Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Ibadah dalam Islam bukan hanya sekadar melakukan ibadah ritual, melainkan mencakup semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, segala bentuk pelayanan sosial dan perbuatan baik juga merupakan ibadah.
Seorang orientalis bernama Ricardo de Monte Croce, pernah mengakui kehebatan sistem pemberlakuan zakat dan sedekah dalam Islam. Ia mengatakan: ”Dalam berkehidupan sosial dengan orang-orang miskin melalui kewajiban zakat, harus diakui bahwa syari’at Islam-lah yang paling pemurah terhadap orang miskin”[1]. Perkataan ini yang membuat penulis tertarik untuk menulis tentang aspek sosial di bulan ramadhan.
Sesuai dengan tema di atas, maka dalam artikel ini penulis akan mencoba memaparkan dan menyajikan aspek sosial dalam Islam khususnya dalam bulan puasa. Dan untuk sistematiknya, dalam makalah ini penulis akan membahas tiga permasalahan di bawah ini:
- Perhatian Islam terhadap perbaikan sosial.
- Tanggung jawab muslim terhadap lingkungan sosialnya.
- Bentuk aktiviti atau kegiatan-kegiatan sosial dalam ibadah Ramadhan.
Perhatian Islam Terhadap Perbaikan Sosial
Bila kita bandingkan agama Islam dengan agama-agama lainnya, baik agama samawi ataupun agama konvensional (Wadh’i), perhatian Islam terhadap perbaikan sosial, belum dapat tersaingi oleh agama lainnya. Karena Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk berkerja dan berusaha demi memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya.
Sebagaimana firman Allah swt berikut ini:
(فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ)
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Al-Jum’ah: 10.
Ayat di atas memberikan motivasi kepada kaum Muslimin agar senantiasa berusaha dan bekerja di muka bumi ini dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sebab Islam tidak menyukai kaum muslimin hidup dalam kondisi kefakiran atau hidup bergantung pada uluran tangan orang lain. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
(اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى)
“Tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima)[2].
Di samping itu, kefakiran juga dapat membawa manusia kepada kekufuran. Oleh karena itu, Rasulullah saw telah menegaskan hal itu dengan pasti dalam sabda beliau:
(كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا)
“Kefakiran itu dapat membawa kepada kekufuran”[3]
Namun, sangatlah disayangkan jika seorang punjual dan pedagang yang datang ke mesjid pada hari jum’at hanya sekedar datang untuk menjual barang dagangannya tanpa melaksanakan shalat jum’at, yang pada akhirnya keberkahan hidup semakin menjauh darinya.
Sementara ayat di atas memberikan resep keberkahan dan keuntungan, yaitu jika mau jualannya menjadi laris maka perbanyaklah mengingat Allah ketika mengadakan jual beli.
Ulama salaf berpendapat sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas: ”Orang yang melakukan jual beli pada hari jum’at dan ia sempurnakan shalat jum’atnya maka Allah memberkati kehidupannya (melapangkan rezqinya)”.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau secara fenomena sering kita saksikan ada penjual ataupun pedangang di sekeliling mesjid yang sudah bertahun-tahun lamanya berjualan, tapi volume penjualannya tidak ada peningkatan yang bermakna.
Hakikat manusia sebenarnya di alam dunia ini merupakan khalifah Allah swt. Yaitu Allah swt memberikan tugas kepadanya untuk mengembangkan dan memanfaatkan nikmat-Nya yang telah tersedia di alam semesta. Dan semua sarana dan prasarana yang ada di dunia ini adalah milik Allah swt. Materi dan benda yang digunakan oleh manusia dan diproduksi sedemikian rupa, semuanya bersumber dari Allah swt. Oleh karena itu, para ekonom mengatakan:
”Produksi itu sebenarnya bertujuan menciptakan manfaat, bukanlah menciptakan materi. Dengan kata lain, manusia hanya merubah sebuah materi untuk dijadikan benda yang bermanfaat agar dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya”[4].
Sebagai bukti yang kongkrit, asal mula bahan bakar dan benda alam lainnya adalah ciptaan Allah swt Yang Maha Kuasa, manusia tidak mampu untuk menciptakan benda tersebut, melainkan ia hanya menemukan benda tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sampai menjadi sebuah produksi.
Namun terkadang nikmat yang didapat itu tidak dimaksimalkan fungsinya, bahkan tidak difungsikan sama sekali, sementara Allah sendiri sangat senang melihat seorang hamba yang mengoptimalkan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya. Rasulullah saw bersabda :
(إِنَّ اللهَ إِذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ)
“Sesungguhnya Allah swt jika memberikan sebuah nikmat kepada hamba-Nya, maka Ia senang melihat nikmat itu di pergunakanan sebaik-baiknya”. (Hadits Riwayat Tirmizi).
Sebagai contoh, orang yang berilmu tidak mengajarkan ilmunya, sementara ilmu itu adalah pemberian Allah. Begitu juga orang yang mempunyai harta dan mampu membeli sesuatu tapi dia tidak membelinya, bahkan disimpan dan ditumpuk saja harta tersebut tidak dibelikan apa-apa, alias bakhil dan kikir. Dia hanya senang mengumpul dan menghitung hari demi hari duit yang ia peroleh. Dan orang tersebut sebagaimana yang digambarkan oleh al-Qur’an dan diberikan julukan tersendiri sebagai orang yang pengumpat dan pencela:
(وَيْلٌ لّكُلّ هُمَزَةٍ لّمَزَةٍ الّذِى جَمَعَ مَالاً وَعَدّدَهُ يَحْسَبُ أَنّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ كَلاّ لَيُنبَذَنّ فِي الْحُطَمَةِ)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung, ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”. (surah al-Humazah:1-5).
Dengan demikian, dapat dilihat betapa Islam mengajarkan dan mendidik ummat ini untuk mencari rizqi yang bersih dan halal, yang bukan didapat dari hasil korupsi, membuat laporan keuangan yang ditinggikan, atau dengan jalan menipu sana-sini dalam berbisnis.
Dan benarlah apa yang digambaran oleh Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
(يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ، أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ؟)
“Akan datang suatu zaman, di mana seseorang tidak mempedulikan lagi sumber harta yang didapat, halal atau haram?” (Shahih Bukhari).
Kesemua perilaku ini tidak akan mendatangkan keberkahan sama sekali, bahkan di penghujung hidupnya kebinasaan akan menantinya, baik di dunia ataupun di akhirat.
Tanggung Jawab Muslim Terhadap Lingkungan Sosialnya
Merupakan suatu keadilan Allah, Dia jadikan manusia berbeda-beda. Baik dari segi keinginan, kecenderungan dan kecerdasan. Dengan semua perbedaan tersebut, tentunya mempunyai konsekwensi perbedaan juga dalam hal rizki. Sebagaiman yang diindikasikan oleh firman Allah swt:
(وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ)
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki”. An-Nahl: 71.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Islam mengakui adanya perbedaan rizki di antara manusia. Kesemuanya itu disebabkan oleh saling berbedanya potensi, kemahiran serta usaha manusia itu sendiri. Seperti etos kerja yang tinggi, skill yang handal, usaha yang kuat. Oleh karena itu, Islam mengakui adanya kepemilikan atau usaha pribadi, dengan catatan hendaknya usaha tersebut diperoleh dan dicapai secara legal (sah). Jika diperoleh dengan cara yang sebaliknya, ilegal (tidak sah), maka Islam tidak pernah mengakui kepemilikan tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
(إِنَّ اللهِ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا)
“Sesungguhnya Allah swt bersih, dan tidak menerima sesuatu kecuali bersumber dari hal-hal yang bersih”[5].
Dalam Islam manusia bukanlah pemilik hakiki dan mutlak terhadap hartanya, sehingga dia bebas berbuat apa saja terhadap hartanya, akan tetapi pada hakikatnya Allah-lah yang memiliki harta tersebut. Lalu Allah mewakilkan dan menitipkan penggunaan dan pengembangan harta tersebut kepada hamba-Nya. Seperti terlihat dengan jelas dalam firman Allah swt:
(وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ)
“Dan nafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”[6]. Al-Hadid: 7.
Salah seoran ahli tafsir kenamaan Imam Zamakhsyari, menafsirkan ayat di atas, beliau berkata:
“Harta-harta yang engkau miliki, sebenarnya adalah harta Allah, dan sesungguhnya engkau hanyalah sebagi wakil Allah dalam menggunakan harta tersebut, oleh karena itu nafkahkanlah harta tersebut pada hak-hak Allah”[7].
Dari uraian di atas, dapat dilihat sejauh mana tanggung jawab seorang muslim terhadap lingkungan sosialnya, di mana seorang muslim mempunyai dua kewajiban terhadap orang-orang miskin, yaitu:
Pertama: Apabila ia mampu atau mempunyai harta lebih, maka hendaklah menafkahkan sebagian hartanya atau memberi makan kepada orang miskin.
Kedua: Menganjurkan orang lain untuk memberikan makan terhadap mereka, sebagaimana yang diindikasikan oleh firman Allah swt:
(وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ)
“Dan ia juga tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin”. Al-Haaqqah: 34.
Dengan demikian, seorang muslim diwajibkan memperhatikan lingkungan sosialnya, dengan mengulurkan pertolongan kepada sesamanya terutama orang yang memerlukan pertolongan. Sebab lingkungan muslim adalah lingkungan yang dilandasi oleh persaudaraan, solidaritas, saling kasih mengasihi. Dan tidak membiarkan saudaranya kelaparan sementara ia mampu untuk memberikannya makan, pakaian dan berbagai bentuk pertolongan lainnya.
Bentuk Kegiatan Sosial Dalam Ibadah Ramadhan.
Dalam hubungannya dengan bulan puasa Ramadhan, bentuk-bentuk aktiviti sosial hendaknya digalakkan dan digandakan dari bulan-bulan lainnya. Sebab bulan puasa dalam Islam merupakan bulan kebaikan, rahmat dan pengampunan (maghfirah). Oleh karena itu bulan puasa hendaknya dijadikan sebagai bulan sosial yang bisa menyelesaikan problematika sosial umat Islam terutama pengentasan kemiskinan.
Sudah menjadi naluri seorang muslim, ketika akan memasuki bulan puasa, benih-benih kesosialan akan muncul sendiri dari batin insan mukmin. Perasaan peka ini timbul tanpa diundang ataupun dipaksakan. Oleh karena itu, dalam bulan puasa ini kita akan menyasikan berbagai kegiatan sosial.
Di antara bentuk kegiatan sosial dalam bulan puasa adalah menyediakan buka puasa bersama, menyedekahkan harta, mempererat hubungan silaturrahim antara keluarga dan lain-lain.
Dari kegiatan sosial ini akan kelihatan jelas hakikat puasa bagi seorang muslim. Jika seorang muslim membiasakan diri memberi bantuan pada bulan puasa, maka hendaknya kebiasaan itu dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya. Dengan sikap seperti ini, sudah dapat dipastikan tercipta kebersamaan dan persatuan umat Islam untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini telah diindikasikan oleh sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
(مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى شَيْئًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى)
“Kaum Muslimin dalam sikap saling kasih mengasihi, saling sayang menyayangi dan berlemah lembut antara mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit, maka anggota tubuh yang lainnya ikut juga merasakan sakit”[8]
Dengan demikian, seorang muslim dalam bulan puasa Ramadhan dapat memberikan harapan kehidupan yang optimis pada jiwa saudaranya yang hidup dalam kemiskinan.
Dalam konteks sosial umat islam saat ini, zakat perlu ditingkatkan, sebab zakat merupakan instrumen penting seorang mu’min. Karena zakat itu sendiri berada pada posisi kedua dari rukun Islam. Dan ini menandakan betapa pentingnya peranan zakat dalam Islam. Dan ini terbukti dari beberapa firman Allah swt, manakala perkataan shalat selalu bergandengan dengan perkatan zakat. Sebagai contohnya, di dalam al-Qur’an disebutkan:
(وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ)
Yang artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”. Al-Baqarah: 43.
(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ)
Yang artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Al-Baqarah: 3.
(وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْناً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مِّعْرِضُونَ)
Yang artinya: “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling“. (al-Baqarah: 83).
Dan masih banyak lagi ayat lain seperti: al-Baqarah: 110. an-Nisa’: 77. at-Taubah: 5, 11. al-Hajj: 41, 78. an-Nur: 56. al-Mujadilah: 13. al-Muzammil: 20. al-Anbiya: 73.
Dari sekian ayat di atas, pesan yang dapat ditangkap adalah bahwa zakat merupakan media komunikasi hamba dengan Allah. Di sampng itu zakat merupakan instrumen Allah kepada hambanya untuk memanusiawikan manusia.
Pada permulaan tulisan ini disebutkan bahwa salah seorang tokoh orientalis bernama Ricardo de Monte Croce, mengakui kemapanan dan kemampuan zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Dan zakat merupakan bukti bahwa Islam sangat memperhatikan nasib orang miskin. Sebab zakat ini merupakan sarana pemerataan hidup dengan target meminimalkan angka kemiskinan.
Betapa tidak, seorang mukmin tatkala mengingkari kewajiban zakat ini akan digolongkan sebagai orang kafir. Sebab seorang muslim akan diukur nilai ketaatannya dalam mengamalkan Islam dari aspek zakat. Dalam artian, iman seseorang belum mencapai tahap kesempurnaan kalau belum mengeluarkan kewajiban zakatnya.
Kesimpulannya, bulan buasa ini adalah tempat mengasah kepedulian sosial umat Islam. Selama satu bulan menahan lapar dan dahaga dengan tujuan beribadah kepada Allah. Di samping itu, tersirat makna dan i’tibar kepada semua umat islam untuk ikut merasakan kehidupan orang lain yang tidak berkecukupan, sakit, pedih dan berbagai macam kesusahan hudup yang dihadapi oleh orang lain. Dan pada gilirannya, pengamalan zakat ini adalah dari umat untuk umat.
Wallahu A’lam.