Pada pembahasan bagian pertama, telah kami uraikan keutamaan hadiah dalam Islam, serta adanya pengecualian pada kasus-kasus tertentu. Khusus untuk pemerintahan, Islam mengharamkan pejabat dan pegawai negara untuk menerima hadiah. Inilah salah satu prinsip good governance yang sudah digariskan oleh Islam sejak 14 abad yang lalu. Kami akan coba menguraikan dalil-dalil dari Al Quran, hadits dan para salaf.
Dalil Pertama, Al Quranul Karim
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al Maa’idah: 1)
Di dalam tafsir Al Azhar, Buya Hamka rahimahullah menjelaskan bahwa Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menyempurnakan ‘uqud. ‘Uqud adalah bentuk jamak dari ‘aqad. Buya Hamka menjelaskan arti yang terdekat dengan bahasa kita adalah ikat, seperti mengikat janji, mengikat sumpah.
Buya mengutip dari tafsir Ruhul Ma’ani karya Al Alusi rahimahullah, bahwa ‘uqud itu dapat disimpulkan kepada tiga pokok terbesar, yaitu:
- ‘aqad antara hamba dan Allah;
- ‘aqad antara hamba dan dirinya sendiri;
- ‘aqad antara sesama manusia.
Ayat ini menunjukkan bahwa segala macam ‘aqad atau janji atau kontrak dan sejenisnya diakui oleh Islam dan wajib dipenuhi. Kalau dimungkiri maka si pelanggarnya telah melepaskan diri dari ciri-ciri orang yang beriman, kecuali janji yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal, demikian Buya Hamka. Buya menyitir satu hadits, sbb:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Perdamaian (persesuaian) diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah. Imam Tirmidzi berkata hadits hasan shahih) [11]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan dari Ibnu Abbas dan Mujahid radliallahu ‘anhuma, bahwa yang dimaksud ‘uqud adalah perjanjian-perjanjian. [12]
‘Uqud atau ‘aqad apa yang kami maksud dalam konteks tulisan ini?
Setiap pejabat yang akan diangkat untuk memangku suatu jabatan, wajib mengangkat sumpah jabatan, yang lazimnya dilakukan dengan kitab suci (Quran) di atas kepalanya. Kami petikkan satu bait dari dua contoh sumpah jabatan, sbb:
- Sumpah Jabatan Pejabat Sipil dan Militer: Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya. [13]
- Sumpah Jabatan Pejabat Hukum: Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa ia mempunyai atau akan mempunyai perkara atau hal yang mungkin bersangkutan dengan jabatan yang saya jalankan ini. [14]
Di sini jelas ada ‘aqad antara sang pejabat dengan negara, ‘aqad untuk tidak menerima hadiah atau pemberian dari siapapun juga. Wajiblah bagi sang pejabat untuk memenuhi aqad ini, kecuali sang pejabat adalah manusia tidak beriman.
Mungkin ada pertanyaan, bukankah pada aqad di atas ada "syarat" bahwa pada hadiah itu patut diduga si pemberi memiliki kepentingan. Lalu bagaimana kalau sang pejabat yakin bahwa tidak ada kepentingan atas hadiah itu? Misalnya "terima kasih yang ikhlas", berarti boleh?
Ini adalah salah satu trik berkelit yang pernah kami dengar dari rekan yang menjadi pejabat. Untuk menjawab trik ini, tinggal ditanyakan saja secara jujur, kalau dia bukan pejabat, apakah ada orang yang akan memberi hadiah? Kalau dia cuma pengangguran duduk di rumah orang tuanya, apakah tiba-tiba ada orang memberi hadiah parcel lebaran atau paket umrah? Kalau nanti dia sudah tidak menjabat, apakah parcel itu akan terus diberikan kepadanya ataukah diberikan kepada pejabat penggantinya?
Kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah tidak, jelaslah bahwa orang-orang memberikan hadiah karena si pejabat duduk di jabatan itu, maka sudah lebih dari cukup untuk menduga bahwa ada kepentingan dari si pemberi, entah kepentingan saat itu juga atau sebagai cara untuk menumpuk budi yang suatu saat akan ditagih kepada sang pejabat.
UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi, pasal 11 dan 12, penuh dengan ancaman denda dan pidana kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah. Undang-undang sebagai perangkat peraturan negara tentu saja wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Dari Abdullah radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim berlaku dalam hal yang disukai atau tidak disukai, selama pemimpin itu tidak menyuruh melakukan kemaksiatan. Jika dia menyuruh melakukan kemaksiatan maka tidak boleh didengar dan ditaati." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ahmad)
Tapi memang sulit bagi yang sudah terbiasa atau menganggap wajar menerima hadiah atau budaya upeti seperti itu, mau berapapun ancamannya mungkin akan ada yang berkelit lagi. Pernah kami dengar ada yang berkata, "Bukankah kita hanya terikat pada syarat-syarat yang tidak mengharamkan yang halal? Bukankah menerima hadiah juga dihalalkan/dianjurkan oleh nabi?"
Untuk membahas ini, maka kita masuk ke dalil kedua.
Bersambung ke bagian ketiga… Insya Allah.
Catatan/Referensi/Bahan Bacaan:
[11] HAMKA, Tafsir Al Azhar, Surah Al Maidah Ayat 1.
[12] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Surah Al Maidah Ayat 1.
[13] PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1959 TENTANG SUMPAH JABATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG, pasal 3 ayat 1.
[14] PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1947 TENTANG SUMPAH JABATAN UNTUK HAKIM, JAKSA, PANITERA SERTA PANITERA PENGGANTI, pasal 2.