Salah satu bagian dari syariat di dalam Islam yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya adalah pernikahan antar seorang lelaki dengan wanita.
Sebagaimana kita ketahui, ada banyak ketentuan syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim seperti shalat, puasa, zakat,haji, perekonomian, perang dan sebagainya. Disamping masalah syariat yang berkaitan erat dengan hukum, masih ada lagi hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang rinciannya juga cukup banyak, baik dalam kaitan dengan hubungan kepada Allah swt maupun dengan sesama makhluk-Nya.
Semua ini memang diatur di dalam agama kita, yaitu Islam. Namun dalam konteks ajaran Islam, ada satu hadits yang penting untuk kita kaji, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ أَحْرَرَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلآخَرِ
Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia melindungi (menguasai) separuh agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara separuhnya lagi (HR. Hakim)
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ اْلإِيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلبَاقِى
Barangsiapa kawin (beristeri), maka dia menyempurnakan separuh iman, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya (HR. Thabrani)
Hadits ini menjadi amat penting untuk kita kaji karena Rasulullah saw menyebutkan nikah itu sebagai setengah agama. Tentu kita tidak bisa menafsirkan hadits di atas dengan mengatakan “bila kita sudah melangsungkan aqad nikah, maka berarti separuh urusan Islam sudah kita amalkan, apalagi kalau nikahnya lebih dari satu kali, maka sempurnalah keislaman kita, sedangkan yang menikah empat kali menjadi lebih sempurna lagi”.
Hal ini karena kita yakin, yang menjadi persoalan bukanlah semata-mata aqad nikah atau ijab qabulnya yang pengucapannya bisa diselesaikan dalam waktu satu menit bahkan kurang dari itu, tapi konsekuensi apa yang akan terjadi dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Sudut Pandang
Paling tidak ada beberapa sudut pandang untuk menjawab pertanyaan mengapa pernikahan itu dinyatakan sebagai setengah dari agama. Pertama, ajaran Islam terdiri dari aqidah, syariah dan akhlak, karenanya pernikahan amat terkait dengan tiga hal ini. Pernikahan erat kaitannya dengan aqidah yang merupakan bukti keberadaan dan kebesaran Allah swt sebagai Tuhan yang benar, karena itu orang yang sudah menikah atau berumah tangga seharusnya memiliki iman yang semakin kokoh, karena ia sudah merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah swt melalui hubungan suami isteri, apalagi sampai melahirkan anak yang merupakan anugerah sekaligus amanah dari Allah swt.
Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]:21).
Bahkan oleh Allah swt, nikah itu merupakan suatu perjanjian yang amat kuat yang diistilahkan dengan miytsaqan ghaliyzha dan penyebutan ini adalah sama dengan penyebutan pernjanjian para Nabi kepada Allah swt dalam mengemban amanah perjuangan, karenanya pernikahan seharusnya membuat seorang muslim semakin kuat ikatannya kepada Allah swt.
Dalam konteks syariah, pernikahan merupakan pelaksanaan dari syariat dan perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya juga amat terkait dengan ketentuan-ketentuan Allah swt, mulai dari kepada siapa nikah dibolehkan dan tidak dibolehkan, keharusan menafkahi bagi suami dan bapak, keharusan mentaati suami bagi sang isteri dalam kebenaran dan berbagai ketentuan yang amat banyak dalam kehidupan rumah tangga sampai masalah yang berkaitan dengan harta keluarga hingga ketentuan dan segala konsekuensi yang berkaitan dengan perceraian.
Begitu juga dengan akhlak yang harus ditunjukkan dengan baik antar suami dengan isteri, orang tua dengan anak dan anak dengan orang tuanya. Keharusan kita untuk berakhlak yang baik harus dimulai dari rumah kita sendiri, karenanya bagaimana mungkin seseorang bisa berakhlak baik kepada orang lain bila kepada anggota keluarganya saja ia tidak berlaku baik.
Kedua, penguatan pribadi, hal ini karena keluarga adalah sebuah arena efektif yang dapat menumbuhkan keseimbangan rohani dan jasmani, individu dan sosial yang dari sini seharusnya bisa membuahkan kekuatan kepribadian. Yang harus dilakukan keluarga muslim adalah merealisasikan konsep pembentukan manusia berkualitas yang berkepribadian dalam posisinya sebagai makhluk sosial.
Ketiga, kedudukan nikah yang amat penting dan ia amat terkait dengan nilai-nilai Islam yang lain dalam kehidupan manusia. DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyyatul Aulad Fil Islam merinci menjadi tujuh hal, yaitu memelihara kelangsungan jenis manusia, keturunan. keselamatan masyarakat dari kerusakan moral, keselamatan masyarakat dari penyakit, ketentraman jiwa, saling bahu membahu dalam membina keluarga dan mendidik anak serta menghaluskan rasa kebapakan dan keibuan.
Keempat, pernikahan merupakan batu bata pembangunan masyarakat. Karenanya pembangunan suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak bisa dipisahkan dari pembangunan keluarga. Karena itu, Prof. DR. Nazaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag menyatakan: “Dalam Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga, hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara, bangsa apalagi masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang ideal, mana mungkin negara dibangun di atas bangunan keluarga yang berantakan.” ujarya.
Nazaruddin mencontohkan, di negara Eropa nasehat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara untuk di Indonesia hanya 7 menit saat berhadapan dengan penghulu. Karena itu, BP4 diminta dapat mengoptimalkan tugasnya. Ia menyatakan, banyaknya perceraian itu sebagai dampak globalisai arus informasi melalui media massa salah satunnya tayangan infotainment yang menampilkan figur artis dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya.
Kelima, pernikahan bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Karenanya Rasulullah saw diperintahkan untuk menikah lagi dengan beberapa wanita untuk membuka jalur dakwah dan menguatkan bangunan dakwah yang sudah ada. Oleh karena itu, pernikahan tidak hanya kita pahami sebagai bertemunya dua orang lelaki dan perempuan, tetapi juga mempertemukan dua keluarga besar, bahkan bisa jadi dua suku dan bangsa yang sangat potensial bagi penguatan dakwah. Dalam konteks inilah, dakwah keluarga harus dilakukan dengan menggunakan sarana yang ada dan momentum yang tidak boleh berlalu begitu saja.
Keenam, Islam adalah agama jihad, agama yang harus diperjuangkan dan ditegakkan. Pembentukan keluarga melalui pernikahan bisa menjadi sarana bagi upaya memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam, bahkan keluarga bisa memberi konstribusi yang besar dalam jihad, karena dorongan keluarga diakui sangat besar dalam perjuangan seorang mujahid.
Dengan demikian, keluarga memiliki kedudukan yang amat strategis, baik dalam konteks pembentukan sumber daya manusia, pembentukan masyarakat dan bangsa, maupun dalam membangun peradaban manusia dari berbagai sisi kehidupannya.
(Tulisan ini dan artikel lain bisa dibaca di: www.nuansaislam.com)