Masalah ta’wil adalah masalah penting dalam studi keislaman. Ta’wil merupakan salah satu metode penafsiran teks untuk memahami kandungan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia mendapatkan tempat, posisi dan perhatian khusus para ulama. Oleh karena itu tidak sedikit ulama yang membahas masalah ini.
Bahkan karya-karya mereka banyak diberi judul dengan kata-kata ta’wil, seperti ulama tafsir terkenal imam at-Thabari yang menulis tafsirnya dengan judul “Jaami’ al-Bayaan ‘An Ta’wil Ayaat al-Qur’an”, juga Imam al-Maturidi (pendiri mazhab teoligi Maturidiyah) yang menulis tafsirnya dengan judul “Ta’wiilaat Ahli Sunnah”, serta Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Arabi yang memiliki buku yang mempunyai judul yang sama yaitu: “Qanun at-Ta’wil”. Mereka semua ini adalah para ulama klasik.
Pada masa kontemporer sekarang inipun tidak ketinggalan para sarjana-sarjana islam dari berbagai disiplin ilmu keislaman melahirkan karya-karya yang membahas masalah ta’wil, seperti DR. Husain Shaleh yang mengarang buku dalam masalah kebahasaan yang diberi judul “at-Ta’wil al-Lughawi fi al-Qur’an”, dan DR. Muhammad as-Sayyid al-Jalayand yang membahas tentang metodologi ta’wil Imam Ibnu Taimiyah dan mengkomparasikannya dengan pandangan ulama lainnya dalam masalah dan seluk beluk ta’wil dalam bukunya yang berjudul “Imam Ibnu Taimiyah Wa Qadhiyyah at-Ta’wil”.
Saat ini ta’wil sedang digemari dan digandrungi oleh para intelektual Arab dan orientalis, dengan menggunakan berbagai propaganda terminologi baru, yaitu: “Hermeneutika”, yang dibangun atas spekulasi logika, dan diekspos besar-besaran oleh beberapa pemikir islam modernis, seperti: Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abid al-Jabiri, Abdullah al-‘Arawi, Husain Marwah, Muhammad Sa’id al-‘Isymawi, Jabir ‘Ashfur, Ahmad Sa’id Adunis dan lain-lain. Namun, sangat disayangkan mereka menyelewengkan artian, makna dan tujuan daripada ta’wil, sehingga banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan interpretasi agama yang sangat tidak relevan dengan ajaran-ajaran Islam.
Mereka berdalih bahwa proses interprestasi yang dilakukannya hanya semata-mata untuk mengkaji ulang agama, memperbaharui pemikiran agama dan menyegarkan pemahaman. Sebagian mereka berasumsi bahwa al-Qur’an itu diturunkan untuk satu kaum dan generasi tertentu saja yang pada akhirnya memerlukan interpretasi yang baru dan segar.
Mengingat pentingnya masalah ta’wil tersebut, maka artikel ini sengaja ditulis dengan tujuan melacak dan menelusuri pengaruh metode ta’wil Syi’ah Bathiniyah terhadap pemikiran liberal yang akhir-akhir ini semarak di dunia timur tengah atau negara-negara Arab, seperti Mesir, Suria, al-Jazair dan libanon.
Faktor utama yang memotivasi penulis untuk membahas masalah ini adalah melihat adanya fenomena dari kedua gerakan tersebut -Syi’ah Bathiniyah dan Liberal- untuk melakukan penyesatan dan pengrusakan (sabotase) aqidah Islam. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan usaha preventif agar tidak terpukau dengan wacana pemikiran liberal atau sekuler yang akhir-akhir ini menyibukkan umat Islam di dunia Arab dan Islam, khususnya di Indonesia. Di samping itu merupakan peringatan (tazkirah) akan hakikat dan bahayanya ta’wil Bathiniyah yang dipopuleritaskan oleh gerakan sekuler yang dikenal di Indonesia dengan sebutan “islam liberal”, dan di negara Arab dikenal dengan sebutan “al-‘Almaniyah”.
Namun, sebelum penulis mengekspikasikan pembahasan ini lebih jauh, perlu diindikasikan sebelumnya bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk memojokkan gerakan liberal, apalagi memvonis bahwa gerakan sekuler atau liberal adalah pecahan atau kontinuitas dari gerakan Syi’ah Bathiniyah. Sebab hipotesa demikian mustahil dibuktikan kebenarannya. Karena salah satu prinsip dasar ajaran Syi’ah adalah meyakini adanya Imamah, atau dengan kata lain mempercayai dan mengkultuskan seorang imam, pemimpin atau tokoh tertentu dengan sepenuh hati “sam’atan wa tha’atan”, tunduk dan patuh terhadap doktrin-doktrin yang disodorkan atau ditawarkan oleh imam.
Hal ini tidak akan pernah ditemukan sama sekali dalam wacana pemikiran sekuler atau liberal. Bahkan sebaliknya, di mana kaum sekuler sangat anti dengan pengkultusan, apapun bentuk dan rupanya.
Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah
Dan bahkan dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah[1] . Hal tersebut disebabkan oleh karena ajaran-ajaran Syi’ah Bathiniyah sangat kontroversial dan melenceng dari kemurnian ajaran Islam.
Oleh karena itu para ulama dari berbagai kalangan yang disebutkan di atas –golongan Sunni ataupun Syi’ah- sepakat berpendapat bahwa mereka keluar dari Islam alias (kafir). Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui gencarnya studi kritik terhadap filsafat dan aqidah Bathiniyyah[2] .
Untuk sekedar memberikan gambaran umum “General Outlines” mengenai Syi’ah Bathiniyah, dalam etimologi bahasa arab lafadz (batin) adalah lawan kata daripada (zahir)[3] .
Dan (batin) merupakan salah satu nama Allah SWT. yang artinya Allah Maha Tahu tentang segala rahasia. Adapun menurut terminologi, Bathiniyyah adalah salah satu aliran Syi’ah yang dikenal dengan penamaan asal (al-Isma’iliyyah), dan ia merupakan salah satu aliran Syi’ah yang terbesar selain Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Oleh karena itu ulama Syi’ah Zaidiyah sendiri secara jelas mendefinisikan Bathiniyah -sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama Syi’ah Zaidiyah, yaitu: Imam Ahmad bin Sulaiman (wafat 566) dalam buku teologinya yang terkenal (Haqaa,iq al-Ma’rifah fi Ilmi al-Kalam)-: “Bathiniyah dinisbahkan kepada Syi’ah Isma’ilyah.
Mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya kufur. Dan mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin[4].
Senada dengan definisi diatas, Ibnu al-Jauzi mengatakan dalam bukunya yang berjudul (Talbiis Ibliis): “Bathiniyah adalah suatu kaum yang bertopengkan agama Islam, dan berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin. Al-Bathiniyah itu sendiri adalah golongan Syi’ah Isma’ilyah yang penamaannya dinisbahkan kepada imam Muhammad bin Ismail bin Ja’far[5] .
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Bathiniyah adalah Syi’ah Isma’iliyah. Adapun dalam perkembangannya, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah sering kali bertukar dan berganti nama, bergantung kepada tempat dimana ia muncul dan menetap. Seperti di Iraq dan di Bahrain dikenal dengan nama “al-Qaramithah”, di Khurasan dikenal dengan nama “at-Ta’limiyah”, di Mesir dikenal dengan nama “al-Fathimiyah”, di Syam (Suria,Yordan, Lebanon dan Palestina) dikenal dengan dua penamaan yaitu “an-Nushairiyah” dan “ad-Duruz”, dan khusus di Palestina terdapat penamaan lain yaitu “al-Baha,iyah”, di India dengan nama “al-Bahra”, di Yaman dengan nama “al-Yamiah” disamping penamaan aslinya “al-Isma’ilyah”, di daerah-daerah Kurdi dengan nama “al’Alawiyah”, di Turki populer dengan nama “al-Bakdasyiah), dan di negara selain Arab dikenal dengan nama “al-Babiyah”.
Namun mereka sendiri sebenarnya merasa lebih puas dan senang dengan penamaan aslinya, yaitu “al-Isma’iliyah”, sebagaimana yang ditegaskan oleh tokoh ulama mereka yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H) dalam bukunya yang berjudul “Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadhil”. (Bersambung)
Catatan:
- Zaidiyah dekat dengan Ahli Sunnah dalam Furu’iyyah mazhab Hanafi, dan masalah ushuliyyah aqidah dekat kepada aqidah Mu’tazilah.
- Untuk lebih jelasnya lihat desertasi penulis: “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha. Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon. 2009.
- Lihat beberapa kamus: Lisanul Arab, Misbah al-Munir dll.
- Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam, Ahmad bin Sulaiman, halaman 500, Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi, Shan’a, Yaman, cet 1/2003. editor: Hasan bi Yahya al-Yusfi.
- Talbis Iblis, Halaman 124-125, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Bairut, cet 1/1985. editor: Dr. as-Sayyid al-Jumaili.