Menurut keyakinan umat Kristen, Yesus adalah sosok anak Tuhan yang juga sekaligus menjadi Tuhan bagi umat manusia dan semesta alam, yang telah dilahirkan oleh seorang perempuan bernama Maria (Maryam atau Mary), namun pada akhirnya akan harus terkorbankan nyawa-Nya di atas salib demi menebus dosa-dosa umat manusia, sebagai bentuk kasih-Nya kepada mereka. Ketuhanan Yesus tersebut diresmikan beberapa abad setelah peristiwa penyaliban itu terjadi, yang mengesahkan pribadi-Nya sebagai salah satu dari tiga pribadi Tuhan dalam sebuah konsep yang disebut Tritunggal atau Trinitas. Dan setiap umat Kristen diharuskan untuk mampu menyatukan tiga pribadi Tuhan tersebut, yaitu Yesus, Ruh Kudus dan Allah Bapa, ke dalam satu wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang mana di situlah bentuk pengakuan mereka terhadap kebenaran konsep Tritunggal atau Trinitas tersebut.
Adapun menurut keyakinan kami umat Islam, Yesus adalah makhluq pilihan yang telah dilahirkan oleh Maryam putri Imran dengan cara khusus dan ajaib yang telah dikehendaki oleh Allah SWT, yang diutus kepada Bani Israel untuk meluruskan penyimpangan yang telah terjadi dalam ajaran Taurat, yang tidak pernah disalib meskipun hanya sebentar, ataupun hingga teraniaya dan terbunuh secara menyedihkan, melainkan justru diwafatkan dan diangkat dengan cara terhormat di sisi Allah SWT. Dan menurut kami umat Islam, Tuhan adalah Maha Suci dari melahirkan ataupun dilahirkan, terlebih jika harus dilahirkan oleh makhluq-Nya sendiri, ataupun hingga dibunuh oleh sebagian makhluq-Nya. Dan Tuhan juga adalah Dzat Pengampun yang bisa mengampuni hamba-hamba-Nya dengan cara yang lebih layak, tanpa harus merubah sepertiga dari diri-Nya untuk menjadi makhluq yang justru memiliki kelemahan dan kekurangan. Maha Suci Tuhan dari segala bentuk kelemahan dan kekurangan. Dan Maha Suci Tuhan dari segala bentuk penganiayaan fisik oleh makhluq-Nya sendiri, karena sesungguhnya Tuhan adalah Dzat Maha Luas yang jauh melampaui alam fisik yang nyatanya memiliki kelemahan dan keterbatasan.
Dan selain itu, menurut kami, meski manusia belum sampai menuduh Tuhan telah teraniaya secara fisik hingga terbunuh oleh makhluq-Nya sendiri, dan hanya baru menganggap-Nya telah mengambil seorang anak sekalipun, Tuhan sudah begitu sangat keras memberikan peringatan dan ancaman kepada manusia, di mana Dia menjelaskan bahwa menuduh-Nya telah memiliki seorang anak telah hampir mengakibatkan langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh. Tuhan yang telah menciptakan dan mengutus Yesus AS berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya berikut ini:
“Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) seorang anak’; Sesungguhnya kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar; Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh; karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah telah mempunyai seorang anak; Dan tidak pantas bagi Tuhan Yang Maha Pemurah untuk mengambil (mempunyai) seorang anak; Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba (belaka).” (Maryam: 88-93)
Dalam keyakinan kami umat Islam, Yesus AS adalah sosok yang harus juga kami hormati sebagaimana kami menghormati Rasulullah Muhammad SAW dan juga para rasul lainnya. Kami umat Islam tidak membeda-bedakan di antara mereka, hingga misalnya kami harus mengagungkan Rasulullah Muhammad SAW sampai menganggap beliau sebagai anak Tuhan yang bisa disembah dan bisa menjadi tempat memohon dan berdoa. Semua para nabi dan rasul Allah SWT, bagi kami, hanyalah para makhluq yang sama seperti umat mereka, hanya saja mereka diberi kelebihan berupa mukjizat sesuai dengan keadaan zaman masing-masing, serta telah memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan di akhirat kelak. Dan meskipun sebagian para rasul tersebut dianugerahi keutamaan di atas sebagian yang lainnya, namun itu tidak sampai menjadikan kami mengimani sebagian mereka sambil mengingkari sebagian yang lain. Kami umat Islam beriman kepada setiap orang dari para rasul tersebut. Dan kami meyakini bahwa mereka semua memiliki aqidah dan kepatuhan yang sama, tanpa perbedaan sedikitpun, yaitu sama-sama beriman kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya serta mematuhi-Nya dalam segala perkara, dan bukan mematuhi ‘tuhan-tuhan’ selain-Nya.
Dan persamaan dalam aqidah dan kepatuhan itulah yang menjadikan para rasul tersebut sebagai orang-orang yang sama-sama beragama Islam atau Muslim. Sehingga, pada dasarnya, meskipun para rasul sebelum Rasulullah Muhammad SAW tersebut telah membawa syari’atnya masing-masing dengan ketentuannya yang tersendiri, namun inti dari semua syari’at tersebut adalah sama, yaitu Islam, Islam dalam arti beriman kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya serta tunduk dan mematuhi segala perintah dan aturan-Nya. Dan hanya bentuk aturan Allah SWT yang bersifat teknis sajalah yang tampaknya menjadi letak perbedaan di antara syari’at-syari’at mereka tersebut; seperti misalnya perbedaan antara syari’at Yesus AS dengan syari’at Muhammad SAW dalam perkara shalat, di mana dalam syari’at Yesus AS kita tentu tidak mendapati perintah shalat dengan diharuskan membaca surat al-Faatihah di dalamnya, karena memang al-Qur’an sendiri pun juga belum diturunkan ketika itu. Dan di sinilah kita mendapati keterangan bahwa shalat yang dipraktikkan dalam syari’at Yesus AS ternyata berbeda dengan shalat yang dipraktikkan dalam syari’at Muhammad SAW, begitu juga mungkin dalam syari’at para nabi dan rasul lainnya, di mana akan terdapat sisi persamaan dan perbedaan dalam teknis shalat mereka masing-masing. Dan itulah salah satu letak perbedaan di antara para rasul, meskipun mereka semua sama-sama beragama Islam pada hakikatnya. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah Pelindung kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj: 78)
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’.” (Al-Baqarah: 132)
“(Yusuf berdoa:) Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir (penerjemahan) mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (Yusuf: 101)
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa (Yesus) serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami (juga) adalah orang-orang Muslim (yang tunduk patuh) kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 136)
Dari beberapa terjemahan ayat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa Yesus AS yang telah dianggap oleh umat Kristen sebagai anak Tuhan pada hakikatnya adalah seorang Muslim, sebagaimana Islamnya Nabi Ibrahim AS, Ismail AS, Ishaq AS, Ya’qub AS, Yusuf AS, Musa AS, dan yang lainnya, dengan Islam yang lebih bermakna aqidah dan kepatuhan terhadap aturan Allah SWT, dan bukan Islam yang bermakna syari’at untuk umat manusia akhir zaman. Dalam beberapa perkara yang bersifat teknis beserta sifat-sifatnya, seperti tata cara shalat, ketentuan zakat, perkara halal dan haram, dan yang lainnya, keislaman para rasul tersebut mungkin memiliki perbedaan, namun dalam perkara yang bersifat keyakinan dan ketaatan, keislaman mereka tidak memiliki perbedaan sedikitpun. Dan hanya Allah SWT sajalah yang lebih tahu tentang hakikatnya. Dan untuk lebih memperjelas hal tersebut, berikut adalah terjemahan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait lainnya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Aali ‘Imraan: 19)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Aali ‘Imraan: 85)
Dari dua terjemahan ayat al-Qur’an tersebut, kalaulah benar Yesus AS dan para rasul lainnya sebelum Rasulullah Muhammad SAW bukanlah orang-orang Muslim, tentu Allah SWT juga tidak akan menerima amal kebaikan apapun dari mereka, karena memang yang akan diterima dan diakui oleh Allah SWT hanyalah yang mengikuti agama Islam saja, sebagaimana telah disebutkan dalam dua ayat tersebut.
Oleh karena itu, pada hakikatnya, ketika ummat Yesus AS saat itu memang telah mematuhi beliau dengan kepatuhan yang benar, dengan mengimani tauhid atau mengesakan Allah SWT dan mentaati perintah serta menjauhi larangan yang telah disampaikan oleh beliau dari Allah SWT, maka sesungguhnya mereka pun akan bisa juga disebut sebagai orang-orang Muslim, meskipun secara syari’at pada zamannya, mereka disebut sebagai umat Nasrani. Mereka adalah umat Islam secara aqidah dan kepatuhan, namun Nasrani secara syari’at atau aturan teknis sesuai zamannya ketika itu. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Maka tatkala Isa (Yesus) mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel), berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para pengikut setia (al-Hawaariyyuun) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim (yang patuh dan berserah diri).” (Aali ‘Imraan: 52)
“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa (Yesus) yang setia (al-Hawaariyyuun): ‘Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada rasul-Ku’. Mereka berkata: ‘Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim (yang tunduk dan patuh)’.” (Al-Maaidah: 111)
Dari dua terjemahan ayat tersebut, kita akan dapat menyimpulkan bahwa jika para pengikut Yesus AS saja adalah orang-orang Muslim, maka tentu Yesus AS sendiri pun juga adalah seorang Muslim, bahkan pastinya keislaman Yesus AS akan justru lebih baik daripada keislaman orang-orang yang mengikutinya itu sendiri, karena tentu yang sebenarnya mereka ikuti dari Yesus AS adalah keislaman beliau tersebut, yaitu keislaman yang berarti kelurusan aqidah dan kepatuhan yang bulat terhadap kehendak syari’at Allah SWT.
Maka dari itu, jika saja umat Nasrani atau umat Kristen di zaman sekarang ini juga bersedia untuk mematuhi Yesus AS dengan kepatuhan yang benar, maka mereka pun akan pasti dan harus menjadi ummat Islam, baik Islam secara keyakinan maupun secara aturan teknisnya untuk zaman sekarang ini, karena Yesus AS sendiri pun juga telah mengisyaratkan tentang akan diutusnya seorang nabi yang harus dipatuhi setelah beliau yang bernama Ahmad atau Muhammad SAW. Hanya saja, sayangnya ayat-ayat Injil yang menerangkan tentang isyarat kenabian tersebut tampaknya telah dihilangkan atau dihapus. Dan memang kita tidak mendapati bukti yang cukup kuat dan jelas untuk menerangkan tentang penghapusan ayat-ayat tersebut dari Kitab Injil, melainkan hanya berdasarkan keterangan dari ayat al-Qur’an saja, sebagaimana yang artinya berikut ini:
“Dan (ingatlah) ketika Isa (Yesus) Putra Maryam berkata: ‘Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).’ Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata’.” (Ash-Shaff: 6)
Namun meskipun demikian, di dalam Kitab Injil sendiri pun juga ternyata kita dapati ayat-ayat tentang isyarat kenabian yang semacam itu, yang dalam hal ini, kita mendapati beberapa ayat yang menerangkan bahwa ternyata sosok Nabi Musa AS juga pernah mengabarkan tentang akan diutusnya seorang nabi setelah beliau yang juga harus dipatuhi oleh umatnya. Dan inilah yang setidaknya bisa menjadi semacam bukti dalam Injil itu sendiri, bukti bahwa ayat-ayat Injil tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW di akhir zaman bisa jadi memang telah sengaja dihapus dan dibuang. Bisa jadi Yesus AS memang telah mengisyaratkan tentang kenabian akhir zaman tersebut dalam Kitab Injil, namun saat ini isyarat tersebut sudah tidak kita dapati lagi, karena memang ayat-ayat Injil sendiri juga telah bercampur aduk dengan rekayasa tangan manusia.
Dan bahkan, lebih dari itu, ternyata ketika kita memperhatikan secara lebih seksama ayat-ayat Injil tentang isyarat kenabian setelah Nabi Musa AS tersebut, tampaknya ayat-ayat tersebut juga sekaligus menjadi bukti atas kenabian Yesus AS, bukti bahwa Yesus AS bukanlah Tuhan, melainkan hanya seorang nabi atau rasul sebagaimana Nabi Musa AS. Dan berikut inilah ayat-ayat Injil yang telah dimaksud tersebut:
“(Kemudian Musa berkata:) Bangsa-bangsa yang akan kamu duduki itu mendengarkan peramal atau petenung. Namun, kamu tidak diizinkan oleh TUHAN, Allahmu untuk melakukan hal itu.” (Ulangan 18:14)
“TUHAN, Allahmu, akan membangkitkan seorang nabi kepadamu dari antara umatmu, dan ia akan menjadi sepertiku. Kamu harus mendengarkan dia.”(Ulangan 18:15)
“Hal ini seperti yang kamu minta kepada TUHAN, Allahmu, di gunung Horeb pada waktu kamu berkumpul, dengan berkata, ‘Jangan biarkan kami mendengar suara TUHAN, Allah kami lagi! Jangan biarkan kami melihat api besar itu atau kami akan mati!’” (Ulangan 18:16)
“TUHAN berkata kepadaku, ‘Mereka mengatakan hal yang baik’.” (Ulangan 18:17)
“Aku akan membangkitkan baginya seorang nabi sepertimu dari tengah-tengahmu sendiri. Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulut-Nya, dan ia akan berkata kepada mereka seperti yang Kuperintahkan kepadanya.” (Ulangan 18:18)
Sebelumnya, mungkin perlu untuk kita ketahui bahwa ayat-ayat Injil di atas sebenarnya adalah versi terpilih dari beberapa versi yang ada dalam bahasa Indonesia. Karena memang, tampaknya umat Kristen sendiri pun juga tidak terlalu mempermasalahkan antara mana Kitab Injil yang asli dan mana yang hanya terjemahan dari Kitab Injil itu sendiri; berbeda dengan umat Islam yang membedakan antara mana yang al-Qur’an dan mana yang hanya terjemahan dari al-Qur’an. Ketika umat Islam mempergunakan terjemahan al-Qur’an, mereka tidak terlalu mempermasalahkan gaya bahasa terjemahan yang ada, selama tidak menyimpang dari makna utamanya, karena memang terjemahan al-Qur’an bukanlah al-Qur’an itu sendiri, yang mana tidak boleh dirubah kata-kata dan kalimat dalam ayat-ayatnya. Namun di sini, kita tidak begitu tahu apakah ayat-ayat Injil di atas adalah memang bagian murni dari Injil itu sendiri ataukah sekedar terjemahan darinya, sehingga kita juga akan tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, melainkan akan menganggapnya sama saja seperti Injil yang asli.
Dan dari beberapa ayat Injil tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sosok nabi atau utusan yang disinggung dalam perkataan Nabi Musa AS tersebut adalah Yesus, meskipun namanya tidak disebutkan secara langsung. Dan itu dapat kita ketahui secara jelas dalam ayat kutipan yang terakhir, yaitu kitab Ulangan 18:18, di mana dari ayat tersebut kita memahami bahwa Tuhan akan membangkitkan atau mengutus seorang nabi seperti Nabi Musa AS dari tengah-tengah Bani Israel, yang kemudian akan Dia beri firman atau wahyu-Nya, sebagaimana wahyu-Nya kepada Nabi Musa AS, untuk disampaikan kepada Bani Israel itu sendiri. Ini berarti bahwa sosok nabi tersebut adalah nabi dari Bani Israel yang akan diberi sebuah kitab wahyu seperti Kitab Taurat, yang tentu ciri-ciri tersebut hanya akan cocok dan sesuai dengan Yesus, yang mana juga berasal dari Bani Israel dan juga memiliki kitab wahyu berupa Injil.
Dan bukti lain bahwa sosok nabi dalam ayat tersebut adalah Yesus adalah gaya tulisan untuk kata ganti dalam kata “mulut-Nya”, yang mana huruf pertamanya menggunakan huruf kapital ‘N’, seakan ingin menjelaskan bahwa sosok nabi tersebut adalah memang Tuhan Yesus yang harus dibedakan dalam penulisan kata gantinya, sebagaimana ketika kata ganti untuk Yesus memang selalu ditulis demikian dalam ayat-ayat lainnya. Namun anehnya, ternyata dalam dua kata ganti yang berikutnya tidak diberlakukan kaidah tulisan semacam itu, tanpa kita tahu persis apa alasannya, yaitu dalam kalimat “dan ia akan berkata kepada mereka seperti yang Kuperintahkan kepadanya”, yang mana huruf pertama dari kedua kata ganti untuk Yesus tersebut tidak menggunakan huruf kapital. Dan bahkan,dalam beberapa versi lainnya, kita justru tidak mendapati sama sekali kata ganti untuk sosok nabi tersebut dalam kata “mulutnya” yang melibatkan penggunaan huruf kapital.
Dan bahkan juga lebih dari itu, ada juga versi lain dari ayat tersebut yang justru berbeda sama sekali gaya bahasanya sehingga penggambaran maknanya pun juga menjadi berbeda, yang mana tidak menyebutkan “Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulut-Nya”, melainkan menggunakan ungkapan yang lain, yaitu “Aku akan mengatakan kepadanya apa yang harus dikatakannya”. Artinya, di sini telah terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dan kurang wajar yang sekaligus menjadi bukti atas wujud keragu-raguan di antara para penulis Injil itu sendiri. Mungkin, jika saja perubahan gaya bahasa dari kalimat tersebut tidaklah sebegitu jauh berbeda, misalnya ungkapan “menaruh firman-Ku” dirubah menjadi “meletakkan wahyu-Ku”, atau yang semacamnya, kita tentu tidak akan terlalu mempermasalahkan hal tersebut; begitu juga misalnya jika umat Kristen membedakan antara mana yang Injil asli dan mana yang hanya terjemahan Injil, agar siapapun dapat langsung merujuk kepada Injil yang asli tersebut sebagai referensi utamanya, sehingga siapapun akan bisa memastikan ketepatan setiap terjemahan ayat melalui referensi utama tersebut. Namun memang demikianlah kenyataan sulit yang kita dapati tentang fenomena Injil.
Dan selain itu, dari ayat tersebut pun juga kita mendapatkan sebuah permasalahan, yaitu jika memang sosok nabi yang akan diutus seperti Nabi Musa AS tersebut adalah seorang Tuhan, maka semestinya Nabi Musa AS sendiri pun juga harus dianggap sebagai Tuhan seperti dirinya, karena dalam ayat itu sendiri juga telah dijelaskan bahwa mereka berdua memang memiliki persamaan, yaitu sama-sama nabi, sama-sama berasal dari Bani Israel, dan sama-sama menerima wahyu dari Tuhan. Namun kalaupun memang sosok nabi yang disebutkan dalam ayat tersebut bukanlah Yesus, lalu siapakah sosok nabi tersebut, dan firman Tuhan yang seperti apakah yang telah ditaruh di mulutnya? Dan jika memang sosok nabi tersebut adalah Yesus, lalu mengapa ummat Kristen menuhankan Yesus yang hanyalah seorang nabi belaka? Dan jika Yesus yang hanya seorang nabi saja dianggap sebagai Tuhan, maka mengapa hanya Nabi Yesus saja yang dituhankan? Bukankah umat Kristen juga tahu bahwa di sana juga terdapat banyak para nabi, yang juga bisa dianggap Tuhan?
Dan di sinilah kita mendapati kerancuan dalam ajaran agama Kristen, yang mana di dalamnya terdapat penuhanan yang begitu dipaksakan atas seorang nabi, namun tidak dipaksakan atas nabi-nabi lainnya. Ayat-ayat Injil yang telah disebutkan itu pada dasarnya telah cukup untuk menjadi bukti atas kenabian Yesus AS, yang juga sekaligus menggugurkan ketuhanan beliau, namun kita juga tidak tahu persis mengapa ummat Kristen masih cenderung menolak bukti kebenaran tersebut. Maka semoga Allah SWT segera membukakan jalan hidayah kepada ummat Kristen yang bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran, karena hanya Dialah yang mampu memberikan petunjuk kebenaran tersebut.
Lebih jauh tentang hal kenabian dalam agama Kristen, di dalam Injil sendiri juga telah dijelaskan bahwa para nabi yang telah ditunjuk oleh Tuhan pada dasarnya juga memiliki aqidah yang sama dengan ummat Islam, di mana mereka juga meyakini bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah SWT, dan bahwa Dialah Dzat Pencipta yang bersifat Tunggal dan tiada duanya, yang karena aqidah itulah mereka menjadi tunduk dan patuh terhadap aturan Allah SWT hingga menggolongkan diri mereka sebagai orang-orang Muslim. Dan berikut inilah beberapa ayat Injil yang memperjelas kesamaan antara aqidah para nabi ummat Kristen tersebut dengan aqidah ummat Islam:
– Aqidah Nabi Musa
“Kepadamu telah dinyatakan agar kamu mengetahui bahwa TUHAN itulah Allah. Tidak ada allah selain Dia.” (Ulangan 4:35)
“Dengarlah, hai orang Israel. TUHAN adalah Allah kita. TUHAN adalah satu.” (Ulangan 6:4)
“Sekarang lihatlah bahwa Aku, dan hanya Akulah Allah! Tidak ada Allah yang lain! Aku yang mematikan dan yang menghidupkan orang. Aku dapat melukai orang, dan dapat menyembuhkannya. Tidak ada orang yang dapat menyelamatkan orang lain dari kuasa-Ku!” (Ulangan 32:39)
– Aqidah Nabi Daud
“Ya Tuhan ALLAH, Engkau sangat agung. Tidak ada yang seperti Engkau. Dan tidak ada allah selain Engkau menurut yang telah kami dengar dengan telinga kami.” (2 Samuel 7:22)
“Tidak ada yang seperti Engkau di antara para allah, ya Tuhan, dan tidak ada perbuatan seperti yang telah Kaulakukan.” (Mazmur 86:8)
– Aqidah Nabi Salomo (Sulaiman AS)
“dan berkata, ‘Ya TUHAN, Allah Israel, tidak ada allah yang serupa dengan Engkau baik di langit maupun di bumi. Engkau menepati janji-Mu, dan menunjukkan kasih setia kepada para hamba-Mu yang setia kepada-Mu dengan segenap hati’.” (1 Raja-raja 8:23)
– Aqidah Nabi Yesaya
“TUHAN berkata, ‘Kalian adalah saksi-Ku dan hamba yang Kupilih. Aku memilih kamu supaya kamu akan menolong orang-orang percaya Aku. Aku memilih kamu sehingga kamu akan mengerti bahwa “Akulah Ia” Akulah Allah yang sejati. Tidak ada Allah sebelum Aku, dan tidak akan ada Allah sesudah Aku’.” (Yesaya 43: 10)
“TUHAN adalah Raja Israel. Dia Yang Mahakuasa adalah Dia yang akan membebaskan Israel. Dan TUHAN berkata, “Akulah satu-satunya Allah. Tidak ada allah lain. Akulah Yang Awal dan Yang Terakhir.” (Yesaya 44:6)
“Akulah TUHAN, satu-satunya Allah. Tidak ada Allah kecuali Aku. Aku memasang pakaian padamu, tetapi engkau masih belum mengenal Aku. Aku melakukan ini sehingga setiap orang akan tahu, Akulah satu-satunya Allah. Dari timur ke barat orang-orang akan tahu bahwa Akulah TUHAN dan tidak ada Allah yang lain.” (Yesaya 45:5-6)
“Ingatlah yang terjadi dahulu. Ingatlah, Akulah Allah dan tidak ada Allah yang lain. Tidak ada yang lain seperti Aku.” (Yesaya 46:9)
– Aqidah Nabi Yesus (Isa AS)
“Yesus menjawab, ‘Hukum yang paling utama adalah: ‘Dengarkanlah, hai orang-orang Israel! Tuhan Allah kita adalah satu-satunya Tuhan’.” (Markus 12:29)
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari kehendak-Ku sendiri. Seperti yang Aku dengar, Aku menghakimi dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.” (Yohanes 5:30)
“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Kristus Yesus yang telah Engkau utus.” (Yohanes 17:3)
Maka dari beberapa bukti dan kenyataan yang telah disampaikan tentang tidak berdasarnya konsep Tritunggal tersebut, bahwa ia adalah konsep yang terlalu dipaksakan dan diada-adakan tanpa dalil yang tegas dari ayat-ayat Injil itu sendiri, selain juga ia justru merendahkan Dzat Pencipta yang seharusnya diagungkan, kiranya umat Kristen dapat mempertimbangkan tawaran kebenaran tauhid dari agama Islam. Tawaran tersebut niscaya akan mampu mengakhiri segala keresahan yang timbul akibat memikirkan sebuah konsep yang jika boleh disebut adalah konsep ‘Tuhan Maha Tiga’ atau ‘Tuhan Maha Sepertiga’ yang mana telah begitu jelas bertentangan dengan ayat-ayat monotheisme atau tauhid di dalam Injil itu sendiri, yang mana justru mengajarkan konsep ‘Tuhan Maha Esa’. Maha Suci Tuhan dari memiliki sekutu di dalam Dzat-Nya.
Dan jika sekiranya umat Kristen bersedia menerima ajaran tauhid dalam Islam, maka penerimaan itu pun juga tidak akan sampai menjauhkan mereka dari sosok Yesus, melainkan akan justru menjadikan mereka lebih dekat dan lebih menghormatinya dengan cara yang lebih disukai oleh Yesus itu sendiri, sebagaimana ummat Islam menghormati junjungan mereka, Rasulullah Muhammad SAW, bahkan termasuk Yesus itu sendiri serta para nabi dan para rasul lainnya. Dan ketika umat Kristen telah mengimani tauhid dengan benar, maka mereka pun akan pasti menghormati para nabi dan rasul tersebut dengan penghormatan yang benar dan lebih layak, sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Sesungguhnya, Allah adalah Dzat Pencipta yang selamanya akan bersifat Esa atau Tunggal. Tiada satu makhluq pun yang dapat diserupakan dengan-Nya ataupun hingga bergabung menjadi satu dengan-Nya. Maha Suci Allah dari keyakinan yang demikian itu. Jika Allah sendiri tidak pernah membutuhkan kelahiran seorang anak untuk membantu-Nya dalam mengurus dan mengatur jutaan bintang dan planet-planet, bahkan galaksi-galaksi yang tersebar di angkasa raya, maka semestinya Dia juga tak akan sampai perlu untuk melahirkan seorang anak hanya untuk sekedar mengurus urusan manusia di planet bumi ini yang nyatanya juga hanya berukuran jutaan bahkan milyaran kali lipat lebih kecil dibandingkan apa yang tersebar di alam raya tersebut. Maha Suci Allah dari memiliki seorang anak, dan Maha Suci Dzat-Nya yang tidak pernah membutuhkan sekutu dalam kekuasaan-Nya. Allah memang telah berkehendak untuk menciptakan segala bentuk sebab dan perantara, namun tiada satu sebab atau satu perantara pun yang akan pernah menjadi bagian dari diri-Nya. Dia bahkan adalah Dzat yang terlalu suci untuk dapat dijangkau oleh alam fikiran manusia secara seutuhnya. Maha Suci Allah SWT dengan segala kekuasaan-Nya yang tak terbatas.
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi itulebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Mu’min/Ghaafir: 57)
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam; yang kepunyaan-Nya sajalah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-Furqaan: 2)
Demikianlah. Dan sesungguhnya, tiada seorang pun dari umat Islam yang tahu persis apakah usahanya akan diterima oleh Allah SWT ataukah sebaliknya, karena memang umat Islam hanyalah ditugaskan untuk berusaha sesuai kemampuan. Pencatatan usaha adalah tugas para malaikat, dan bukan tugas manusia, sedangkan wewenang menerima hanyalah milik Allah SWT. Jadi, yang sebenarnya akan dapat menyelamatkan umat Islam bukanlah ketaatan mereka ataupun usaha mereka sendiri, dan bukan pula usaha orang lain, melainkan Allah SWT semata dengan rahmat-Nya, melalui cara dan rencana-Nya sendiri. Maka mungkin akan lebih tentram bagi ummat Islam jika mereka tetap hidup sebagai manusia biasa, yang akan memang bias salah dan akan juga bisa benar, tanpa perlu terbebani oleh tuntutan untuk selalu benar, selama yang diperbuat bukan dimaksudkan untuk menyebabkan kerusakan, karena memang yang selalu benar hanyalah Allah SWT. Dan kalaupun memang ternyata ada yang salah dari usaha atau perbuatan mereka, maka semoga Allah SWT segera memperbaiki dan mengampuni. Niscaya dengan demikian, mereka pun akan bisa hidup tentram karena tidak terlalu menggantungkan keselamatan mereka kepada diri mereka sendiri.
Dan sebaiknyalah ummat Islam tetap bersyukur dan berbahagia dengan cara masing-masing, tanpa perlu saling memaksakan karakter ataupun kehendak satu sama lain, selama masing-masing tidak sampai menyimpang dari aturan Islam, karena memang masing-masing dari mereka akan pasti memiliki kelemahan dan kekurangan serta kecenderungan yang berbeda. Dan insyaa’Allaah, dengan saling melengkapi dan memaklumi kelemahan serta kekurangan sesame tersebut, sambil menghindari banyak prasangka, serta menjauhi sikap membanding-bandingkan nasib, dan juga turut berbahagia dengan kebahagiaan sesama, niscaya kedamaian dan persaudaraan di antara mereka akan dapat tetap terjaga. Dan sesungguhnya hanya Allah SWT sajalah yang lebih berkuasa atas diri manusia, melebihi diri manusia itu sendiri. Hanya Dialah yang dapat melindungi kita semua dari segala bentuk keburukan. Dan hanya dari dan milik-Nya sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.