Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Sikap Imam al-Qurthubi Terhadap Ilmu kalam.
Imam al-Qurthubi dalam hal ini tidak ketinggalan, ia berbicara tentang ulama kalam di berbagai kesempatan dalam pemaparan tafsirnya. Juga dalam berbagai ragam istilah kalam seperti: al-Jauhar (Substance) dan al-‘Ardh (Accident). Bagi Imam al-Qurthubi tidak adal masalah baginya untuk menggunakan istilah-istilah tersebut, sebab al-Qur’an dan sunnah sendiri tidak melarangnya, bahkan memberikan isyarat akan pemakaiannya.
Imam al-Qurthubi merumuskan beberapa syarat bagi dibolehkannya mempelajari dan mendalami ilmu kalam, diantaranya:
1) Bertujuan membela akidah islam. Imam al-Qurthubi memandang bahwa orang-orang yang membela agama, dan membatalkan setiap tuduhan yang merusak dengan menggunakan berbagai terminologi teologi, maka sebenarnya dia menempati derajat atau posisi yang dekat dengan posisi para nabi. Dia berkata, “Barang siapa yang mempergunakan berbagai terminologi para teolog untuk memperjuangkan agama, maka perannya dekat dengan peran para nabi”(1).
2) Debat dan diskusi yang terjadi dalam ilmu kalam bertujuan untuk menampakkan kebenaran. Oleh karena itu imam al-Qurthubi membolehkan debat dan diskusi yang bertujuan untuk menampakkan kebenaran, serta mengajukan dalil bagi kebenaran.
Dan ini adalah cara yang ditempuh oleh al-Qur`an dalam melakukan perdebatan untuk memberikan hidayat kepada orang-orang kafir, dan menekan orang-orang yang membangkang. Berbeda dengan perdebatan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikuasai oleh hawa nafsu, dan jenis perdebatan yang seperti ini adalah perdebatan yang batil.
Imam al-Qurthubi mengisyaratkan hal ini dalam penafsirannya terhadap firman Allah taala:
(( مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا)) – غافر : 4 –
Yang artinya: “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir”. (Ghaafir: 4).
Dia berkata, “ Allah swt. mencap orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah sebagai orang kafir. Yang dimaksud adalah perdebatan dengan menggunakan kebatilan, dengan cara mempermasalahkannya, dan sengaja menggoyangkan kebenaran, serta mematikan cahaya Allah ta’ala.
Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala: (( وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ)) – غافر: 5 – “. Yang artinya: “Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu”. (Ghaafir: 5).
Sedangkan perdebatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan kesamaran ayat, mencari jalan keluarnya, menuntun para ilmuwan untuk menyimpulkan berbagai maknanya, serta menyanggah para pembuat bid’ah, adalah perbuatan jihad di jalan Allah yang paling besar” (2).
Dia berkata, “ tidak boleh mengajarkan perdebatan dan hujjah kepada pembuat bid’ah yang dapat dia pergunakan untuk melakukan debat dengan orang-orang yang benar. Juga seseorang tidak boleh mengajarkan musuhnya hujjah yang dapat menyebabkan hartanya terpotong”(3).
3) Mempelajari ilmu kalam jangan sampai membuat orang mencela orang yang berpegang kepada atsar ulama salaf. Oleh karena itu Imam al-Qurthubi mencela para ekstrimis teolog yang mengklaim bahwa kebenaran berada dalam keyakinan teologi mereka, dan bahwa orang lain tidak mencapai kebenaran.
Ia tegaskan hal tersebut dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: “ Sedangkan para teolog yang ekstrimis yang mencela jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin yang berpegang kepada atsar salaf, dan mendorong untuk mempelajari kitab-kitab teologi, bahkan mengklaim bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui ilmu kalam dan berbagai terminologinya, maka mereka itu menjadi orang-orang yang tercela”(4).
Jika kita renungi berbagai perkataan serta sikap para penentang ilmu kalam secara umum, maka kita akan dapat berkata, sesungguhnya mereka lupa terhadap motivasi penciptaan ilmu kalam serta perkembangan pemikiran islam yang menyebabkan munculnya ilmu kalam, yang terdiri dari untuk memperkukuh akidah islam, membelanya, dan menjelaskannya dengan dalil logika.
Sedangkan penggunaan berbagai terminologi teologi yang mereka lakukan merupakan salah satu tuntutan ilmu ini, demi memahami dan menafsirkan ilmu ini; karena setiap ilmu masing-masing memiliki terminologi khusus, seperti ilmu ushul fiqh, tafsir, hadits, dan yang lainnya.
Berdasarkan hal ini, imam al-Qurthubi berpendapat boleh menggunakan berbagai terminologi teologi yang dapat membawa kepada pemahaman akidah islam yang benar. Terutama menggunakan terminologi yang memiliki berbagai makna di dalam al-Qur`an dan sunnah. Sedangkan perkataan yang bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah tidak dia perbolehkan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “majmu’ Fatawa” berkomentar mengenai hal ini: “Tidak makruh hukumnya berbicara dengan pakar yang mempunyai terminologi sendiri dengan menggunakan terminologi mereka dan bahasa mereka jika memang dibutuhkan dan maknanya benar. Yang dibenci oleh para imam adalah mempergunakannya tanpa dibutuhkan.
Maka para ulama salaf dan para imam tidak membenci sebuah perkataan hanya karena di dalamnya terdapat berbagai terminologi yang lahir dari ilmu kalam, seperti kalimat al-jauhar, al-‘ardh, al-jisim, dan yang lainnya. Bahkan karena makna yang terkandung dalam ungkapan ini mengandung kebatilan dan keburukan – dalam dalil dan hukum –tidak menjadi sebab untuk dilarang penggunaannya”(5).
Pengarang kitab Syarhu al-’Aqidah ath-Thahawaiyyah mengungkapkan perkataan yang mirip dengan perkataan imam al-Qurthubi yang baru kami paparkan, “Para ulama salaf tidak membenci orang yang berbicara dengan berbagai terminologi kalimat, seperti: al-jauhar, al-jisim, dan al-‘ardh, serta berbagai kalimat lain yang sejenisnya, hanya karena kalimat ini adalah terminologi yang baru yang mengandung makna yang benar.
Akan tetapi, mereka membencinya karena ilmu ini mengandung berbagai perkara yang dusta yang bertentangan dengan kebenaran, juga bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Juga karena mukaddimahnya mencakup kebenaran dan kebatilan, berbagai pertengkaran dan perdebatan, banyak ucapan dan perkataan yang tidak jelas sumbernya. Juga dari berbagai kalimat ini lahir berbagai perkataan yang bertentangan dengan syari’at yang benar”(6).
Pada kesempatan lain, Imam al-Qurthubi berpesan untuk tidak menyampaikan problematika ilmu kalam- yang bersifat intelektual- kepada masyarakat awam.
Sebagaimana kata beliau ketika menjelaskan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi: “Berbicaralah kepada manusia apa yang dapat mereka fahami, apakah kalian suka jika mereka tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya”(7): Yang dimaksud oleh hadits ini adalah beberapa jenis ilmu, seperti ilmu kalam, atau ilmu yang pemahamannya tidak dapat dicerna oleh orang-orang awam imam al-Qurthubi menginterpretasikannya bahwa hadits tersebut mengandung istilah-istilah sebagian ilmu, seperti ilmu kalam, atau ilmu yang pemahamannya tidak merata di antara orang awam.
Maka ditetapkan bagi seorang ulama untuk berbicara kepada orang awam mengenai apa yang dapat mereka pahami. Dan menempatkan setiap manusia pada posisinya masing-masing”(8).
Dari perkataan imam al-Qurthubi tadi jelaslah bahwa dia tidak mengharamkan mendalami ilmu kalam, serta membolehkan penggunaan terminologinya, apalagi jika tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Bahkan ia sendiri menggunakan termminologi teologi tersebut dalam beberapa kitab karangannya seperti, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juga dalam kitabnya (al-Asna fi Syarh Asma Allah al-Husna) (9).
Catatan kaki :
[1] Al-Jaami’ Li-Ahkaami al-Qur`aan: 2/144.
[2] Al-Jaami’ Li-Ahkaami al-Qur`aan: 15/190, 191.
[3] Idem: 2/124.
[4] Idem: 2/144.
[5] Majmuu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah: 3/306, 307 dengan secara ringkas.
[6] Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi al-‘Izz: 1/20.
[7] HR. Bukhari dalam kitab Shahih-nya: 1/59, no 127.
[8] Al-Jaami’ Li-Ahkaami al-Qur`aan: 2/124.
[9] Untuk lebih jelasnya lihat: Masail al-I’tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Muassasah al-‘Alya, Cairo, 2006.