Makna Ikhlash
Ikhlash (الإخلاص) adalah persoalan paling penting dalam amal dan ibadah seorang hamba kepada Allah SWT. Ikhlash, seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawy hafizhahullah adalah
عمل من أعمال القلوب، بل هو في مقدمة الأعمال القلبية، لأن قبول الأعمال لا يتم إلا به
“Sebuah amal dari amal-amal hati, tetapi ikhlash merupakan amal hati yang pertama-tama, karena sesungguhnya diterimanya amal-amal itu tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlash.”
Beliau juga menyebutkan hubungan antara ikhlash dengan tauhid, yaitu
ثمرة من ثمرات "التوحيد" الكامل لله تبارك وتعالى، الذي هو إفراد الله عز وجل بالعبادة والاستعانة
“Buah dari buah-buah tauhid yang sempurna karena Allah Tabaraka wa Ta’ala yaitu dengan menyendirikan Allah Azza wa Jalla dengan ibadah dan memohon pertolongan.”
Ikhlash juga bermakna pemurnian, yaitu membebaskan diri dari segala penyembahan kepada selain Allah, seperti harta, wanita, kedudukan. Allah SWT berfirman
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam.” (Al An’am 162)
Banyak pula definisi ikhlash yang dikemukakan para ulama, namun pada hakikatnya semuanya sama. Beberapa definisi ikhlash adalah
- menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah
- membersihkan amalan dari komentar manusia
- kesamaan antara amalan yang nampak dengan yang ada di batin (Hudzaifah al-Mar’asyi)
- melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah (Abu ‘Utsman)
Sementara itu Imam Syahid Hasan al-Banna rahimahullahu memberikan definisi tentang ikhlash yaitu
أن يقصد الأخ المسلم بقوله وعمله وجهاده كله وجه الله , وابتغاء مرضاته وحسن مثوبته من غير نظر إلى مغنم أو مظهر أو جاه أو لقب أو تقدم أو تأخر , وبذلك يكون جندي فكرة وعقيدة , لا جندي غرض و منفعة
“Yaitu setiap al-akh muslim meniatkan dengan perkataannya, perbuatannya dan jihadnya seluruhnya hanya untuk Wajah Allah, mengharap keridhaanNya dan kebaikan ganjaranNya, tanpa melihat kepada harta atau kemasyhuran atau kedudukan atau pangkat atau kemajuan atau kemunduran. Dan dengan demikian ia pejuang fikrah dan aqidah, bukan pejuang kepentingan dan kemanfaatan.”
Urgensi Ikhlash
Ada sebuah hadits shahih mutawatir masyhur yang berkaitan dengan masalah ikhlash dalam niat ini. Rasulullah SAW bersabda
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه (متفق عليه
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khaththab radhiyallahu anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR Bukhari-Muslim).
Begitu pentingnya masalah ikhlash ini, sampai-sampai Imam Nawawi rahimahullah meletakkan hadits di atas pada hadits pertama dalam kitab beliau Al-Arba’in An-Nawawiyyah dan Riyadhush Shalihin. Demikian pula Syaikh Fuad Abdul Baqi menempatkannya sebagai hadits di bagian awal dalam kitab beliau Al-Lu’lu’ wal-Marjan, yang merupakan kompilasi hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim. Imam Asy-Syafi’i berkata, "Hadits ini adalah sepertiga ilmu".
Hadits ini berkaitan dengan sahabat Nabi SAW yang ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah dengan niat untuk menikahi shahabiyah Ummu Qais, sehingga terkenal istilah Muhajir Ummu Qais. Dari hadits ini Rasulullah SAW menekankan akan pentingnya kemurnian niat dan keikhlasan. Lafazh innama (ﺎﳕﺇ) pada hadits di atas berfungsi untuk membatasi (hashr). Dengan kata lain, hasil dari suatu perbuatan sangat bergantung pada niat, orientasi dan tujuannya.
Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW menekankan pentingnya kelurusan niat dalam berhijrah. Dalam amal Islami, hijrah merupakan salah satu amal yang sangat besar. Dalam sejumlah ayat seperti pada Surat Al Anfal 72-75, Allah SWT menggabungkan hijrah dengan iman dan jihad. Hijrah hakikatnya merupakan upaya untuk meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT. Hijrah merupakan peralihan perjuangan Islam di masa Rasulullah SAW dari fase bina’ul iman wal aqidah, taqwiyyah ash-shabr dan ta’sisu qa’idah Islamiyah menjadi fase iqamatu ad-daulah, jihad dan intisyaru ad-da’wah fil ardh. Namun demikian hijrah yang diniati karena motivasi duniawi seperti memperoleh harta dan wanita, tidak akan bernilai lebih dari motivasi tersebut.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda
إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان خالصا، وابتغى به وجهه (رواه النسائي بإسناد جيد
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima suatu amal kecuali dengan ikhlash dan dengannya mengharap wajah-Nya.” (HR Nasai dengan sanad yang bagus)
Hadits di atas sekali lagi menegaskan urgensi keikhlasan dalam beramal. Huruf لا danإلا menunjukkan nafi (pengecualian) dan itsbat (pengokohan) seperti dalam kalimat tauhid الله إلا لاإله
Sebuah atsar yang masyhur dari Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu menegaskan akan pentingnya dua syarat diterimanya amal, yaitu ikhlash dan shawab (sesuai dengan sunnah). Beliau berkata
إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل، وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل، حتى يكون خالصا وصوابا، والخالص: أن يكون لله، والصواب: أن يكون على السنة
“Sesungguhnya amal itu apabila ikhlash tetapi tidak shawab maka tidak akan diterima. Dan jika shawab tetapi tidak ikhlash maka juga tidak akan diterima, hingga terdapat ikhlash dan shawab. Dan ikhlash itu adalah karena Allah dan shawab itu sesuai dengan sunnah.”
Setelah itu, Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al Kahfi 110).
Riya’ dan Sum’ah
Penyimpangan amal terjadi ketika niat tidak lagi ikhlash. Keinginan untuk dilihat orang lain atau pamer amal dinamakan dengan riya’. Sedangkan rasa ingin didengar orang lain disebut sebagai sum’ah. Baik riya’ maupun sum’ah adalah dua penyakit yang sangat berbahaya. Riya’ bahkan dikatakan sebagai asy-syirk al-ashghar (syirik kecil), sebab pahala amal yang disertai riya’ akan musnah. Rasulullah SAW bersabda
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر" قالوا: وما الشرك الأصغر يا رسول الله؟ قال: الرياء
(رواه أحمد بإسناد جيد، وابن أبي الدنيا)
“Sesungguhnya yang paling takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, apakah syirik kecil itu wahai Rasulallah? Rasulullah menjawab: Riya’.” (Diriwatkan oleh Ahmad dengan sanad jayyid dan Ibnu Abi Dunya)
Bahkan pelaku riya’ diancam dengan azab besar di neraka. Na’udzubillahi min dzalik. Sebuah hadits shahih berikut ini sangat penting untuk menjadi renungan kita bersama.
عن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
إن أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استشهد، فأتى به، فعرفه نعمته فعرفها، قال: فما عملت فيها؟ قال: قاتلت فيك حتى استشهدت. قال: كذبت، ولكنك قاتلت لأن يقال: هو جرئ، فقد قيل، ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار، ورجل تعلم العلم وعلمه، وقرأ القرآن، فأتى به، فعرفه نعمه فعرفها، قال: فما عملت فيها؟ قال: تعلمت العلم وعلمته، وقرأت فيك القرآن. قال: كذبت، ولكنك تعلمت ليقال: عالم، وقرأت القرآن ليقال هو قارئ، فقد قيل، ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار، ورجل وسع الله عليه وأعطاه من أصناف المال، فأتى به، فعرفه نعمه فعرفها، قال: فما علمت فيها؟ قال: ما تركت من سبيل تحب أن ينفق فيها إلا أنفقت فيها لك، قال: كذبت، ولكنك فعلت ليقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار
(رواه مسلم والنسائي، ورواه الترمذي وحسنه، وابن حبان في صحيحه)
Dari Abu Hurairah yang berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Quran. Dia didatangkan kemudian ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman, ”Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka
Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”
(Diriwayatkan oleh Muslim dan Nasai, dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menghasankannya, dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)
Kurang apalagi kebaikan orang yang berjihad, mempelajari dan mengajarkan ilmu, membaca Al Quran dan suka berinfaq. Namun kebaikan itu musnah di sisi Allah SWT manakala orientasi amal tersebut karena mengharap pujian manusia, bukan pujian Allah SWT.
Dengan demikian, penting sekali buat kita untuk selalu menata dan memperhatikan niat setiap melakukan amal kebajikan.
إنما يبعث الناس على نياتهم (رواه ابن ماجه بإسناد حسن
“Sesungguhnya manusia bangkit (pada hari akhir) atas niat-niat mereka (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan)
Ikhlash dalam berdakwah
Bagi aktivis da’wah, kelurusan niat dalam berda’wah menjadi suatu kemestian. Ada kalanya seseorang berda’wah dan berjihad, tetapi dengan motivasi yang rendah seperti agar dilihat keberaniannya oleh orang lain, agar dianggap eksis serta motivasi memamerkan amal dakwah dan jihadnya. Rasulullah SAW ditanya mengenai masalah ini dan beliau menjawab.
مَنْ قاتَلَ لِتَكُون كلِمةُ اللَّهِ هِي الْعُلْيَا فهُوَ في سَبِيلِ اللَّهِ ( مُتَّفَقٌ عليه)
Hadits di atas menunjukkan definisi yang sejati tentang jihad di jalan Allah SWT, yaitu segala daya upaya untuk meninggikan kalimat Allah. Karena itu, segala aktivitas yang dilabeli jihad namun tidak memiliki orientasi murni untuk menegakkan kalimat Allah SWT, tidaklah dinamakan jihad fi sabilillah.
Bagi aktivis da’wah khususnya, ada sejumlah rambu-rambu yang selayaknya diperhatikan agar niat lurus dalam da’wahnya selalu terjaga.
Menjauhi kemasyhuran
Berbagai akhlaq salafush shalih mengajarkan bahwa mereka sangat takut dengan puji-pujian, kemasyhuran dan popularitas. Bagi mereka, cukuplah Allah SWT sebagai Dzat yang memuji. Mereka berpandangan, pujian dari manusia dapat melengahkan dan melenakan diri sehingga amal perbuatan tidak lagi ikhlash karena Allah.
Ibn Muhairiz berkata kepada orang yang meminta nasihat kepadanya, “Jika bisa, hendaklah engkau mengenal tetapi tidak dikenal, berjalanlah sendiri dan jangan mau diikuti, bertanyalah dan jangan ditanya. Lakukanlah hal ini.”
Bisyr al-Hafi berkata, “Saya tidak mengenal orang yang suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina. Tidak akan merasakan manisnya kehidupan akhirat, orang yang suka terkenal di tengah manusia”.
Fudhail bin Iyadh berkata, ”Jika engkau sanggup untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tidak dikenal? Apa sukarnya engkau tidak disanjung-sanjung? Tidak mengapa engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”
Imam Ahmad berkata: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran
Bagi aktivis da’wah, popularitas dan pujian dari manusia dapat merubah orientasi da’wah seseorang. Dari da’wah karena Allah, menjadi da’wah untuk mencari popularitas. Dari da’wah untuk mendapatkan pujian Allah, menjadi da’wah untuk mendapatkan pujian manusia.
Sebenarnya, popularitas dan kemasyhuran itu tidaklah jelek. Para Nabi, Khulafa ar-Rasyidin dan para Imam adalah orang yang dikenal manusia. Ungkapan salafush shalih tersebut bukanlah ajakan untuk ber’uzlah. Tetapi yang tercela adalah mencari kemasyhuran dan kedudukan, serta sangat bercita-cita untuk mendapatkannya.
Beramal secara diam-diam
Amal yang dilakukan diam-diam berpeluang lebih selamat dari riya’ dibandingkan dengan amal secara terbuka. Allah SWT berfirman
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
Para ulama menjelaskan tentang keutamaan menyembunyikan amal kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Secara khusus ada keuntungan bagi orang-orang yang “hidden”. Dalam hadits Mu’adz, Rasulullah SAW bersabda
إن الله يحب الأبرار الأتقياء الأخفياء، الذين إن غابوا لم يفتقدوا، وإن حضروا لم يعرفوا، قلوبهم مصابيح الهدى، يخرجون من كل غبراء مظلمة
“Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan, bertaqwa dan yang menyembunyikan amalnya. Yaitu orang-orang yang jika tidak hadir mereka tidak dicari, dan jika hadir mereka tidak dikenal. Hati mereka adalah pelita petunjuk. Mereka keluar dari setiap tempat yang gelap.”
Selalu sabar dalam berda’wah
Allah SWT memberikan ilustrasi berupa kisah Nabi Nuh AS yang begitu sabar berda’wah selama 950 tahun (Al Ankabut 14). Nabi Nuh selalu berda’wah siang dan malam tanpa kenal lelah (Nuh 5). Beliau juga menggunakan berbagai metode, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (Nuh 8-9). Bahkan keluarganyapun juga tidak menyambut ajaran beliau. Kesabaran beliau ditunjukkan ketika mendapatkan wahyu Allah SWT untuk membuat kapal (Al Mu’minuun 27-28) dimana orang-orang kafir mengejek Nabi Nuh dan para pengikut beliau (Hud 11).
Kesabaran dalam berda’wah berbanding lurus dengan keikhlasan. Orang-orang yang ikhlash selalu bersabar dalam menghadapi ujian dalam da’wah. Namun, terkadang ada orang-orang yang ingin segera cepat-cepat menikmati hasil da’wahnya. Perilaku yang disebut isti’jal, dilakukan oleh orang-orang yang mengubah tujuan da’wahnya, dari da’wah murni kepada Allah SWT menjadi da’wah yang berorientasi kepada hasil. Ketika sahabat Khubaib bin al-Arat menanyakan kapan datangnya pertolongan Allah, Rasulullah SAW menjawabnya dengan ilustrasi kisah orang pada zaman terdahulu yang tetap bersabar walaupun harus menerima ujian disisir dari sisir besi. Di akhir, Rasulullah mengatakan (ولكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ) “Akan tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR Bukhari)
Berbuat yang ikhlash dan wajar ketika memimpin
Orang yang ikhlash karena Allah akan berbuat yang wajar, baik ketika memimpin di depan sebagai qiyadah maupun ketika berada di belakang sebagai jundiyah. Tidak ada perubahan dalam orientasi amalnya maupun sikap dan perbuatannya, baik ketika dikenal orang banyak, maupun ketika tidak dikenal. Dalam hal ini, sikap Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dapat menjadi teladan, ketika beliau tetap ikhlash berjuang meskipun diberhentikan dari panglima perang oleh khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Syaikh Yusuf Qaradhawy memberikan taushiyah mengenai (الفرح بكل كفاية تبرز ) dalam hubungannya dengan persoalan jama’ah. Beliau menyatakan, qiyadah yang ikhlash akan senang jika banyak orang-orang baik yang bergabung dengan jama’ah. Dia tidak akan terganggu atau dengki atau gelisah karena kehadirannya. Bahkan qiyadah yang ikhlash melihat, jika ada orang lain yang lebih baik dari dirinya dalam hal memikul tanggung jawab, ia dengan senang hati untuk mundur dan memberikan tanggung jawab kepada orang lain.
Beliau mengkritik orang-orang yang diberikan amanah namun selalu berusaha mempertahankan jabatannya, tidak mau mundur dan suka menekan orang lain. Padahal seiring dengan perjalanan waktu, keadaan akan berubah dan orang yang kuat akan menjadi lemah. Ada ungkapan (لكل زمان رجاله) , setiap zaman ada rijalnya. Beliau mengkritik pemimpin yang yang mati-matian mempertahankan kedudukannya dengan anggapan dialah yang paling mampu mengendalikan perahunya.
Syaikh Yusuf Qaradhawy juga menyatakan, aktivis dakwah tidak boleh menutup mata dan telinga ketika mendapatkan kritik dari orang lain. Beliau bahkan memperingatkan bahaya sebuah jamaah yang disusupi dari luar, kepincangan dalam berfikir dan beramal, tidak ada inovasi dan pembaharuan, sebagai akibat kerakusan satu atau dua orang yang terlibat di dalamnya.
Menghindari ujub.
Ujub (i’jab bin nafsi) adalah penyakit membanggakan diri sendiri, dengan tidak merendahkan orang lain. Walaupun tidak merendahkan orang lain, penyakit ini cukup berbahaya, karena berpotensi menuju ghurur. Ghurur adalah penyakit membanggakan diri sendiri disertai dengan merendahkan orang lain. Karena itu ghurur dikatakan sebagai syiddatul i’jab. Di atas ghurur adalah penyakit takabbur alias sombong. Takabbur dikatakan syiddatu syiddatil i’jab. Jadi pada akhirnya, ujub berbahaya karena menuju kepada takabbur. Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam bukunya Aafatun ‘ala ath-thariq menjelaskan tentang bahaya penyakit ujub, ghurur dan takabbur.
Perang Hunain memberikan pelajaran besar akan bahaya penyakit ujub, ketika kaum muslimin merasa yakin akan mendapatkan kemenangan karena membanggakan jumlah yang besar. Allah SWT berfirman
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah 25)
Lafazh (أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ) menunjukkan bahwa kaum muslimin berbangga dengan jumlah yang besar, pada akibatnya mereka bercera-berai.
Penyakit ujub juga dapat muncul ketika seseorang atau sebuah jama’ah merasa dirinya lebih baik atau lebih suci daripada orang atau jama’ah lain. Padahal Allah SWT berfirman
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“…Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm 32)
Selayaknya, aktivis da’wah seperti halnya orang-orang yang memakmurkan masjid adalah orang-orang yang gemar membersihkan diri (at Taubah 108). Sebab aktivis da’wah bukanlah orang yang bersih dari dosa. Taubat dan muhasabah adalah alat untuk mengevaluasi diri dan jamaah, sejauh mana kelurusan niat dan langkah dakwahnya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Bahan rujukan:
- Al Quranul Karim
- Imam Nawawy, Riyadhush Shalihin
- Ibnu Hajar al-Atsqalany, Fathul Bari
- Yusuf al-Qaradhawy, An-niyyat wal-ikhlash, http://www.qaradawi.net
- Hasan al-Banna, Majmu’ah Rasail.