Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Kedua:
Beberapa orang ulama berpendapat lain bahwa boleh mempelajari ilmu kalam. Bahkan mereka menggalakkan kajian-kajian teologi, seperti Ibnu ‘Asaakir, al-Bayaadhi, dan al-Ghazali, dan yang lainnya.
Argumentasi yang mereka paparkan bagi dibolehkannya mempelajari ilmu kalam adalah sebagai berikut:
1) Sesungguhnya berbagai dalil yang diajukan oleh pemilik pendapat yang pertama tadi bukan bersifat umum. Yang dilarang dalam ayat dan hadits adalah melakukan perdebatan dan pertengkaran yang tidak mendatangkan manfaat. Sedangkan perdebatan untuk menampakkan wajah kebenaran dari yang salah tidak dilarang.
Imam Al-Bayaadhi berkata, sedangkan perdebatan untuk menampakkan kebenaran tidak dibenci. Bahkan ini adalah yang diperintahkan dalam firman-Nya”
((وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ)) – النحل : 125 – “
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (an-Nahl: 125)(1).
Pada tempat lain, Imam al-Ghazali menjelaskan esensi ilmu kalam, dan ia tegaskan bahwa: “ sesungguhnya tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahli sunnah, serta memeliharanya dari pencemaran yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Allah telah memberikan akidah yang berisikan kebenaran melalui lisan Rasul-Nya saw. yang sesuai untuk agama dan dunia mereka.
Sebagaimana Dia berikan pengetahuan al-Qur`an kepadanya, maka setan juga melemparkan berbagai perkara yang bertentangan dengan sunnah dalam rasa keragu-raguan para pembuat bid’ah. Dan hampir saja mereka rusak akidah yang benar dari penganutnya. Maka Allah ta’ala membuat sekelompok mutakallimin, dan Dia gerakkan hati mereka untuk membela hadits dengan perkataan yang tersusun, yang menyingkap tipuan ahli bid’ah yang suka membuat-buat perkara yang bertentangan dengan sunnah Nabi saw., oleh karena itu lahirlah ilmu kalam dan penggelutnya”(2).
2) Sesungguhnya para sahabat tidak menggeluti ilmu ini. Dan mereka hanya cukup menyibukkan diri mereka dengan apa yang ada di dalam Kitab dan sunnah; karena berlaku sombong, memancing keragu-raguan, menutupi kebenaran dengan kesamaran yang dipakaikan dengan pakaian kebenaran dalam akidah tidak menjadi suatu fenomena pada saat itu.
Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan ilmu ini; untuk dijadikan taruhan dan diperdebatkan dengan dalil logika untuk mengukuhkan akidah. Dan salah seorang ahli ilmu kalam telah mengisyaratkan perkataan ini yang kononnya dinisbahkan kepada Abu Hanifah r.a.,” sesungguhnya para sahabat Rasulullah saw. tidak memasuki ilmu ini, karena perumpamaan mereka bagaikan perumpamaan kaum yang tidak ada musuh di hadapan mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan senjata.
Sedangkan kami telah dicoba dengan orang yang membuat keragu-raguan terhadap kami. Maka yang dapat kami lakukan hanyalah mengetahui orang yang salah dan yang benar dari kami, dan jangan sampai kita salahkan diri kita”(3).
Kelompok ini menilai bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang memiliki martabat yang paling tinggi di antara ilmu-ilmu yang lainnya. Karena ilmu ini membahas berbagai perkara yang sangat umum dan tinggi. Dan ilmu ini juga memiliki tujuan yang sangat luas dan mulia dengan memiliki berbagai dalil yang dapat diterima oleh logika.
Dan dalil logika ini didukung oleh dalil naql yang merupakan dalil yang sangat dapat dipercaya. Dan ini adalah arah kemuliaan ilmu yang tidak dapat ditandingi. Oleh karena itu, ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia(4).
Al-Alusi sebagai pakar tafsir memadang sangat perlunya mempergunakan hujjah yang bersifat logika dalam memperkuat akidah, sebagaimana yang dia jelaskan dalam penafsirannya untuk firman Allah taala,
((وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ)) – البقرة : 165 –
Yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (al-Baqarah: 165).
Dia berkata, “ayat ini merupakan legalitas dalil dengan menggunakan dalil logika, serta peringatan terhadap kemuliaan ilmu kalam, dan keutamaan orang yang menggelutinya. Dan barangkali juga memberikan isyarat kepada kemuliaan disiplin ilmu ini. Dan firman-Nya yang berbunyi, “ dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah”, merupakan sebuah penjelasan bagi kondisi orang-orang musyrik setelah penjelasan berbagai dalil yang menunjukki ketauhidan-Nya”(5).
Imam al-Ghazali memandang bahwa ilmu kalam terkadang memberikan manfaat, dan terkadang memberikan kerusakan. Maka ilmu kalam memberikan manfaat manakala dipergunakan secara benar, yaitu ketika tengah menjawab berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh musuh-musuh agama. Sedangkan ketika dia mengobarkan berbagai tuduhan maka dia datangkan kemudharatan yang tidak ada gunanya sama sekali.
Namun meskipun demikian, Imam al-Ghazali tidak lupa mengingatkan kita tentang adanya sisi negatif daripada ilmu kalam. Beliau berkata: “ Sesungguhnya di dalam ilmu kalam ada manfaat dan ada mudharat. Dia bermanfaat dalam kondisi halal, ataupun sunat, ataupun wajib, sesuai yang dituntut oleh kondisi.
Dan dia memberikan kemudharatan ketika dia munculkan kemudharatan, dan tempatnya adalah haram. Sedangkan kemudharatannya adalah memunculkan keragu-raguan, menggoyahkan akidah, dan menghilangkannya dari kepastian”(6). (Bersambung)
Catatan kaki :
[1] Isyaaraat, al-Bayaadhi, hlm 36.
[2] Al-Munqidz Min adh-Dhalaal, hlm 13.
[3] Isyaaraat, al-Bayaadhi, hlm 22.
[4] Li, al-Mawaaqif, al-Iiji, hlm 41.
[5] Tafsiir Ruuhu al-Ma’aani: 2/66, Dar Ihyaa Turats al-Arabi, tanpa tahun.
[6] Qawaa`idu al-‘Aqaa`idi, al-Ghazali, hlm 99, ‘Aalam al-Kutub, Beirut, cet 2, 1085 M. Editor: Musa bin Nashr.