B. Penggunaan Ta’wil Bebas, Liar dan Spekulatif (Interpretation Uncontrolled).
Bila diamati secara seksama, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah menciptakan gagasan teori lahir dan batin atau dalam istilah mereka “al-Muthl wa al-Mamthul”, tujuannya adalah untuk mengimpretasi teks-teks agama, syariat, baik Qur’an ataupun Sunnah, karena dalam mazhab mereka ta’wil merupakan pilar, asas dan landasan utama dalam proses pengukuhan sebuah aqidah dan penegakan ideologi, atas dasar tersebut yang membadakan Syi’ah Isma’iliyah dengan mazhab-mazhab lain.
Di mana mereka dengan penuh keberanian menta’wilkan seluruh teks-teks agama tanpa terkecuali, dengan landasan teori lahir dan batin, dan sebebarnya mereka lakukan demikian tak lain dan karena mereka tidak menemukan solusi yang tepat untuk mendukung ideologi mereka, oleh karena itu mereka sengaja menginterpretasikan seluruh teks-teks agama baik Qur’an ataupun Sunnah.
Salah satu tokoh Syi’ah Imamiyah yang bernama Syekh Ja’far Subhani, dalam bukunya “Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal”, ia menegaskan tentang peranan dan urgensi ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, dengan mengatakan: “Sesungguhnya masalah penta’wilan secara lahiriyah dari suatu teks-teks syari’at, adalah merupakan landasan utama dalam ideologi Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, sebab ta’wil merupakan asas dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah, sehingga bila ta’wil ditiadakan dalam aliran tersebut dan hanya berhenti pada pengertian lahiriyah suatu teks, maka aliran Syi’ah Isma’iliyah tidak berbeda dengan aliran-aliran lainnya, oleh karena itu mereka mengimplementasikan ta’wil dalam seluruh permasalahan aqidah ataupun syari’at, terlebih lagi dalam penafsiran Imamah” [1].
Namun hemat penulis, syekh Ja’far Subhani sebagai tokoh Syi’ah Imamiyah memaparkan bahwa Syi’ah Isma’iliyah tak dapat dipisahkan dari ta’wil, sebenarnya Syi’ah Imamiyah pun demikian, dalam artian ta’wil dalam aliran Syi’ah Imamiyah mendapatkan tempat yang tinggi juga, sebab merekapun menggunakan ta’wil bebas dan liar. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca bukupenulis :"Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, Darul Kutub Ilmiyah, Bairut, Lebanon, 2009".
Sebagi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ta’wil dalam perspektif Syi’ah Bathiniyah? Untuk menjawab, penulis menuqil definisi salah satu tokoh kontemporer Syi’ah Isma’iliyah DR. Arif Tamir, ia mengatakan: “Ta’wil adalah makna batin dari suatu lafadz, atau dimaksudkan juga sebagi symbol dan esense, di mana hikikat makna suatu lafadz terdapat dalam kandungan lafadz itu sendiri, dan lafadz itu tidak mampu untuk menunjukkan suatu hakikat dan kebenaran” [2].
Dari definisi di atas dapat digaris bawahi bahwa kaedah ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah adalah merupakan penerapan dari teori lahir dan batin yang telah kita ketengahkan sebelumnya, sebab menurut asumsi mereka makna lahir tidak dapat memberikan suatu makna yang hakiki atau kebenaran, oleh karena itu dalam memahami sebuah teks-teks agama, seseorang tidak akan mampun memahaminya bila hanya bergantung kepada lahiriyah teks tersebut, melainkan harus menelusuri lebih jauh dan mendalam makna-makan batin yang terkandung dalam setiap lafadz.
Motif inilah yang membuat ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sangat menekankan pentingnya ta’wil dalam mengartikan permasalahan-permasalahan agama, sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi’ah Isma’iliyah Abu Ya’qub as-Sijistani (wafat 353 H): “Barang siapa yang tidak mengerti ilmu ta’wil serta memahaminya secara mendalam, maka ia akan membohongi dan mendustakan al-Qur’an” [3].
Di lain tempat filsof Isma’iliyah Bathiniyah Abu Mu’ayyan al-Marwazi alias Nasir Khasru berkata: “Ta’wil adalah sebuah kebenaran yang hakiki” [4]. Senada dengan diatas Ya’qub bin Killis, menegaskan lebih jauh bahwa: “Sesungguhnya al-Qur’an itu tidak akan jelas maksud dan tujuannya kecuali dengan diiringi dengan ta’wil” [5].
Namun perlu diperhatikan disini, sebenarnya masalah ta’wil bukanlah sautu hal yang diperselisihkan eksistensinya dalam kajian agama, bahkan mayoritas ulama dari berbagai aliran teologi dan pemikiran Islam, khususnya aliran Asy’ariah, Maturidiyah, Mu’tazilah dan Syi’a Zaidiyah, mereka sangat memberikan perhatian dan menganggap ta’wil itu penting, oleh karena itu mereka sepakat membolehkan ta’wil dalam berinteraksi dengan teks-teks Qur’an.
Namun ada batasan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipegangi bagi siapa saja yang ingin menta’wil teks Qur’an ataupun Sunnah, di mana bagi mereka penggunaan ta’wil hanya kepada ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat), dan tidak dibenarkan dalam ayat-ayat yang jelas (Muhkamaat), dan tidak semua ayat-ayat mutasyabihat boleh dita’wilkan atau diinterpretasikan.
Sebagaimana yang dinyatakan dan ditegaskan oleh pakar tafsir dari Andalus Imam Qurthubi, di mana beliau membagi ayat-ayat Mutasyabihat kepada dua kategori, yaitu:
Pertama, permasalahan-permaslahan yang kandungannya sama sekali tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti: fakta-fakta hari kiamat.
Kedua, perihal yang dapat diketahui oleh orang-orang berilmu saja “ar-Rasikhuna fi al-‘Ilmi”, seperti permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt.
Dalam pandangan Imam Qurthubi kategori pertama di atas, sama sekali tidak dapat diinterpretasikan oleh seseiapapun, sebab berkaitan dengan rahasia alam ghaib, adapun yang kategori kedua, boleh dibantu memahaminya dengan ta’wil, asalkan melalui proses penta’wilan yang betul dan diinterpretasikan oleh ulama yang tahu seluk beluk gramatikal bahasa Arab dan ilmu agama lainnya” [6]. Untuk lebih jelasnya silakan membaca buku penulis: "Masaail al-I’tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, Muassasah al-‘Alya, Kairo, Mesir, 2006".
Di tempat lain Imam Syatibi menggariskan kebolehan penggunaan ta’wil dengan dua persyaratan, yaitu:
Pertama, lafadz yang akan dita’wilkan hendaknya seseuai dengan makna lahiriyah bahasa Arab, atau sesuai dengan arti kata lain yang dipilih dan dikenal dalam bahasa Arab.
Kedua, makna yang dipilih hendaknya sesuai dengan kebenaran (kenyataan), dengan jalan menyesuaikan dan menelusuri teks-teks ayat di tempat lain.
Dengan memenuhi kedua syarat di atas, maka akan Nampak jelas kebenaran makna batin suatu lafadz dengan menggunakan ta’wil, dan hal ini berbeda dengan cara penta’wilan di kalangan Bathiniyah, di mana mereka hanya mengandalkan ilmu batin dan sama sekali tidak melihat segi gramatikal bahasa Arab” [7].
Di sinilah kekeliruan dan kesalahan penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, dan diikuti oleh kalangan sekuler dan liberal di Timur Tengah, melalui istilah “Hermeneutika”, di mana penta’wilan mereka tidak didasari dan dilandasi dengan gramatikal bahasa Arab, di samping itu mereka tidak membedakan antara ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat) dan ayat-ayat yang jelas (Muhkamat), bagi mereka ayat Mutasyabihat dan ayat Muhkamat sama saja dan mesti dita’wilkan, atas asumsi demikian, mereka menta’wilkan seluruh ayat-ayat Qur’an secara batin, tanpa melihat latar belakang posisi ayat tersebut, dan hal ini terjadi karena tidak adanya standarisasi ta’wil dalam mazhab mereka.
Konsekwensi dari penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah berdampak besar pada beberapa permasalahan syari’at, sebagi contoh:
- Mereka berasumsi bahwa shalat menurut makna batinnnya adalah mengakui para wali-wali, wali Allah yang dimaksud adalah para Imam-Imam mereka, oleh karena itu ketaatan dan kepatuhan kepada Imam hukumnya wajib.
- Ibadah puasa bagi persepsi mereka bukanlah bermaknakan menahan diri dari lapar dan dahaga, melainkan maknanya adalah menyembunyikan segala rahasia Syi’ah Isma’iliyah terhadap orang di luar mazhab Syi’ah Isma’iliyah.
- Begitu halnya dengan Ka’bah baitullah al-Haram, mereka ta’wilkan dengan senganya mengalihkan maknanya kepada Imam-Imam yang harus ditaati dan dipatuhi segala perintah dan larangannya, sebab Imam itu adalah hakakat daripada Ka’bah Baitullah al-Haram [8].
- Dalam surah an-Nur ayat: 36, yang dimaksud dengan perkataan “al-Masajid” menurut persepsi mereka adalah para Imam-Imam Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan para Nabi [9].
- Perkataan “Wa ‘Amiluu as-Shalihat” dalam surah al-Kahfi, ayat 107, bagi mereka adalah mentaati kepmemimpinan imam, sebab keyakinan mereka tidaklah diterima amal ibadah seseorang, baik yang bersifat fardhu atau sunnah, kecuali bila mereka sudah mentaati para imam mereka yang suci dari noda dan dosa (Ma’sum) [10].
Perlu diperhatikan bahwa proses interpretasi ayat-ayat Qur’an dan Sunnah dalam aliran Syi’ah Isma’Iiyah Bathiniyah, secara general sebenarnya bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh kedudukan para Imam-Imam mereka, sehingga mereka berasumsi bahwa persoalan ta’wil adalah salah satu mu’jizat para Imam, dan Imam al-Muntadzar sebagi pucuk pedang segala interpretasi (ta’wil) [11].
Dari beberapa contoh pena’wilan yang dilakukan oleh Syi’ah Isma’iliyah di atas, jelas mereka melakukannya secara liar dan bebas, yang dibangun tidak berdasarkan kepada kode etik ta’wil yang semestinya berpedoman kepada gramatikal bahasa Arab, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh filsuf Islam Ibnu Rusyd [12].
Fenomena ta’wil Syi’ah Isma’iliyah dapat dijumpai dalam wacana pemikiran sekuler dan liberal di kalangan intelektual di Timur Tengah, di mana ta’wil bagi mereka adalah satu-satunya jalan untuk memahami agama secara benar dan pasti, sebab ta’wil itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil produk bangsa Arab, yang bertujuan untuk mencapai sebuah kebenaran, hal ini dikatakan oleh pemikir liberal Ali Harb dalam bukunya yang berjudul: “at-Ta’wil wa al-Hakikah” [13].
Hal yang senada Hasan Hanafi berpendapat bahwa penggunaan ta’wil sangat penting ketika ingin memahami suatu teks agama, karena tidak satupun teks yang tidak dapat dita’wilkan, bahkan teks-teks agama yang sudah jelas maknanya (Muhkamat) tentu ada solusi pena’wilannya [14].
Tentunya pernyataan ini sama persis dengan pernyataan yang telah diagung-agungkan oleh Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sebelumnya. Bahkan terdapat persepsi yang lebih berani yang datang dari salah satu pemikir liberal yang bernama Tayyib Tizni, ia terang-terangan menafikan adanya ayat-ayat Muhkamat yang jelas dan tidak ada kesamaran di dalamnya, oleh karena itu tidak aneh kalau para kaum liberal berasumsi bahwa isi Qur’an semuanya Mutasyabihat [15].
Nasr Hamid abu Zaid berargumentasi lebih jauh tentang peranan dan keutamaan ta’wil dalam memahami teks agama, hal ini dapat dilihat ketika ia mencoba untuk mengkomparasikan antara pemakaian tafsir dan ta’wil, dengan mempersoalkan yang mana lebih utama, tepat dan benar dari keduanya ketika ingin berinteraksi dengan teks-teks agama (al-Qur’an dan Sunnah), ternyata menurutnya cara yang paling tepat untuk memahami teks secara dalam adalah melalui proses ta’wil, dengan alas an diantaranya lafadz “tafsir” hanya disebut satu kali dalam al-Qur’an, sedangkan lafadz “ta’wil” disebutkan sebanyak tujuh belas kali, dan ini membuktikan kelayakan ta’wil daripada tafsir16.
Di samping itu, para pemikir liberal yang diketuai oleh Nasr Hamid Abu Zaid menamakan ta’wil dengan istilah “Hermeneutika” 17 yang dipinjam dari luar Islam dan tidak ada kaitannya dengan istilah agama dan wacana keislaman, sebab hermeneutika itu sendiri adalah kosa kata filsafat barat, yang juga erat hubungannya dengan interpretasi Bible.
Hermeneutika muncul di dalam konteks peradaban Barat, di mana konsepnya didominasi oleh ilmu yang skeptic, oleh karena itu konsep yang mereka tawarkan kepada pembaca bersifat makna dan kandungan konsep hermeneutika selalu dalam perubahan, pergeseran dan perbedaan, bahkan mengalami kontradiktif antara satu teori hermeneutika dengan teori-teori hermeneutika lainnya, dalam sejarah tercatat bahw yang mempolopori hermeneutika itu adalah seorang filosof yang beragama Protestan berkembangsaan Jerman beranama: Friedrich Schleiermacher (1268-1834), baginya peranan hermeneutika adalah untuk memahami teks sebaik atau lebih baik dari pada pengarang buku [18].
Ide dan gaya serta konsep memahami teks seperti ini sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat meragukan teks-teks Qur’an, dan akan menghapus kebenaran isi dan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab kebenaran teks agama baik Qur’an ataupun Sunnah adalah kebenaran mutlaq, dengan demikian tidak patut hermeneutika dipakai dalam memahami teks-teks agama, melainkan yang layak adalah memakai konsep Islami yaitu “Ta’wil”.
Untuk mengetahui sejarahpenggunaan terminologi Hermeneutika di Timur Tengah, silahkan membaca buku sahabat kami asal Syiriah Damaskus, DR. Ahmad Idris at-Tha’an: "al-‘Almaniyyun wa al-Qur’an al-Karim", Darul Ibni Hazam, Riyadh, Saudi Arabiah, 2007,asal buku adalah desertasi Darul Ulum jurusan Filsafat Islam, Universitas Kairo, th 2003, judul aslinya: al-Fikru al-‘Arabiy al-Almani wa Mauqifuhu min An-Nash al-Qur’an". Jumlah halaman: +800.Dan hal yang menarik perhatian dari desertasi tersebut, dewan pengujinya terdiri dari DR. Muhammad Imarah dan DR. Hasan Hanafi, sehingga persidangan desertasi berubah menjadi perdebatan ilmiah yang sengit antara dewan penguji, dan dipandu oleh dosen pembimbing desertasi, DR. Sayyid Rizq al-Hajar.
Yang fatal dari pada teori hermeneutika adalah teori tersebut dilandaskan kepada faham relatifisme, hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Jean Grisch bahwa: “Sama sekali tidak dapat ditemukan ta’wil yang mengandung kebenaran, melainkan ta’wil itu beraneka ragam”. Sementara Qur’an sebagai kitab suci sifatnya mutlak dan tidak relatif.
Bila kita cermati, kajian-kajian hermeneutika sebenarnya disisipkan secara halus dalam kajian-kajian al-Qur’an, melalui terminology-terminologi, seperti: al-Qira’ah, al-Muqarabah, at-Ta’wil al-Haditsah, at-Ta’wil al-Mu’ashir dan berbagai macam terminology lain yang sebenarnya bertujuan menyesatkan bukan mencari kebenaran.
Bahwkan para pemikir liberal di Timur Tengah kerap kali mengesksploitasi terminologi “Ta’wil” yang merupakan terminologIi Islam, sebagai cara atau pancingan untuk mengakui teori Hermeneutika, dengan melalui propaganda, seperti slogan pembaharuan, menela’ah kembali teks-teks agama, dengan penampilan baru, modern dan kontemporer serta bersifat pencerahan (Enlightenment).
Konsekweinsinya, teks-teks Qur’an dan Hadits yang telah tetap dan kokoh pada ayat (Muhkamat), mereka jadikan sebagai sejarah (historical) yang bias diperbaharui dan dirubah kapanpun dan di manapun sesuai dengan kehendak dan keinginan serta cita rasa individu masing-masing, oleh karena itu Muhammad Arkon, salah satu pemikir liberal asal Jazair dalam hal ini sangat menyangkan para ulama tafsir yang enggan memakai penafsiran symbolik (at-Ta’wil ar-Ramzi) yang dipakai oleh para ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan ulama Tasawwuf [19].
Dengan demikian dapat secara jelas dan nyata, betapa pentingnya peranan ta’wil dalam kajian pemikiran Syi’ah Isma’iliyah dan Liberal, sebab bagi mereka ta’wil adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui esense dan kebenaran ajaran agama. (Bersambung)
Catatan :
- Lihat: Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal, 8/261, dinuqil dari www.rafed.net.
- Muqaddimah Asas at-Ta’wil, hal:7, Darul Ma’arif, Kairo, cet 1/tanpa tahun.
- Kitab al-Ifthkhar, hal: 99, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Mustafa Ghalib.
- Jami’ al-Hikmatain, hal:241, Darul Thaqafah, Kairo-Mesir, 1974. diterjemahkan dari bahasa Persia oleh: DR. Ibrahim ad-Dasuqi.
- Ar-Risalah al-Mudzhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, Darul Masirah, Bairut-Lebanon, cet 1/1988, editor: DR. Arif Tamir.
- Lihat: Masail al-I’tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, hal:74, Muassasah al-‘Alya, Kairo-Mesir, cet 1/2006.
- Lihat: al-Muwafaqat, 3/294.
- Lihat: al-Iftikhar, hal:116, 126, 128, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Mysthafa Ghalib. Al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal: 98, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, cet 1/1984, editor: DR. Musthafa Ghalib.
- Lihat: al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal 63.
- Lihat: Kanzul Walad, Ibrahim al-Hamidi, hal: 28, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, tanpa tahun cetak, editor: DR. Musthafa Ghalib.
- Lihat: ar-Risalah al-Mudzhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, hal: 29, Darul Masirah, Bairut-Lebanon, cet 1/1998, editor: DR. Arif Tamir.
- Lihat:Fashlul Maqaal, Ibnu Rusyd, hal:33, Darul Ma’arif, Kairo, cet 2, tanpa tahun, editor: DR. Muhammad Imarah.
- Lihat: at-Ta’wil wa al-Hakikat, Ali Harb, hal: 14, Darul Tanwir, Bairut-Lebanon, cet 2/1995.
- Lihat: Min al-Aqidah Ila at-Tsaurah, 1/398, Maktabah Madbuli, Kairo, tanpa tahun. Dirasat Islamiyah, hal:346, Darul Tanwir, Bairut-Lebanon, cet 1/1982.
- Lihat: Khalid as-Saiidani, an-Nash al-Qur’an Amama Isykaliyah al-Binyah wa al-Qira’ah, hal: 261.
- Lihat: Mafhum an-Nash, hal:256, al-Hai’ah al-Mishriayah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 1993.
- Universitas Amerika di Kairo menubuhkan majalah sekuler dengan penamaan “al-Hermeneutiqa wa at-Ta’wil”, di antara penulisnya adalah tokoh-tokoh liberal terkenal, seperti: DR. Hasan Hanafi, DR. Nasr Hamid Abu Zaid.
- Lihat: F. Schleiddrmacher, Hermeneutique, labor et fides. 1987. p:77. P. Ricoeur: le conflit des interpretation. Ed. Seuil 1969. p: 10. Min an-Nash Ila al-Fi’li, Paul Ricoeur hal: 63, 111, terjemahan: Muhammad Baraadah. ‘Ain li ad-Dirasah wa al-Buhuts al-Insaniyah wa al-Ijtima’iyah, cet 1/2001. al-Balaghah wa as-Si’riyyah wa al-Hermeneutiqa, Paul Ricouer, hal: 113, Majalah al-Fikr wa an-Naqd, Marocco, Februari 1999, seri 16, Nadzariyah at-Ta’wil, DR. Musthafa Nasif, hal: 33, 61, 89, an-Naadi al-Adabi at-Tsaqafi, Jeddah, Saudi Arabiah, cet 1/2000.
- Lihat: Min al-Ijtihad Ila Naqd al-‘Aql al-Islami, Arkoun, hal: 80.