(Peneliti INSIST dan Direktur LemKIA UIA Jakarta)
Judul diatas adalah judul yang sama untuk buku yang, pada awalnya, saya tulis untuk meraih gelarMagister dari Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar Kairo pada Desember tahun 2007 silam.
Syukur Alhamdulillah, buku tersebut menjadi salah satu nominator terbaik dalam IBF Award tahun 2011 ini yang diberikan bersamaan dengan penyelenggaraan IBF ke-10 dengan tema besar, “Khazanah Islam untuk Peradaban Bangsa”.
Fokus utama buku itu adalah mengkritisi metode hermeneutika yang digadang-gadang
kelompok liberal sebagai metode paling pas dalam memahami Al-Qur’an saat ini. Mengapa dan ada apa dengan ‘Hermeneutika’? Setelah ditelusuri, ternyata filsafat pemahaman teks ala Barat inilah yang menjadi "alat buldoser" paling efektif yang berada di belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-Qur’an yang terjadi secara massif.
Di tangan para pengasong sekularisme dan liberalisme, metode hermeneutika untuk mengkaji Al-Qur’an ini ingin menggusur dan mengkooptasi ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.
Tema ini telah menarik perhatian penulis semenjak digelindingkannya suatu upaya
sistematis untuk meliberalkan kurikulum ‘Islamic Studies’ di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Semenjak langkah strategis itu diluncurkan di era kepemimpinan Munawir Syadzali di Departemen Agama dan Harun Nasution di IAIN Jakarta tahun 1980-an, sederet nama para penganjur dan pengaplikasi hermeneutika untuk studi Islam tiba-tiba menjadi super stars dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia.
Sebut saja misalnya: Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan), dan lain-lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen di
lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia baik negeri maupun swasta, hingga kini.
Bahkan beberapa tahun silam dengan munculnya Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang merombak dan melucuti
banyak hal aspek-aspek yang qath’i dalam sistem hukum Islam, meski telah ditolak dan digagalkan, telah mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir hukum ala hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh umat Islam di tanah air.
Itulah salah satu dampak terburuk dari tafsir model hermeneutika ini yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam Indonesia dalam soal pernikahan, perceraian, pembagian harta waris, dan lain-lain.
Hermeneutika itu apaan sih? Mungkin banyak umat yang belum faham maksudnya sehingga tidak ‘melek’ akan bahayanya jika diterapkan untuk Al-Qur’an. Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang SEJARAH, BAHASA dan BUDAYA yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam.
Metode hermeneutik ini secara ‘ijma’ oleh kelompok liberal di Indonesia bahkan di dunia ditahbiskan sebagai metode baku dalam memahami ajaran Islam baik dalam Qur’an maupun Sunnah.
Dalam buku yang ditulis tokoh Paramadina untuk mengenang 40 tahun pidato pembaruan Cak Nur disebutkan, “Islam ingin ditafsirkan dan dihadirkan secara liberal-progresif dengan metode ‘HERMENEUTIK’, yakni metode penafsiran dan interpretasi terhadap teks, konteks dan realitas.
Pilihan terhadap metode ini merupakan pilihan sadar yang secara instrinsik built-in di kalangan Islam Liberal sebagai metode untuk membantu usaha penafsiran dan interpretasi.“ (Budhi Munawar Rachman: Reorientasi Pembaruan Islam, hlm. 388)
Selain itu, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Qur’an ini berangkat dari
dekonstruksi konsep wahyu yang diistilahkan TANZIL oleh Al-Qur’an (Fusshilat: 42; As-Syu’ara: 192-195). Menurut Prof. M. Naquib Al-Attas, pendiri ISTAC Malaysia, konsep TANZIL itu memiliki 2 kekhasan yang tak dapat dicari tandingannya dalam konsep kitab suci manapun dalam agama lain.
Kedua ciri khas itu adalah, wahyu Islam diperuntukkan untuk umat manusia secara keseluruhan (tanpa membedakan waktu dan tempat) dan hukum-hukum suci yang terkandung dalam wahyu itu tidak memerlukan ‘pengembangan’ lebih lanjut dalam agama itu sendiri. (SMN. Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm 31-32).
Bertolak belakang dengan konsep TANZIL itu, kaum liberal malah memuji konsep wahyu dalam pengertian Kristen yg dikemukakan oleh L.S. Thornton sebagai “a made of divine activity by wich the Creator communicates himself to man and, by so doing, evokes man’sresponse and cooperation”. (sebuah aktifitas ketuhanan yang mana Pencipta mengkomunikasikan kehendaknya kepada manusia, yang menyulut dan akhirnya melibatkan respon dan kerjasama manusia dalam proses pewahyuan itu, lihat Montgomery Watt dalam Islamic Revelation in the Modern World, hlm. 6).
Konsep wahyu ala Kristen ini lah yang ingin mereka paksakan untuk memahami ulang
konsep Al-Qur’an (Ulil Absar dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia, hlm.57).
Dari konsep wahyu Al-Qur’an yang disamakan dengan Kristen ini, maka kaum liberal mengajukan modifikasi metode tafsir agar sesuai dengan zaman sekarang. “Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat-ayat uqubat, hudud, qishash, waris dsb.
Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan problem-problem kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yg harus dipecahkan melalui prosedur tanqih” (Metodologi Studi Al-Qur’an, hlm.166-167). Di bagian lain buku itu dengan lugasnya Ulil dkk menyatakan bahwa, “Ayat-ayat semacam itu disebut fiqih (?!) Al-Qur’an.
Sebagai sebuah fiqih, ayat-ayat itu sepenuhnya merupakan respon Al-Qur’an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tersebut bersifat relatif dan tentatif sehingga memerlukan
penyempurnaan, pembaharuan & penyulingan.
Membiarkan fiqih Al-Qur’an sama persis dengan bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan Al-Qur’an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital Al-Qur’an” (Metodologi Studi Al-Qur’an, hlm.167) Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang.
Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1 milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang. Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir modernis muslim baik di Timur-Tengah maupun di
belahan lain dunia Islam, termasuk Indonesia.
Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya "pembacaan kritis" dan "pemaknaan baru" teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan
pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada komunitas muslim.
Kita patut curiga dan bertanya: apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam dan revitalisasi sarana-sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan perkembangan zaman?
Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk mendakwahkan prinsip-prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok dengan kemajuan zaman. Jika ini yang terjadi, maka kita dengan senang hati menyambut seruan itu.
Namun jika yang terjadi adalah mengkaji ulang bahkan sampai pada taraf mengubah
prinsip dan pokok-pokok agama dengan dalih keluar dari kungkungan ideologis nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, membatalkan absolusitas nash Al-Qur’an dengan analisa historisitas teks atau relativisme teks, juga dibagian lain ingin melakukan studi kritik literatur dan sejarah seperti yang dipraktekkan kalangan liberal Yahudi dan Kristen atas Bible sejak 3 abad silam, atau bahkan dengan memunculkan pandangan bahwa nash Al-Qur’an dan Sunnah telah out of date dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-nilai globalisasi kontemporer.
Jika benar ini yang terjadi di lapangan pemikiran, maka logika semacam ini ditolak mentah-mentah, baik keseluruhan maupun rinciannya.Terdapat sekian banyak bahaya tersembunyi di balik seruan di atas. Yang penting di antaranya berujung kepada pelumeran dan peluruhan inti dan pokok dinul Islam serta melarikan diri dari kewajiban-kewajibannya.
Padahal salah satu tujuan Islam yang mulia adalah terbentuknya umat yang kokoh kuat dalam setiap segi kehidupannya, terutama dalam bidang pandangan hidup yang pasti, barometer akidah, syariah, dan akhlaq yang jelas dan tidak tergerus oleh perubahan zaman yang silih berganti.
Beberapa faktor diatas itulah yang telah mendorong penulis untuk mengkaji dasar dasarnya, menelusuri akar sejarah hermeneutika hingga diterapkan untuk mengganti metodologi tafsir dan takwil Al-Qur’an yang khas dalam tradisi keilmuan Islam. Selain tentu saja menilisik isu-isu paling mendasar dan krusial secara analitis-kritis di dalam buku ini.
Penulis juga memandang suatu agenda yang mendesak di kalangan cendekiawan muslim, agar mengkaji secara kritis asal-usul dan perkembangan metodologi pemahaman terhadap sumber-sumber agama Islam yang kini dipaksakan oleh Barat untuk suatu proyek hegemoni dan kolonialisme pemikiran di dunia Islam.
Imbasnya tentu saja akan merasuki pendidikan tinggi Islam, sebagai center of exellence, yang diproyeksikan untuk melahirkan sarjana-sarjana agama Islam, namun minus kebanggaan dan penguasaan terhadap perbendaharaan intelektual yang telah mengakar sepanjang kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban.
Memang di lingkungan Universitas al-Azhar Mesir, sebagai kiblat ilmu-ilmu keislaman di dunia, tradisi tahkik (studi editing-filologi naskah klasik) dan penelitian tentang studi kritik tafsir Al-Qur’an (ad-Dakhil fi al-Tafsir) -terutama naskah-naskah tafsir klasik yang tak jarang terdapat dampak Israiliyyat dan pendapat-pendapat aneh yang menyalahi kode etik ilmiah, kebahasaan, maupun riwayat hadis dla’if dan palsu-, telah tumbuh subur dan
mengesankan.
Namun penelitian tentang tantangan-tantangan keilmuan Barat kontemporer terhadap khazanah tafsir Al-Qur’an dan juga metodologi studi Al-Qur’an yang kini gencar diupayakan berorientasi sekuler-liberal, belum banyak yang melakukannya. Harapan penulis, buku ini dapat memenuhi hasrat keilmuan tersebut dan mampu menjadi karya pionir untuk menjawab tantangan paradigma sekuler-liberal dalam kajian-kajian Al-Qur’an.
Untuk tujuan penelitian secara sistematis dan tepat guna, maka penulis menyusun langkah pembahasan thesis ini dalam kerangka sebagai berikut:
I. MUKADDIMAH.
II. PASAL 1: STUDI KOMPARATIF KONSEP TAKWIL DAN
HERMENEUTIKA.Mencakup 3 pembahasan:
- Konsep Takwil dalam Istilah Peradaban Islam
- Konsep Hermeneutika dalam Istilah Peradaban Barat
- Sejarah Pertumbuhan Tafsir dan Perkembangannya dalam Islam; telaah masuknya metode Barat dalam kajian tafsir Al-Qur’an.
III. PASAL 2: HERMENEUTIKA SEBAGAI ALAT PENAFSIRAN TEKS.Mencakup 3
pembahasan:
- Historiografi hermeneutika; latar sejarah, perkembangan dan aliran-alirannya.
- Metode hermeneutika dan kritik Biblikal.
- Upaya penerapan hermeneutika dalam lapangan Qur’anic Studies. Menyoroti peran orientalis Barat, para penulis prolifik modernis di dunia Islam, dan keterpengaruhan tulisan kaum modernis oleh pola pandang orientalisme.
IV. PASAL 3: TELAAH KRITIS – ANALITIS TERHADAP ISU-ISU UTAMA
PENDEKATAN HERMENEUTIKA TERHADAP AL-QUR’AN AL-KARIM.Mencakup 3 pembahasan:
- Isu historisitas teks Al-Qur’an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut seperti: Husain Muruwwah (klaim historisitas Al-Qur’an dan dampaknya terhadap konsep i’jaz Al-Qur’an), Muhammad Arkoun (dampaknya terhadap sejarah kodifikasi Al-Qur’an) dan Nasr Hamid Abu Zayd (dampaknya terhadap pentakwilan beberapa konsep Al-Qur’an).
- Isu kritik literatur dan historis untuk teks Al-Qur’an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut seperti: Amin al-Khuly dan M.A.Khalfallah (dampaknya terhadap penafsiran kisah Al-Qur’an), Muhammad Arkoun (antropologi wahyu dan dampaknya terhadap kisah Al-Qur’an), Nasr Hamid Abu Zayd (dampak penerapan semiotika atas konsep Al-Qur’an).
- Isu kritik dialektis-materialis antara teks Al-Qur’an dengan realitas manusia; menelaah dan mengkritisi klaim superioritas realita manusia atas nash Al-Qur’an (dampaknya terhadap konsep Asbab Nuzul dan kaidah al-‘Ibrah bi ‘Umumi al-Lafzh), menepis asumsi Nasr Hamid tentang orisinalitas realita manusia di hadapan nash Al-Qur’an, dan dampak isu ini kepada upaya merubah hukum-hukum qath’iy di dalam Al-Qur’an dengan asumsi pergerakan realitas manusia yang terus berubah.
V. PENUTUP;yang berisi telaah singkat kesia-siaan dan kegagalan
metodologi humaniora kontemporer untuk tujuan pembacaan dan pemaknaan ulang
Al-Qur’an Al-Karim.
Penulis berhasil mengidentifikasi beberapa visi dan landasan berfikir yang mendasari fenomena pembacaan hermeneutis atas kitab suci Al-Qur’an. Prioritas tujuan dari riset ini adalah munculnya fakta pengaruh ideologi para penganjur hermeneutika untuk Al-Qur’an di balik gerakan sistematis ini. Sehingga, hemat penulis, persoalan ini tidak lah relevan bila dikaitkan dengan urusan metodologi yang digunakan mereka. Karena letak persoalan serius justru karena ideologi sekulerisme yang diinfiltrasikan ke dalam Islam dan alam pandangan hidup umat Islam, dengan satu tujuan besar yaitu pengosongan Islam dari ajaran-ajarannya yang luhur dan melumpuhkannya agar tidak berlaku efektif dalam kehidupan umat.
Kesadaran palsu para penganjur sekularisasi teks Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an telah mendorong mereka untuk menyederhanakan persoalan seakan hal ini berkaitan erat dengan problematika metodologi yang digunakan untuk menganalisis Al-Qur’an. Padahal target mereka tak lain adalah untuk mengimpor ‘sisa-sisa limbah’ metodologi yang telah menyesaki ilmu humaniora peradaban Barat, yang mana hal itu belum tentu cocok dengan prinsip-prinsip Islam dan rincian-rincian ajarannya. Limbah metodologi Barat itu diproyeksikan untuk menyerang dan melumpuhkan Islam yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
Tujuan riset yang telah kami tulis terkait dengan tema ini di dalam 3 pasal secara berurutan adalah sebagai berikut:
1) Riset ini telah menjelaskan betapa jauhnya berbagai pendekatan metode yang diimpor dari Barat itu dengan spirit nilai-nilai Al-Qur’an, karena berbenturan keras dengan hal-hal aksioma di dalam Islam.
2) Riset ini berhasil menunjukkan ketidakmampuan metode-metode humaniora Barat untuk sampai kepada hasil apa pun. Karena memang metode humaniora tersebut lahir sesuai dengan setting pemikiran Barat dan untuk melayani kepentingan analisis karya-karya sastra yang ditulis oleh manusia, bukannya untuk menafsiri risalah Allah swt.
Dan masih tersisa lagi satu persoalan dasar bahwa ilmu-ilmu humaniora tersebut tidak pernah berhasil untuk menjadi hakim dan kata putus dalam studi-studi Al-Qur’an. Alasannya sederhana, bahwa secara logis amat mustahil sesuatu yang relatif dapat mengatur dan menentukan nilai yang absolut. Fakta keilmuan inilah yang selalu diperhatikan oleh para pakar ilmu syariah dalam seluruh rentang sejarah peradaban Islam.
Ilmu-ilmu humaniora Barat tidak dapat menjadi wasit bagi nash Al-Qur’an. Logikanya adalah mustahil menengahi Al-Qur’an dengan teori-teori yang sangat spekulatif dan relatif. Ilmu-ilmu humaniora Barat dibangun untuk memenuhi tujuan tertentu jadi sudah tidak objektif lagi, seperti diungkap oleh Jabir al-Haditsi dalam artikelnya yang berjudul "Azmat al-‘Ulum al-Insaniyyah" (Krisis Ilmu Humaniora) di dalam jurnal al-Fikr al’Arabi edisi 37. Objektifitas ilmiah yang diklaim ada dalam kajian humaniora Barat adalah "hipokrasi" intelektual yang mesti diungkap sebagai skandal. Krisis internal dalam kajian humaniora ini sebenarnya berdimensi ideologis, sehingga tidak pernah melahirkan kesepakatan di
antara golongan intelektual Barat yang bergelut di dalamnya.
Selain itu aspek teknis dari krisis internal itu tercermin dalam tidak adanya teori tafsir yang utuh dan komprehensif dalam ilmu humaniora Barat, seperti diungkap oleh Michele Foucoult. Hal ini bisa dibuktikan bahwa teori interpretasi sejak Marx, Freud, Nitsche adalah tidak berkesudahan. Sebab bagi mereka bahaya paling besar adalah kepercayaan terhadap suatu tanda-tanda yang memiliki wujud asli dan bersifat final. Guna menetapkan teori interpretasi, berbagai pendekatan dilakukan, tetapi suatu hal yang pasti bahwa setiap takwil dipaksa untuk mentakwilkan (reinterpretasi) dirinya sendiri. Tidak ada lagi kerangka acuan bagi proses interpretasi. Michele Foucault mengakui hal itu dengan mengatakan hampir mustahil membuat ensiklopedi bagi seluruh tehnik interpretasi dalam ilmu humaniora Barat, bahkan sangat sedikit sekali yang ditulis untuk tujuan ini.
Dari ulasan di atas, terbukti bahwa fenomena pembacaan hermeneutik atas Al-Qur’an yang didasari oleh perkembangan ilmu humaniora Barat tak lain untuk meliberalkan tafsir Al-Qur’an dari kaidah-kaidah metodologis yang pasti. Dalam konteks inilah, maka mereka dimungkinkan untuk bisa melontarkan apa saja tanpa ada rasa malu untuk mempertanyakan legitimasi dan akar justifikasi pemikiran-pemikiran mereka. Jika demikian, tak ada gunanya bagi kita untuk menerima metode pembacaan teks yang sekuler untuk diterapkan bagi nash Al-Qur’an. Bahkan, sudah seharusnya kita membendung dan memerangi program liberalisasi dan sekularisasi studi Al-Qur’an karena jelas-jelas akan membahayakan visi misi Al-Qur’an seperti yang ditanzilkan oleh Allah swt.
Wallahu A’lam bis-Shawab.