5. Natalan.
Mengucapi selamat natal dan sebagainya kepada orang Nasrani difatwakan haram. Fatwa itu bukan main-main. Dan memang ini masalah besar, karena menyangkut aqidah, keyakinan, yang dalam Islam sudah tegas: lakum diinukum waliyadien. Bagimu (orang kafir) agamamu dan bagiku (orang Muslim) agamaku.
Namun banyak orang terutama pejabat bukan hanya mengucapi selamat Natal yang difatwakan haram oleh para Ulama, namun sampai ikut Natalan, bahkan ada gubernur yang natalan sambil mengeluarkan bantuan untuk gereja-gereja, padahal dia Muslim.
Apakah mereka masih terngiang pemerintahan penjajah kafir yakni Belanda yang memang sangat besar membantu Nasrani, namun sangat sedikit dana yang ke Muslimin padahal mayoritas penduduk Nusantara ini Muslim? Bagaimanapun, Ummat Islam tidak boleh ikut-ikutan kepada orang-orang yang telah menyepelekan agamanya sendiri itu. Dan tidak pantas pula mencari-cari simpati kepada orang kafir, karena telah dilarang oleh Allah Ta’ala.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak fatwa-fatwa tentang haramnya mengucapi selamat Natal, apalagi mengikutinya.
Fatwa MUI tentang haramnya mengikuti upacara natal, ringkasnya sebagai berikut:
Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
1. Al Qur`an surat Al-Kafirun ayat 1-6.
2. Al Qur`an surat Al Baqarah ayat 42
Memutuskan
Memfatwakan
• Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
• Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
• Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H
7 Maret 1981 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Ketua – Sekretaris
K.H.M SYUKRI. G – Drs. H. MAS`UDI
(ringkasan dari FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA Source: http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=71).
Fatwa Syeikh ‘Utsaimin:
Mengucapkan “Happy Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (ijma’).
Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata,”Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ’Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya.
Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan itu lebih amat dimurkai dibanding memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut.
Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”
Mengenai kenapa Ibn al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridhai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridhai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya, karena Allah Ta’ala tidak meridhai hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.”[Az-Zumar:7]
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.”[Al- Ma‘idah :3]
Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.
Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridhai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka, akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [ Ali ‘Imran/3 :85]
Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM, karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.
Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [Hadits Riwayat Abu Daud).
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidhâ‘ ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm.”Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan menghinakan kaum lemah (iman).”
Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena basa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab- sebab lainnya, karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.
Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan diennya, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada Muslimin terhadap musuh-musuh mereka, sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Sumber: Majmû’ Fatâwa Fadhîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn, Jilid.III,h.44-46,no.403]. (kasus-kasus di Indonesia, lihat di buku Hartono Ahmad Jaiz, Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007).
6. Mubahalah dijadikan dalih untuk doa bersama antar agama
Allah memerintahkan untuk mubahalah (saling berdoa agar Allah menjatuhkan laknat atas yang berdusta) antara Nabi saw dengan orang-orang Nasrani:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (59) الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (60) فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ [آل عمران/59-61]
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta[197].
[197]. Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda pendapat mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la’nat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad s.a.w.
Mubahalah adalah seperti tersebut di atas. Tetapi ada yang menjadikannya sebagai dalih untuk doa bersama antar agama.
Yang ada adalah perintah mubahalah (saling berdoa agar Allah menjatuhkan laknat atas yang berdusta di antara kedua belah pihak) ketika Nabi Muhammad saw menghadapi kaum Nasrani. Tetapi malah kini perintah mubahalah itu justru dijadikan landasan untuk doa bersama antar berbagai agama. Dan yang menjadikannya sebagai dalil itu dari tokoh NU –Nahdlatul Ulama, di antaranya mertua Ulil Abshar Abdalla yakni A. Mustofa Bisri.
Situs JIL (Jaringan Islam Liberal) islamlib.com wawancara dengan A Mustofa Bisri, di antaranya sebagai berikut:
NOVRIANTONI: Gus Mus, apa kesan Anda terhadap sebelas fatwa MUI hasil Munas VII akhir bulan lalu?
KH. MUSTOFA BISRI (GUS MUS): Pertama, kalau tidak ada protes dari orang-orang kota, saya kira, fatwa MUI itu–seperti yang lalu-lalu—tidak akan kedengaran di bawah. Karena ada yang protes, sampai Gus Dur segala yang turun, fatwa itu lalu bergaung. Sebetulnyakan ini soal biasa saja. Banyak dan sering sekali MUI membikin fatwa-fatwa yang kontroversial. Tapi karena sekarang ada tanggapan, jadi terus bergaung.
NOVRIANTONI: Tapi nampaknya fatwa kali ini perlu ditanggapi. Sebab doa bersama yang wajar saja, tiba-tiba diharamkan MUI.
GUS MUS: Memang kebetulan saya mencermati fatwa ini dari pers, jadi tidak tahu mereka menggunakan dalil apa. Yang saya baca hanya keputusan-keputusan saja. Jadi kalau saya menanggapi, ya hanya berdasarkan itu; berdasarkan keputusan-keputusan yang dimuat di ketentuan-ketentuan hukum yang mereka keluarkan tanpa dalil itu. Misalnya soal doa bersama yang tidak dibolehkan. Apa yang dimaksud doa? Ada yang menyebut doa itu ibadah. Itu masih bisa dipertanyakan, karena semua hal yang kita sangkut-pautkan dengan Allah itu bisa bernilai ibadah. Jadi tidak hanya doa. Pertanyaan berikutnya untuk MUI: mubâhalah itu termasuk doa atau tidak?
Mubâhalah adalah memohon. Menurut Tafsir Jalâlain, mubâhalah itu bukan hanya termasuk doa, tapi tadlarru’ fid du`â atau memohon sungguh-sungguh dalam berdoa. Nah, kalau bicara soalmubâhalah seperti bisa Anda baca di Alquran surah Âli `Imrân: 61, Nabi Muhammad Saw justru disuruh Allah untuk mengajak tokoh-tokoh Nasrani Najran untuk bermubahalah atau memohon kepada Allah secara bersama-sama. Kanjeng Nabi mengajak orang-orangnya, pemuka Nasrani mengajak orang-orangnya, dan mereka berdoa bersama.
NOVRIANTONI: Tapi bagi MUI itu bid’ah. Padahal seperti yang Gus Mus juga tahu, Syekh al-Azhar di Mesir juga biasa berdoa bersama dengan Pope Shenouda.
GUS MUS: Karena itu perlu dipertanyakan dulu; mubahalah itu doa atau tidak? Kalau itu dianggap doa, Nabi toh disuruh berdoa bersama orang-orang Nasrani, sekalipun tidak terlaksana karena tokoh-tokoh Nasrani waktu itu tidak mau. Jadi, waktu itu Nasrani Najran lah yang tidak mau berdoa bersama untuk meminta kebenaran yang sejati kepada Tuhan. Jadi menurut saya, doa itu bisa ibadah saja, bisa juga permohonan. Kalau diartikan permohonan, asal permohonannya baik kan tidak apa-apa, dan itu justru diperintahkan. Jadi kalau dalilnya seperti yang dikatakan Pak Amidhan, bahwa orang yang protes fatwa MUI hanya menggunakan akal, sedangkan MUI menggunakan Alquran dan Sunnah Rasul, bagaimana keterangannya tentang mubâhalah ini?
NOVRIANTONI: Tapi bagaimana dengan anggapan bahwa berdoa bersama itu akan mendangkalkan keyakinan atau mengarah pada sinkretisme agama?
GUS MUS: Justru pemikiran yang demikian itu yang dangkal. Masak kita hanya begitu saja akan menjadi dangkal?! Ini nggak bisa. Saya pikir, hampir semua atau rata-rata fatwa yang keluar ini menunjukkan bahwa ada semacam ketidakpercayaan diri pada orang-orang Islam itu.(sialamlib.com, 15/08/2005 | Wawancara )
Cara berfikir A MUSTOFA BISRI seperti cara berfikir Fir’aun.
Tukang sihir yang benar-benar menjalankan sihirnya untuk melawan Nabi Musa ‘alaihis salam, ketika para tukang sihir itu kalah dan kemudian sujud ke Allah Ta’ala, lalu dianggap oleh Fir’aun sebagai orang yang bersama-sama melakukan sihir dengan Musa, hingga Fir’aun melontarkan perkataan kepada para tukang sihir: Sesungguhnya dia (Musa) benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu.
Dalam Al-Qur’an dikisahkan:
فَجُمِعَ السَّحَرَةُ لِمِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ (38) وَقِيلَ لِلنَّاسِ هَلْ أَنْتُمْ مُجْتَمِعُونَ (39) [الشعراء/38، 39]
لَعَلَّنَا نَتَّبِعُ السَّحَرَةَ إِنْ كَانُوا هُمُ الْغَالِبِينَ (40) فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ (41) قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ إِذًا لَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ (42) قَالَ لَهُمْ مُوسَى أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ (43) فَأَلْقَوْا حِبَالَهُمْ وَعِصِيَّهُمْ وَقَالُوا بِعِزَّةِ فِرْعَوْنَ إِنَّا لَنَحْنُ الْغَالِبُونَ (44) فَأَلْقَى مُوسَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ (45) فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ (46) قَالُوا آَمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ (47) رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ (48) قَالَ آَمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آَذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَسَوْفَ تَعْلَمُونَ لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ (49) قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ (50) إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ (51) [الشعراء/40-51]
38. Lalu dikumpulkan ahli-ahli sihir pada waktu yang ditetapkan di hari yang ma’lum[1080],
[1080]. Yaitu di waktu pagi di hari yang dirayakan.
39. dan dikatakan kepada orang banyak: "Berkumpullah kamu sekalian.
40. semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang[1081]"
[1081]. Maksudnya: ialah bahwa mereka mengharapkan benar- benar ahli sihir itulah yang akan menang.
41. Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, merekapun bertanya kepada Fir’aun: "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?"
42. Fir’aun menjawab: "Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)."
43. Berkatalah Musa kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan."
44. Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata: "Demi kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang."
45. Kemudian Musa menjatuhkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu[1082].
[1082] Maksudnya: tali temali dan tongkat-tongkat yang dilemparkan ahli sihir itu yang terbayang seolah-olah menjadi ular, semuanya ditelan oleh tongkat Musa yang benar-benar menjadi ular.
46. Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah),
47. mereka berkata: "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam,
48. (yaitu) Tuhan Musa dan Harun."
49. Fir’aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan[1083] dan aku akan menyalibmu semuanya."
[1083] Maksudnya: memotong tangan kanan dan kaki kiri atau sebaliknya.
50. Mereka berkata: "Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami,
51. sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman."(QS As-Syu’araa’/ 26: 38-51).
Lontaran Fir’aun “Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu” itu tampaknya cara berfikir seperti itu diadopsi oleh A MUSTOFA BISRI dalam perkara mubahalah dan doa bersama antar agama. Cara berfikir A MUSTOFA BISRI yang model Fir’aun itu menjadikan mubahalah yang jelas-jelas “perang” doa, agar Allah menjatuhkan la’nat kepada yang berdusta, malahan dijadikan landasan oleh A MUSTOFA BISRI untuk bolehnya doa bersama antar agama, dengan alasan itu mubahalah diperintahkan antara Nabi dan nasrani Najran, hanya saja pihak Nasrani tidak hadir.
Kerancuan berfikir A MUSTOFA BISRI ini ada beberapa persoalan:
1. Mubahalah yang pada dasarnya untuk mencari kebenaran, hingga siapa yang berdusta agar dilaknat Allah, tetapi oleh A MUSTOFA BISRI dianggap sebagai suruhan berdoa bersama, makanya dijadikan landasan apa yang mereka sebut doa bersama antara agama. Itu berarti tidak dapat membedakan antara dua perbuatan yang amat berbeda yakni perlawanan dan kerjasama. Sebagaimana Fir’aun tidak mau membedakan antara para tukang sihir (utusan syetan-syetan) dan Nabi Musa ‘alaihis salam yang jadi utusan Allah Ta’ala. Hingga Fir’aun menuduh Musa as sebagai pemimpin para tukang sihir, padahal peristiwanya adalah para tukang sihir itu jelas-jelas melawan Nabi Musa ‘alaihis salam, bukan bersihir bersama.
2. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh Allah Ta’ala untuk mubahalah dengan pihak Nasrani dari Najran, lalu dianggap oleh A MUSTOFA BISRI sebagai landasan doa bersama antar agama, berarti menganggap bahwa Allah ridho’ terhadap kekufuran (keyakinan Nasrani adalah kekufuran) sebagaimana ridho’ kepada Islam. Ini sangat bertentangan dengan firman Alah:
وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
…dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya…[Az-Zumar:7]
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
…dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. [Al- Ma‘idah :3].
3. Ketika Allah tidak ridho kekafiran, maka otomatis tidak boleh ibadah (dalam hal ini doa) dicampur atau digabung dengan kekafiran sama sekali. Dan kalau digabung, berarti memberi peluang untuk masuknya aneka kekafiran sekaligus mempraktekkan untuk memakai dan memfungsikan kekafiran. Sedangkan Allah telah mensifati dengan suruhanNya:
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [غافر/14]
14. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya). (QS Al-Mu’min= Ghafir/ 40: 14).
Ketika kita mengaku berdo’a (ibadat) murni ikhlas untuk Allah Ta’ala, tetapi orang kafir menyukai do’a yang kita lakukan itu bahkan suka rela mereka bergabung, atau bersama-sama, maka perlu dipertanyakan: apakah kemurnian iman Islam kita yang sudah tergadaikan kepada orang kafir, atau memang orang kafir sudah berubah jadi murni ke Islam. Apabila masih teguh dalam kekafiran mereka, dan mereka rela berdoa bersama kita atas kekafiran mereka, berarti justru keimanan kita yang dipertanyakan. Karena tidak ada kekafiran yang suka kepada murninya keimanan. Dan sebaliknya tidak ada keridho’an Allah Ta’ala kepada kekafiran sebagaimana tersebut di atas.
Hingga Allah Ta’ala memberikan ancaman:
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75) [الإسراء/73-75]
73. Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
74. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
75. kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (QS Al-Israa’/ 17: 73, 74, 75).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya:
{ وَإِذاً لاَّتَّخَذُوكَ خَلِيلاً } أي : لو اتبعت أهواءهم لاتخذوك خليلاً لهم- فتح القدير – (ج 4 / ص 337)
"dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Artinya kalau kamu telah mengikuti hawa nafsu mereka tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
وقال ابن عباس: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم معصوما، ولكن هذا تعريف للامة لئلا يركن أحد منهم إلى المشركين في شئ من أحكام الله تعالى وشرائعه. تفسير القرطبي – (ج 10 / ص 300)
Ibnu Abbas berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ma’shum (terjaga dari dosa), tetapi ini adalah pemberitahuan kepada ummat agar tidak seorang pun di antara mereka (Muslimin) condong kepada orang-orang musyrikin mengenai sesuatu pun dari hukum-hukum Allah Ta’ala dan syari’at-Nya. (Tafsir Al-Qurthubi juz 10 halaman 300).
Dalam ayat itu dijelaskan, kalau kamu telah mengikuti hawa nafsu mereka tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dalam kenyataan, orang-orang yang mengaku Muslim tetapi mengadakan doa bersama dengan orang-orang kafir (bukan Islam) tampaknya memang jadi sahabat setia. Berarti yang terjadi adalah perbuatan yang telah mengikuti hawa nafsu mereka (orang-orang kafir).
Yang namanya mengikuti hawa nafsu diri sendiri saja sudah tercela, apalagi ini mengikuti hawa nafsu orang kafir, betapa tercelanya!
Dari sini dapat disimpulkan betapa ngawurnya A Mustofa Bisri ini.
7. Ibadah dan Minta kepada selain Allah.
Indonesia yang kini menyandang banyak musibah bencana atas dosa-dosa manusianya, tampaknya yang kasat mata, bukannya bertaubat di hari-hari baik yaitu Bulan Dzulhijjah (bulan haji) yang puluhan pertamanya merupakan hari-hari paling baik sepanjang tahun, malahan tambah-tambah kemusyrikannya. Sampai-sampai ada kelompok yang ramai-ramai menanam kepala kerbau di Gunung Merapi yang meletus.
Padahal berqurban untuk selain Allah, baik itu disebut tumbal, sesaji ataupun apapun namanya, adalah upacara kemusyrikan, dosa paling besar, dapat menghapus keislaman, dan menjadikan kekal di neraka bila sampai matinya tidak bertaubat. Dan itu menjadikan murka Allah Ta’ala sehingga tidak mustahil menimpakan bencana.
Apalagi kenyataannya, para pelaku kemusyrikan dengan upacara-upacara yang mereka gelar itu justru mengikuti kemusyrikan yang dipegangi oleh penguasa yakni di antaranya Kraton setempat, sebagaimana di tempat-tempat lain adalah pemerintah daerah setempat masing-masing. Sehingga duit yang berasal dari rakyat (mayoritas Muslimin) justru untuk menentang Allah sedahsyat-dahsyatnya yakni upacara kemusyrikan.
Ketika amanah telah dikhianati, sedang keyakinan telah dinodai bahkan diberangus dengan kemusyrikan, maka apa lagikah yang masih tersisa?
Ada di mana-mana pemda yang menggalakkan kemusyrikan sampai aneka macam sesaji larung laut, labuh sesaji ke gunung, menanam kepala kerbau ke gunung dan sebagainya ditumbuh suburkan di daerah-daerah. Bahkan sampai festival menikahkan kucing dengan upacara manten kucing pakai biaya 30 juta rupiah dari APBD pun diselenggarakan di Tulungagung Jawa Timur oleh Bupatinya. Pagelaran melecehkan Islam berupa upacara manten kucing dengan ijab qabul sebagaimana menikahkan orang Islam itu disuguhkan pihak Bupati Tuluangung pada 22 November 2010. Edan tenan!
Ada yang lebih gila lagi, atas nama membangun satu kuburan tokoh sesat pro Yahudi di Jombang, dikuraslah dana Rp180 miliyar dari APBD Kabupaten Jombang, APBD Provinsi Jawa Timur dan APBN Pusat. Diberitakan, anggaran untuk perbaikan kompleks makam KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng Kec. Diwek Kab. Jombang sebesar Rp 180 miliar.
Dari jumlah itu Pemkab Jombang urunan dana Rp 9 miliar dari APBD 2010. Sisanya sebanyak Rp 171 miliar urunan APBD Jatim dan APBN. (lihat Surabayapost.co.id, Perluasan Makam Gus Dur Dimulai, Kamis, 12 Agustus 2010 | 21:24 WIB)
Dalam kasus bencana meletusnya Gunung Merapi, agaknya tidak terlalu berlebihan apabila ada yang mengatakan bahwa kemusyrikan di zaman kini kadang lebih dibanding kemusyrikan di zaman dahulu. Karena di zaman dahulu, orang-orang musyrik ketika tertimpa musibah maka mereka meminta kepada Allah Ta’ala untuk melepaskan dari musibahnya. Baru setelah lepas dari bencana kemudian mereka berbuat kemusyrikan lagi.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah Ta’ala
بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ [الأنعام/41]
(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah). (QS Al-An’am/ 6: 41).
Artinya; di waktu darurat kamu sekalian tidak berdoa kepada satu pun selain-Nya, dan hilanglah dari kalian berhala-berhala kalian dan tandingan-tandingan kalian (terhadap Allah Ta’ala). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا [الإسراء/67]
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih. (QS al-Israa’/ 17: 67). (Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 256).
Coba kita bandingkan dengan kemusyrikan zaman kini, ketika tidak ada bencana, mereka menyembelih kerbau kemudian kepalanya disajikan kepada Merapi dan sebagainya. Begitu Merapi meletus, mereka menyembelih kerbau dan kepalanya disajikan pula ke Merapi dan sebagainya.
Jadi kemusyrikan zaman kini, saat gembira tidak ada musibah bencana, mereka berbuat kemusyrikan. Dan ketika tertimpa musibah pun tetap berbuat kemusyrikan pula. Na’udzubillahi min dzalik! Kami berlindung dari hal yang demikian!
(Dari buku Hartono Ahmad Jaiz, judul Lingkar Pembodohan dan Penyesatan Ummat Islam, Pustaka Nahi Munkar, Surabaya-Jakarta, Februarai 2011).