hati.
Kedua, untuk lebih memperdalam pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran dan Hadist serta pesan-pesan Allah dan Rasulullah. Semakin dalam ilmu dipelajari, semakin luas cakrawala berfikir, semakin kritis dan tajam daya nalar dan analisis menghadapi setiap masalah. Potensi keilmuwan yang dimiliki akan lebih memudahkan memahami informasi-informasi dan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist, baik langsung maupun melalui penjelasan-penjelasan yang diuraikan oleh para ulama.
Pemahaman tauhid yang benar akan mampu membedakan yang haq dan bathil, mampu menyaring informasi ilmu yang menyimpang dari aqidah dan ajaran Islam, mampu menyadari kemisteriusan alam, kemisteriusan sebuah benda, kemisteriusan partikel partikel yang menyusun benda, termasuk kemisteriusan tubuh dan organ yang menyusun tubuhnya sendiri.
Ketiga, menerapkan nilai-nilai Islam dalam keseharian hidupnya sebagai khalifah (vicegerence of Allah) sehingga mampu memposisikan dirinya sebagai rahmatul lil’alamin. Pemahaman tauhid yang benar akan menghasilkan ilmuwan yang beriman dan bertaqwa, membimbingnya ke tujuan penerapan ilmu ke arah yang bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia serta kelestarian alam. Ia menghindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih lagi penerapan yang merusak dan mungkar.
Keempat, menyebarkan ajaran Islam (dakwah) ke seluruh manusia dengan cara-cara yang tepat dan bijaksana. Ilmuwan yang memiliki tauhid yang benar sangat potensial mengemban tugas dakwah seperti yang dihimbau dalam surat An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Ia memiliki kefahaman yang dalam tentang sifat dan karakter manusia, tahu menempatkan diri dan mengerti bagaimana bersikap dan berbuat dengan ketegaran yang seharusnya dituntut dalam mengemban tugas dakwah. Insya Allah, peran besar ilmuwan seperti inilah yang memungkinkan ajaran Islam semakin luas berkembang menyinari dan mencerahkan manusia, membuka jalan kembali ke fitrahnya. (Bersambung)
Dr. Ir. Khairul Fuad, M. Eng; Penulis adalah dosen FT-USU dan Univ. Tek. Petronas, Malaysia.