Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Penyebab yang ke tujuh telah kita bahas pada tulisan yang lalu, yakni Memberi cap buruk dan memusuhi dakwah sunnah. Mari kita lanjutkan penyebab selanjutnya berikut ini:
8. Mendahulukan kepentingan kelompok, bukan mendukung agama.
Kalau sudah seperti itu keadaannya, maka jangan salahkan siapa-siapa bila bencana pun menimpa bangsa ini. Karena ternyata yang mereka perjuangkan, mereka dukung, bukan agama dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi justru kepentingan hawa nafsu mereka secara bersama-sama.
Apabila ada kepentingan agama berhadapan dengan kepentingan kelompok ataupun diri mereka, maka lebih didahulukan kepentingan kelompok atau diri mereka. Bila ada bencana misalnya, maka kelompok-kelompok yang menyumbang, mendirikan posko-posko di tempat bencana akan lebih menonjolkan bendera kelompoknya. Sebenarnya menyumbang korban bencana itu adalah melaksanakan ajaran agama. Namun ketika tujuannya lebih kepada sarana menonjolkan kelompoknya, maka bukan untuk wajah Allah. (Ini tentu saja bukan memukul rata, namun sekadar sebagai tawashau bilhaq saja).
9. Menolak nasihat dengan melontarkan cap buruk.
Peringatan seperti tersebut di atas pun bisa-bisa mereka jadikan bukti bahwa ini tidak sesuai dengan kebebasan ini dan itu. Atau paling gampang, mereka menuduh, suara seperti ini adalah bukti bahwa datangnya dari kelompok yang mengaku agamanya sendiri sajalah yang benar, dan yang lain salah. Cap buruk yang mereka lontarkan kepada pemberi nasihat itu tidak mengagetkan, karena hanya lagu lama. Tuduhan semacam itu sebenarnya hanya menirukan orang-orang durhaka zaman dahulu. Misalnya kaum terlaknat yang melakukan pelanggaran yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya yakni kaum Nabi Luth as yang berhomoseks/ liwath, justru ketika diingatkan oleh Nabi Luth ‘alaihis salam, mereka malah mengejek Nabi Luth ‘alaihis salam sebagai orang yang semuci suci:
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا ءَالَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ(56)
Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda`wakan dirinya) bersih". (QS An-Naml/ 27: 56).
Dalam kenyataan sekarang, orang-orang sesat dari kaum liberal, aliran sesat, pelaku bid’ah dan semacamnya, bila mereka diperingatkan, justru mereka membalikkan perkataan dengan aneka ejekan yang memojokkan, menirukan kaum Nabi Luth ‘alaihis salam itu. Bahkan saking semangatnya untuk memojokkan orang yang mendakwahkan Sunnah, para pencibirnya itu sampai meminjam istilah dari Kristen ditimpakan kepada Muslim Sunni (ahlus sunnah –salafi) sebagai orang-orang skripturalis.
Padahal, skripturalis itu maknanya adalah orang-orang yang pemahamannya injili, di kalangan orang-orang Kristen. Kurang puas, maka ditimpakan lafal ganda, yaitu tekstualis skripturalis. Masih pula kadang ditambahi dengan lafal julukan “berpandangan sempit”, tidak mengadaptasi pada budaya local dan lingkungan setempat. Kurang lebihnya ya menirukan kaum Nabi Luth ‘alaihis salam dalam mengemukakan dalih-dalih untuk mengejek orang yang menunjuki kebenaran. Lalu mereka puji, apa yang mereka lakukan sebagai kontekstual, berwawasan luas, mengadaptasi budaya local dan lingkungan serta menghargai akal. Padahal dalam kenyataan justru menyeleweng dari nash/ teks, dan mendewakan akal, menjajakan dan mendukung bid’ah, serta mengikuti hawa nafsu.
10. Berserikat untuk melawan sunnah. Ini ditandai dengan adanya ormas Islam bahkan partai yang sengaja didirikan di antara tujuannya untuk melestarikan bid’ah dan menentang da’wah sunnah.
Mereka mengecam pemberantas bid’ah dengan cap-cap negatif, misalnya dengan sebutan Wahabi (dahulu Muhammadiyah juga dianggap sebagai Wahabi), kini maksudnya memberi cap sebagai garis keras tanpa kompromi. Sementara itu mereka memberikan cap positif terhadap bid’ah yang mereka usung dengan sebutan bid’ah hasanah. Padahal jelas-jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…فإنَّ كُلَّ بِدعَةٍ ضَلالةٌ ( رواه أبو داود والتِّرمذيُّ ، وقال : حديثٌ حَسَنٌ
صَحيح)ٌ .
…maka sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat. (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi, dia berkata: hadits hasan shahih).
Mereka beralasan adanya sebagian imam yang menyebut adanya bid’ah hasanah, kemudian mereka menyembunyikan apa yang imam-imam itu larang berkaitan dengan bid’ahnya kumpul-kumpul karena kematian (seperti upacara tahlilan memperingati orang mati, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, haul setahunan dan sebagainya).
Imam As-Syafi’I dan Imam As-Suyuthi yang mengingkari bid’ahnya kumpul-kumpul karena kematian itu mereka sembunyikan suaranya tentang itu, tetapi mereka sebut-sebut ungkapan bid’ah hasanah dari mereka, tanpa menjelaskan maksudnya sesuai dengan maksud imam- imam itu. Sehingga mereka bertameng perkataan para imam, padahal mereka tidak mengikuti ajaran imam-imam itu dalam menghindari bid’ah. Kemudian mereka berdalih apa yang mereka sebut sebagai hadits: bahwa perbedaan di kalangan umatku itu rahmat. Padahal perkataan itu telah dijelaskan oleh Imam Al-Munawi,
و نقل المناوي عن السبكي أنه قال : و ليس بمعروف عند المحدثين ، و لم أقف له
على سند صحيح و لا ضعيف و لا موضوع .
Al-Munawi menukil dari As-Subki bahwa ia berkata: (lafal ikhtilafu ummatii rahmah, perselisihan umatku itu adalah rahmat) itu tidak dikenal bagi muhadditsin (para ahli hadits), dan tidak aku kenal untuk lafal itu (ada) di atas sanad shahih, tidak pula dha’if dan tidak pula maudhu’. Demikian Al-Munawi, yang dikutip Al-Albani dalam سلسلة الأحاديث الضعيفة ( 1 / 141 ), Silsilah al-ahadits ad-dho’ifah 1/141). Keadaan itu diperparah dengan sikap oknum-oknum yang akomodatif dengan aliran sesat bahkan induk kesesatan misalnya syi’ah. (lihat nahimunkar.com, Syi’ah Memusuhi Islam, February 16, 2011 2:52 am http://www.nahimunkar.com/syi%E2%80%99ah-memusuhi-islam/#more-4232)
Larung Sesaji SBY-Boediono
Mengawali kampanye, Tim Pemenangan SBY-Boediono menggelar larung sesaji di Sungai Brantas, Kelurahan Semampir, Jawa Timur. Salah satu sesaji yang dilarung adalah 2 ekor itik berstiker SBY for President. (http://foto.soup.io/post/)JUNE2 2009
11. Tidak dilarangnya aneka kesesatan, bid’ah, dan macam-macam praktek kemusyrikan melanda masyarakat, bahkan disiarkan secara massal lewat media massa bahkan televisi secara nasional. Malahan diajarkan di sekolah.
Jadi anak dididik agar berkeyakinan kemusyrikan. Conotohnya buku pelajaran Bahasa Indonesia ini: Dongeng Datangnya Dewi Sri. Ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.” (buku Bahasa Indonesia untuk SD/ MI (Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35).
Itu jelas pendidikan kemusyrikan! Dongeng khayal, namun merusak aqidah anak-anak kelas 4 SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Masih pula ditekankan dalam buku itu: Siapakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut? Ayo tentukanlah pokok-pokok pikiran dalam dongeng tersebut di buku tugasmu!. Ayo, ceritakan dongeng tersebut di depan kelas! (ibid).
Pokok-pokok pikiran itu tak lain adalah penyesatan tertinggi yaitu menyebarkan kemusyrikan!
Untuk lebih lihai dalam praktek ritual kemusyrikan, sudah dituntun pula dengan buku Bahasa Indonesia itu, yaitu digemarkan menari. Jadi kalau diadakan upacara kemusyrikan sudah mampu menjadi penari. Maka ditulislah kalimat: “Lina gemar menari. Dia ingin belajar tari dari Bali. Oleh sebab itu, Lina ingin belajar menari di Sanggar Anggrek.” (ibid, halaman 26).
Itulah “pendidikan” alias penyesatan yang diprogramkan secara sistematis di negeri ini, agar generasi mendatang jadi orang-orang musyrik secara nyata, dengan dibekali ubo rampenya (aneka perangkatnya). (lihat nahimunkar.com, FENOMENA PENGHANCURAN BANGSA (1) Merknya Pendidikan, Isinya Penjahiliyahan,Oleh Hartono Ahmad Jaiz, July 4, 2008 Artikel). (lihat nahimunkar.com, January 13, 2009 4:07 am Mengagungkan Budaya Adat Melestarikan Syirik dan Maksiat, http://www.nahimunkar.com/mengagungkan-budaya-adat-melestarikan-syirik-dan-maksiat/#more-219)
12. Sebagian tokoh nasional menghargai dukun-dukun, para normal, dedengkot-dedengkot pengatur sesaji alias persembahan untuk syetan. Bahkan tidak segan-segan sebagian tokoh nasional hadir ke tempat dukun-dukun yang dalam istilah Islam adalah wali syetan itu.
Media massa pun memotretnya, bahkan menshootingnya, lalu menyiarkannya secara nasional. Akibatnya, suara dukun-dukun itu terangkat ke tingkat nasional, bahkan nama buruknya sebagai wali syetan itu menjadi terbalik, seolah sebagai tokoh nasional kharismatik, maka terangkatlah seakan para dukun itu adalah tokoh yang terhormat.
13. Dalam kasus-kasus yang mendapat sorotan untuk menjadi berita secara nasional, tidak sedikit pejabat atau tokoh masyarakat mengundang dukun untuk memecahkan masalah.
Misal gunung meletus, banjir, lumpur yang menyembur dari tanah tak habis-habis seperti kasus di Sidoarjo Jawa Timur, ataupun pesawat terbang yang jatuh dan sebagainya. Sehingga dukun-dukun itu pun terangkat ke permukaan, terhormat. Maka masyarakat pun yang memang sudah doyan ke dukun, makin mantap lagi kedoyanannya, dan tersisih lah suara para da’i yang memperingatkan bahaya kemusyrikan yang dibawa oleh para dukun, paranormal, para wali syetan itu.
14. Pemilihan kepala daerah menambah semaraknya perdukunan. Sejak adanya pilkada (pemilihan kepala daerah) dari tingkat gubernuran/ provinsi, kabupaten, sampai kelurahan, sebagai buah dari reformasi 1998, maka menambah semaraknya orang-orang ke dukun.
Sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat, dalam pemilihan kepala daerah, dari tingkat kelurahan saja tidak sedikit orang yang minta bantuan wali syetan yaitu dukun. Dengan demikian bisa dibayangkan, ketika calon kepala daerah yang tadinya berdukun itu ketika mereka menang dalam pemilihan hingga jadi pejabat daerah, maka tentu saja yang akan dihargai pertama kali adalah dukun. Maka kebijakan-kebijakan pun kemungkinan sekali bisa dikendalikan oleh dukun. Hingga bisa dibayangkan, apa yang bertentangan dengan dukun maka akan dihadapi.
Sedangkan yang paling bertentangan dengan dukun adalah Islam yang tegak dengan tauhid. Oleh karena yang tegak tauhidnya ini hanya dibawa oleh da’i yang anti bid’ah, anti kesesatan, anti sepilis, sekulerisme, pluralisme agama, liberalisme; maka walaupun MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah memfatwakan aneka kesesatan, perdukunan, dan juga sepilis, tahun 2005 hasil Musyawarah Nasional MUI VII, namun tidak ada tindak lanjut berupa pelarangan dari penguasa, baik secara lokal maupun apalagi nasional.
15. Munculnya da’i-da’i asal popular. Da’i-da’i atau penceramah agama yang tidak pernah menyentuh masalah bahaya kemusyrikan, justru da’wahnya hanya mengikuti selera masyarakat di antaranya guyon-guyon, tertawa-tawa atau cerita-cerita yang belum tentu shohih atau bermanfaat.
16. Mencibir da’I sunnah. Masyarakat yang terkondisikan oleh cibiran-cibiran orang terhadap da’i sunnah, hingga mereka ikut mencibir bahwa para da’i sunnah kerjaannya “sedikit-sedikit bilang syirik, bid’ah dholalah, sesat.
Memang Islam ini isinya hanya itu?” Ungkapan yang sebenarnya mengikuti model kaumnya Nabi Luth ‘alaihis salam itu pun mengakibatkan umat terprovokasi, sehingga masyarakat itu ibarat orang sakit, justru lari menjauh ketika mau diobati. Karena yang mau mengobati sudah dicibir lebih dulu.
17. Menjauhi da’wah yang haq. Kecenderungan ormas-ormas Islam apalagi partai-partai untuk menjauhi da’wah yang haq.
Mereka membiarkan kebathilan, tidak mau mengusiknya. Karena kalau sampai mengusik kemusyrikan, kesesatan, bid’ah, kemaksiatan dan sebagainya yang sudah menjadi kareman (kedoyanan) masyarakat, maka dikhawatirkan bahwa massa tidak akan masuk atau memilih partai yang menyuarakan sunnah itu. Daripada kehilangan massa, maka ormas Islam apalagi parta-partai itu lebih memilih membiarkan kemusyrikan, aliran sesat, bid’ah, kemaksiatan berlangsung di masyarakat. Bahkan kalau ada yang menuduh bahwa partai tertentu memberantas bid’ah, maka dengan serta merta partai itu mencuci diri, dengan membuktikan untuk menyelenggarakan apa yang sebenarnya bid’ah, masih pula mengundang tokoh-tokoh pelaku dan penganjur bid’ah.
18. Sinergi kepentingan dalam kesesatan. Pentolan-pentolan dan tokoh-tokoh pengusung bid’ah, khurofat, takhayul, kesesatan, bahkan kemusyrikan bertemu kepentingan dengan para pentolan dan tokoh partai-partai.
Dengan kepentingan masing-masing dan missi masing-masing, mereka ada jalur yang bertemu kepentingannya, hingga bekerjasama menggalang massa untuk sama-sama mengusung aneka kesesatan dan bid’ah itu. Terjadilah apa yang terjadi, entah atas nama kerukunan, persatuan, atau bahkan mereka sebut syi’ar Islam. Padahal yang satu karena untuk mempertahankan dan mengusung bid’ah dan kesesatannya, dan yang satunya lagi karena untuk meraup massa. Tetapi yang jadi kedoknya adalah demi syi’ar Islam, persatuan dan semacamnya yang nampaknya baik sekali, sehingga umat terlena dengan slogan-slogan itu.
19. Membuat celah-celah untuk meraup duit. Pengusaha bekerjasama dengan penguasa setempat untuk meraup duit dengan mengadakan ataupun melestarikan acara-acara kemusyrikan, bid’ah, sesat, atau jelas-jelas kemaksiatan sekalipun, misalnya lokalisasi pelacuran.
Juga menghidup-hidupkan apa yang mereka sebut kuburan keramat dan sebagainya, yang jelas-jelas rawan dengan kemusyrikan, di antaranya meminta kepada isi kubur untuk mengabulkan hajat peziarah, atau agar menyampaikan do’a mereka lewat isi kubur yang dianggap keramat atau wali itu kepada Allah, yang hal itu adalah sarana kemusyrikan yang sangat dilarang dalam Islam.
20. Gerakan ziarah kubur keramat. Adanya sebagian ustadz atau ustadzah yang menggerakkan umat untuk jalan-jalan ke kubur-kubur keramat, sampai mereka keliling antar kota atau bahkan antar pulau, misalnya dari Jakarta sampai Lombok. Hal itu rawan kesalahan. Pertama, ziarah ke kubur-kubur yang mereka anggap keramat itu menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – : – لَا تُشَدُّ اَلرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ, وَمَسْجِدِي هَذَا, وَالْمَسْجِدِ اَلْأَقْصَى – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
Tidak diseyogyakan bepergian (untuk mencari berkah) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, masjidku ini (Nabawi di Madinah), dan Masjid al-Aqsho. (HR Muttafaq ‘alaih/ Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, rawan kemusyrikan, karena sulit dikontrol, kalau para peziarah itu meminta kepada isi kubur dengan dianggap sebagai orang yang lebih dekat kepada Allah, maka mereka meminta agar isi kubur itu menyampaikan do’a mereka kepada Allah. Itu menjadikan mayat-mayat itu sebagai sarana kemusyrikan.
Lebih-lebih lagi kalau sampai meminta kepada isi kubur itu untuk mengabulkan perimintaan mereka, misalnya menghilangkan kesempitan rezki, kesulitan hidup, cepat mendapatkan jodoh dan sebagainya. Itu adalah kemusyrikan, berdo’a kepada selain Allah.
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ(5)
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do`a) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do`a mereka? (QS Al-Ahqaf/ 46: 5).
Keterangan itu dapat dibaca di buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara, 2011, dan buku Pendangkalan Akidah Berkedok Ziarah, 2010). (lihat nahimunkar.com, Gejala Buruk Pengkeramatan Kuburan, March 10, 2011 10:12 pm , http://www.nahimunkar.com/gejala-buruk-pengkeramatan-kuburan/#more-4354)
21. Adat yang rawan bid’ah dan kemusyrikan. Ada saat-saat tertentu yang menjadi adat dan musim untuk diadakan perayaan atau peringatan ini dan itu yang tidak ada dasarnya dalam Islam. Juga ada musim-musim yang mereka jadikan hari-hari untuk beramai-ramai berdatangan ke kubur-kubur lebih-lebih kuburan yang mereka anggap sebagai kuburan wali atau kuburan keramat. Bulan Sya’ban yang dalam Islam disunnahkan banyak berpuasa, justru yang terjadi di masyarakat adalah banyaknya orang ke kubur-kubur, lebih-lebih setelah nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) sampai datangnya Ramadhan.
Menjelang datangnya Bulan Ramadhan itu kubur-kubur apalagi yang dianggap kuburan wali atau keramat, berjubel manusia sampai 24 jam. Mereka “beri’tikaf” di kubur-kubur. Hampir bisa dibilang, masjid-masjid agak sepi, tetapi kubur-kubur sangat ramai. Saking ramainya, sebagai gambaran bukti, adik saya sempat bertanya kepada seorang tukang ojek di Kuburan Muria (Sunan Muria) di Gunung Muria Jawa Tengah bagian utara, Sya’ban 2007M/ 1428H.
“Berapa penghasilan Anda ketika ngojek sampai 24 jam saking ramainya pengunjung ke kuburan semacam ini?” Tanya adik saya kepada tukang ojek yang mangkal di pangkalan menjelang Kuburan di Gunung Muria. Untuk ke kuburan itu pengunjung harus naik lagi dari pangkalan ojek tempat berhentinya mobil ke kuburan sejauh 2 km, ongkos ojek untuk naik ke kuburan itu Rp6.000,- dan turun dari kuburan ke pangkalan Rp6.000,- pula.
Tukang ojek itu mengaku: “Saya sehari semalam sampai mendapat Rp3 juta, Mas!” katanya mantap.
“Benar, sampai mendapat Rp3 juta sehari semalam?” Tanya adik saya dengan ta’ajub.
“Saestu, Mas!” (Benar, Mas!), jawab tukang ojek itu serius.
Demikianlah sebuah gambaran betapa berjubelnya manusia yang hilir mudik berdatangan ke kuburan menjelang Ramadhan, siang malam, sampai tukang ojeknya bekerja siang malam dan menghasilkan duit Rp3 juta, sehari semalam itu, sebanding dengan harga 25-an gram emas murni.
Apa yang mereka perbuat di pekuburan itu? Saya sendiri pernah menyaksikan rombongan yang datang ke Kuburan Ampel di Surabaya. Kepala rombongan yang tampaknya ustadz mereka, memberi aba-aba sambil berdiri menghadap jama’ahnya yang duduk bershaf-shaf di sela-sela kuburan, bagai anak sekolah sedang apel upacara bendera namun dalam keadaan duduk. Sang Guru itu memberi aba-aba kepada jama’ahnya dengan tangan mengacung-acung persis dirigent yang memberi aba-aba untuk nyanyi di kalangan para penyanyi. Maka jama’ah itupun serempak mengikuti aba-aba gurunya dengan menyanyikan Ya Robbibil, syair bermasalah menyangkut aqidah, yang sudah biasa mereka jadikan “lagu wajib” ketika memulai pengajian. Hanya saja kali ini mereka nyanyikan di kuburan.
Padahal nyanyian syair itu bermasalah menyangkut aqidah, yaitu berisi bait-bait Burdah karangan Al-Bushiri yang dipersoalkan oleh ulama, karena ghuluw, melampaui batas dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syekh Shalih Ibnu ‘Utsaimin telah menyoroti bait-bait Burdah Bushiri (penyair Mesir 608-695H aktif dalam tasawuf dan terkenal syairnya: Burdah di antara isinya):
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ وُقُوْعِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ
وَإِنْ لَمْ تَكُنْ يَوْمَ حَشْرِيْ آخِذًا بِيَدِيَّ فَضْلاً وَ إِلاَّ فَقُلْ يَا زُلَّةَ القَدَمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَ ضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَ الْقَلَمِ
Wahai makhluk paling mulia, tidak ada bagiku tempat berlindung selainmu
Ketika terjadi peristiwa yang berat
Jika di akheratku ia tidak menolongku
Maka kukatakan: wahai diri yang celaka
Sesungguhnya di antara kemurahanmu adalah dunia dan kenikmatannya
Dan di antara ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauh dan Qalam.
Sifat-sifat seperti ini tidak sah kecuali bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Dan saya heran kepada orang yang mengatakan perkataan ini, jika dia memikirkan maknanya, bagaimana merasa enak pada dirinya untuk berkata sebagai orang yang bicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sesungguhnya di antara kemurahanmu adalah dunia dan kenikmatannya. Lafal min (di antara) itu maknanya untuk bagian. Lafal dunia itu adalah dunia, dan lafal dhorrotiha itu adalah akherat. Apabila dunia dan akherat itu adalah sebagian dari kemurahan Rasul alaihis sholatu wassalam, dan bukan keseluruhan kemurahannya, maka apa yang tersisa bagi Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada sisa bagiNya sedikitpun mungkin, tidak (ada sisa) dalam hal dunia dan tidak pula dalam hal akherat.
Demikian pula ucapannya (Bushiri): Dan di antara ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauh dan Qalam. Lafal min (di antara/ sebagian dari) itu untuk bagian. Saya tidak tahu (pula) apa yang tersisa untuk Allah Ta’ala dari ilmu, apabila kita berbicara kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pembicaraan ini.
Sebentar wahai saudaraku Muslim, kalau engkau bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka posisikanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada posisinya yang telah ditempatkan oleh Allah bahwa dia adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Maka katakanlah, dia adalah Abdullah wa Rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya). Dan percayalah kepada apa yang diperintahkan Tuhannya kepadanya untuk menyampaikannya kepada manusia secara umum.
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS Al-An’aam: 50).
Dan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dalam firman-Nya:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا(21)
Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfa`atan". (QS Al-Jinn: 21).
قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا(22)
Katakanlah: "Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya". (QS Al-Jinn/ 72: 22).
Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kalau Allah menghendaki sesuatu padanya maka tidak ada seorangpun yang melindunginya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesimpulannya, bahwa hari-hari besar atau perayaan-perayaan maulid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terbatas pada asli keadaannya itu bid’ah bikinan baru, awal kejahatan agama, tetapi masih ditambah lagi dengan sesuatu kemunkaran yang membawa kepada kemusyrikan.
Demikian pula dari yang kami dengar bahwa terjadi dalam perayaan maulid itu ikhtilath (campur aduk) antara lelaki dan perempuan. Terjadi pula penabuhan (pemukulan bunyi-bunyian) dan alat musik dan lainnya dari kemunkaran yang tidak ada seorang mukminpun mempertengkarkan untuk mengingkarinya. Kami cukup dengan apa yang telah Allah syari’atkan dan Rasul-Nya kepada kami, maka di dalamnya ada perbaikan untuk hati, negeri-negeri, dan hamba-hamba. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin no 1126). (Fatawa Muhimmah, Abdul Aziz bin Baaz dan Muhammad bin Shalih al-Utsimin, Darul ‘Ashimah, Riyadh, 1 juz, cetakan 1, 1413H, Muhaqqiq Ibrahim Al-Faris, halaman 44-48). Lebih komplitnya, lihat di buku Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP, Solo, 2006.
Itulah penjelasan bahkan fatwa yang tegas dari dua ulama terkenal mengenai sesatnya isi syair tersebut.
Catatan Hartono Ahmad Jaiz: Anehnya, syair yang sangat membahayakan aqidah itu merata di mana-mana, bahkan di Jakarta dijadikan muqoddimah “wajib” dengan dinyanyikan bersama-sama setiap pengajian di majlis-majlis ta’lim, di masjid-masjid, musholla dan sebagainya di kalangan tradisional. Guru atau petugas nyanyi, begitu pengajian mau masuk ke materi yang dibicarakan, misalnya tafsir Al-Qur’an, maka sebelum ayat yang akan dijelaskan tafsirnya itu dibaca, lebih dulu diawali dengan nyanyian Ya robbi bil… yang syair-syairnya diantaranya diambil dari qosidah Burdah yang sangat menyeleweng dari aqidah Tauhid yang benar itu.
Guru atau petugas nyanyi menyanyikan ya robbi bil disertai penggalan-penggalan syairnya yang merusak aqidah itu, lalu jama’ah yang hadir dalam pengajian itu menyahut sengga’an (kata-kata yang diulang-ulang untuk menyahut nyanyian) dengan bersama-sama mengucapkan ya robbi bil…(Tentang sesatnya Ya robbi bil.. itu sendiri bisa dibaca di buku saya, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karena mengandung tawassul (membuat perantara kepada Allah) secara tidak syar’I).
Baru sengga’annya berupa Ya robbi bil itu saja sudah bermasalah, apalagi isi bait-bait syairnya, lebih bermasalah lagi secara aqidah. Makanya pernah terjadi, para ulama dari Timur Tengah hadir dalam pengajian umum di Jakarta, lalu sebagaimana biasa di pengajian itu dinyanyikan pula Ya robbi bil.. Para ulama Timteng yang tentu saja faham Bahasa Arab karena memang bahasa mereka, dan faham tentang isi dan hukumnya, mereka mengingatkan agar hal itu tidak dilakukan. Namun tetap saja dilakukan.
Kemudian di waktu lain, orang Jakarta yang memimpin nyanyian Ya robbi bil.. itu datang ke Timur Tengah, lalu khabarnya dihajar di ruangan khusus oleh Ulama Timur Tengah untuk menghentikan penyebaran aqidah yang tidak benar itu. Namun orang Jakarta ini bukannya kapok atau jera, tetapi tetap saja nyanyian yang merusak aqidah itu dijadikan muqoddimah pengajiannya, dan diwarisi oleh generasi penerusnya serta ditiru oleh setiap majlis taklim yang sepaham dengannya.
Kalau ada yang mengingatkan, cukup dikilahi bahwa antara kita beda kultur. Kultur apa? Pilih mempertahankan kultur atau membersihkan aqidah dari kotoran-kotoran? Antara Ulama yang mengingatkan dan yang diingatkan itu kini sama-sama sudah wafat, tetapi di antara saksinya masih ada. Semoga masalah ini menjadi ‘ibroh (pelajaran) bagi umat Islam. (bersambung, insya Allah).