Ada tiga jenis barang di dalam Islam, yaitu halal, haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya).
Halal itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: apa-apa yang baik, tidak dilarang syariat DAN diperoleh dengan cara yang haq pula. Dua syarat ini harus terpenuhi kedua-duanya.
Haram itu jelas, syaratnya ada dua, yaitu: apa-apa yang diharamkan oleh syariat ATAU apa-apa yang diperoleh tidak dengan cara yang haq. Dua syarat ini, jika terpenuhi salah satu saja, sudah cukup untuk membuat sesuatu itu menjadi haram.
Ketika dihadapkan kepada daging babi, biasanya seorang muslim dengan mudah menolaknya, dengan alasan haram. Sesuai dengan syarat keharaman yang pertama, yaitu apa-apa yang diharamkan oleh syariat. Di antaranya Allah berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2] : 173)
Tetapi ketika disodorkan buah Kurma, sebagian kaum muslimin ‘lupa’ untuk menimbang apakah ini halal atau haram. Hukum asal Kurma adalah halal, tapi bisa menjadi haram dimakan jika diperoleh dengan cara yang batil, seperti hasil curian atau sogokan kepada pejabat. Allah menegaskan larangan ini di dalam Quran:
…وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil …” (QS. Al-Baqarah [2] : 188)
Jadi kesimpulan tentang haramnya sesuatu, pertama: apabila wujud/asalnya benda itu memang haram (seperti daging babi). Kedua: (atau) apabila cara mendapatkannya bathil, meskipun wujud/asalnya halal (seperti kurma hasil sogokan).
Lain ceritanya jika itu dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan seperlunya sampai keadaan daruratnya hilang. Syarat keadaan darurat pun tidak sembarangan, misalnya ketika nyawa terancam. Hal ini dijelaskan oleh Allah di dalam surah Al Baqarah ayat 173 di atas, bahwa situasinya terpaksa, dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas. Sehingga ulama merumuskan kaidah fiqih, keadaan darurat membolehkan yang haram/dilarang. Pembahasan darurat ini bab tersendiri, tapi mudah-mudahan cukuplah firman Allah di atas menjelaskan buat kita.
Jika halal dan haram itu jelas, maka syubhat adalah hal yang tidak jelas, hal yang meragukan. Berada di tengah-tengah antara halal dan haram. Gawatnya hal seperti ini tidak sedikit kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sikap seorang muslim terhadap barang syubhat ini? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengajarkannya dalam sebuah hadits:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Dari An-Nu’man bin Basyir dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda -Nu’man sambil menunjukkan dengan dua jarinya kearah telinganya-: ‘Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang, maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman’.” (HR. Bukhari, Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menikmati syubhat berarti jatuh kepada yang haram. Menjaga diri dari syubhat, berarti menjaga agama dan harga diri. Terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka terjatuh kepada keharaman. Sengaja menerima uang tak jelas (atau pura-pura tidak tahu), berarti menerima uang haram. Jika ada manusia menerima dan menikmati uang tak jelas dengan argumen bahwa toh itu tidak haram (secara jelas), maka sama saja dengan menegaskan bahwa dia makan uang haram.
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan dari cucu kesayangan beliau Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhuma, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan bagaimana cara menghadapi hal-hal yang meragukan ini. Kiat nabi saw amat sederhana: “tinggalkanlah.”
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu dan lakukan apa yang tidak meragukan kamu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan shahih)
Setelah jelas bagi kita bahwa perkara syubhat atau meragukan itu jatuh ke jurang keharaman dan jelas pula kiat menghadapi hal itu, sekarang kita bahas apa akibatnya jika nekat tetap menikmati hal-hal yang haram itu.
Apa akibat memakan makanan haram (termasuk syubhat)? Bisakah uang haram digunakan untuk ‘mencuci dosa’ dengan melakukan ‘amal shalih’? Pernah seorang rekan kami yang memiliki posisi di pemerintahan menyatakan, bahwa ketika dia mengambil sesuatu yang bukan haknya itu, dia juga akan mengimbanginya dengan beramal, sehingga hidup seimbang, mengejar dunia sekaligus juga mempersiapkan akhirat. Bisakah demikian?
Yang jelas ada beberapa akibat yang bisa diterima manusia dengan memakan barang haram ini.
Pertama, jalan ke neraka.
Ya, memakan barang haram adalah persiapan yang bagus untuk masuk ke neraka jahannam (untuk yang berani tentunya). Tidak perlu kita berpanjang debat, tapi cukuplah hadits shahih yang diriwiyatkan oleh Imam Ad-Darimi rahimahullah berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Darimi, sanadnya shahih)
Dalam sunan imam At-Tirmidzi rahimahullah dari jalur sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah radliallahu ‘anhu sendiri disebutkan:
يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali Neraka lebih berhak atasnya.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata ini hadits hasan gharib)
Jadi jika ada manusia yang berani memakan makanan haram, atau menafkahi anak istrinya dengan barang haram (seperti hasil korupsi, suap, manipulasi surat perjalanan dinas, uang pelicin dan sejenisnya), maka sungguh mereka itu berani terhadap api neraka, seperti yang dikatakan Allah dalam Quran:
فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Maka alangkah beraninya mereka terhadap api neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 175)
Na’udzubillah min dzalik.
Kedua, tidak akan diterima amalannya.
Ada pertanyaan, bagaimana kalau uang haram atau syubhat itu digunakan untuk amal shalih? mulai dari berzakat atau sedekah, mendirikan masjid, naik haji atau mendanai kegiatan dakwah? Di zaman ini, tidak aneh ada orang korupsi atau merampok tapi dia rajin sedekah, menyumbang masjid, mensponsori kegiatan dakwah atau naik haji berkali-kali. Akankah diterima Allah amalnya? Akankah menjadi pengurang dosanya?
Pernah kami membaca seorang tersangka koruptor mengatakan, “amal saya diterima atau tidak itu urusan Tuhan, bukan manusia.”
Argumen seperti ini lazim dilontarkan oleh orang yang sudah biasa menikmati uang haram, ketika mereka tidak terima dinasehati. Betul, bahwa diterima atau tidaknya amal seorang manusia adalah hak prerogatif Allah, tapi dengan catatan itu memang amal yang haq. Misalnya, jika itu sedekah, maka itu sedekah dari uang halal. Bahkan, sedekah dengan uang halal pun belum tentu diterima Allah, misalnya kalau dengan niat membanggakan diri (ria) tentu tidak akan menjadi pahala.
Lalu bagaimana dengan sedekah atau kegiatan dakwah Islam dengan uang haram wa syubhat? Sekali lagi, diterima atau tidaknya suatu amal memang urusan Allah semata, tapi Allah melalui perantaraan lisan rasulNya sudah menegaskan penolakannya terhadap hal seperti ini. Mari kita simak hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula.” (HR. Muslim)
Artinya sangat jelas bahwa Allah tidak akan menerima sesuatu dari yang tidak baik, seperti sedekah dari uang korupsi, kegiatan dakwah dari dana syubhat, dlsb.
Sah kah berhaji dari uang haram atau syubhat? Ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Sebagian ulama menyatakannya sah selama manasiknya benar tapi dia tetap berdosa. Imam Ahmad rahimahullah menyatakannya tidak sah (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq).
Di sini, kami tidak akan membahas masalah khilafiyah ini panjang lebar. Mari ambil satu pendapat, katakanlah hajinya sah, jika dia sudah melakukan semua rukun haji secara baik dan benar. Tapi apakah akan diterima oleh Allah? Pertanyaan ini, jawabannya kita kembalikan kepada kegamblangan hadits di atas, yang disepakati shahih dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah itu baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik. Dengan kata lain Allah hanya menerima yang baik. Jadi sungguh rugi repot-repot ke tanah suci padahal sudah ada kepastian ibadah hajinya tidak akan diterima Allah karena dibiayai dengan uang haram/syubhat. Sudah badan penat, keluar duit, haji tidak diterima, berdosa pula.
Pernah pula ada sebuah organisasi dakwah Islam membolehkan kader-kadernya menerima uang syubhat, dengan alasan lebih baik uang itu jatuh ke tangan mereka ketimbang ke tangan orang kafir, sebab jika di tangan mereka bisa menjadi amal shalih. Logika yang sekilas kelihatan masuk akal, tapi sungguh menyimpang dari ajaran Islam. Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Ini sungguh suatu musibah. Mudah-mudahan hal itu terjadi karena kealpaan manusia saja, bukan karena sudah terlanjur enak menikmati uang syubhat.
Ketiga, tidak akan dikabulkan doanya.
Kalau amaliyah dari uang haram (dan syubhat) tidak akan diterima oleh Allah, maka bagaimana dengan doa? Apakah doa orang yang terbiasa makan uang haram akan terkabulkan? Sebagian penikmat uang haram wa syubhat ini akan berargumen mirip dengan di atas, “diterima atau tidaknya doa saya itu urusan Allah, bukan manusia.”
Betul, memang hak prerogatif Allah untuk menerima doa seseorang atau tidak. Tapi sekali lagi, melalui perantaraan lisan nabiNya, Allah sudah menegaskan penolakan atas doa dari jiwa yang terbiasa dengan konsumsi haram ini. Mari kita simak lanjutan hadits di atas.
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا }وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih.’ Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah Kami rezekikan kepadamu.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”. (HR. Muslim. Ayat yang dibacakan nabi adalah QS. Al-Mu’minuun [23] : 51 dan Al-Baqarah [2] : 172)
Bagian akhir dari hadits di atas menceritakan seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh dan lama sehingga rambutnya kusut masai dan penuh debu. Mengapa harus disebutkan tentang musafir yang kusut masai? Dalam sebuah hadits lain diceritakan bahwa salah satu doa yang terkabulkan itu adalah doa orang yang sedang dalam perjalanan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam bersabda, “Tiga doa yang terkabulkan, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa orang musafir, doa orang tua untuk anaknya.” (HR. Tirmidzi, beliau menyatakan ini hadits hasan)
Lalu bagaimana dengan laki-laki musafir pada hadits sebelumnya? Di mana ia sudah melakukan perjalanan sehingga rambutnya kusut masai penuh debu, menengadahkan tangan meminta kepada Allah tapi ternyata tidak dikabulkan. Mengapa Allah tidak mengabulkannya? Bukankah ia sudah berada dalam kondisi di mana doanya akan terkabulkan?
Oh, ternyata karena ia memakan makanan yang haram, meminum minuman yang haram, memakai pakaian yang dibeli dari uang haram dan dinafkahi dari uang haram pula. Sehingga kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempertanyakan, “maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”
Mari kita renungkan, nabi saw memberikan gambaran tentang orang yang sudah berada pada kondisi di mana doanya terkabulkan (musafir), tapi ternyata tidak dikabulkan Allah karena mengkonsumsi barang haram. Apa lagi yang hanya duduk di rumah mewah atau mobil mewah menikmati barang haram (dan syubhat), lalu berdoa kepada Allah. Pikirkan dan renungkanlah wahai jiwa-jiwa yang berakal.
Keempat, dibiarkan Allah bersenang-senang sehingga semakin lalai sampai adzab tiba.
Para penikmat uang haram wa syubhat ini kadang tidak kehilangan akal untuk berargumentasi ketika menerima nasehat. Pernah kami mendengar seorang yang berada di ‘posisi basah’ di pemerintahan berkata, “ah siapa bilang doa saya tidak makbul, buktinya saya minta rezeki, Allah selalu datangkan rezeki”
Jadi dia merasa, doanya minta rezeki selama ini makbul, buktinya uangnya semakin banyak (karena rajin korupsi). Orang-orang ngeyel begini persis seperti yang digambarkan oleh Allah di dalam Quran:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al Baqarah [2] : 11-12)
Mereka merasa sudah berbuat kebaikan, tidak merasa salah me-mark-up anggaran, membuat surat perjalanan dinas fiktif, memeras peserta tender, menerima macam-macam uang syubhat, karena mereka juga mengadakan ‘perbaikan’, dan merasa doanya dikabulkan oleh Allah dengan semakin banyaknya ‘rezeki’.
Mereka tidak menyadari, kesenangan duniawi yang diberikan oleh Allah itu adalah sebuah bentuk istidraj. Apa itu istidraj? Istidraj adalah pemberian kesenangan duniawi oleh Allah kepada manusia yang durhaka kepadaNya, tidak menggunakan hal itu di jalan yang diridhoiNya, sehingga dibiarkan Allah dalam kesenangan duniawi, ditangguhkan adzabnya sampai tiba saatnya kelak. Ketika adzab itu datang, mereka tidak bisa mengelak lagi. Allah memang menangguhkan hukuman buat mereka yang berbuat zhalim. Dalam sebuah hadits shahih, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ قَالَ ثُمَّ قَرَأَ { وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ }
Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta ‘ala akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zhalim. Dan apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya.” Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi, “Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.” (HR. Bukhari Muslim. Ayat yang dibacakan nabi adalah Surat Huud [11] : 102)
Dalam hadits lain definisi istidraj ini diberikan secara gamblang:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ }
Dari Uqbah bin Amir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (HR. Ahmad, salah satu perawinya dhaif -lihat catatan di bawah-. Ayat yang dibacakan nabi saw adalah QS. Al-An’am [6] : 44). [1]
Hadits di atas, meskipun sanadnya lemah, kami tampilkan sebagai penjelas dari hadits shahih yang sebelumnya. Karena hadits ini menjelaskan definisi istidraj secara lebih gamblang. Banyak lagi dalil-dalil dari Quran dan hadits tentang istidraj ini. Seharusnya ini cukup sebagai kabar buruk atau peringatan kepada pelaku maksiat yang ke-geer-an, karena sejauh ini mereka merasa happy-happy saja dengan kemaksiatannya tanpa adanya siksa dari Allah.
Banyak contoh-contoh istidraj ini, yang mungkin saja menimpa kita tanpa kita sadari. Ada pejabat karir pemerintahan, merasa baik-baik saja dengan perilakunya memperkaya diri dengan korupsi, karena dia merasa Allah selalu memberkahi dia dengan kenaikan pangkat. Toh meskipun korupsi, dia juga berderma. Dia berkata, “Kalau Allah marah sama saya, pasti karir saya tidak akan sehebat ini.”
Ada pedagang yang mencurangi timbangan, lalu bisnisnya menjadi besar dari kecurangan itu, dan dia terus melakukan kecurangan, selain sering pula bersedekah dari hasil bisnis yang curang itu. Lalu dia merasa itu semua merupakan kenikmatan atau rezeki dari Allah.
Ada pula pejabat politik yang merasa baik-baik saja menjadi makelar anggaran atau me-mark-up anggaran, karena selama ini dia belum kena jerat hukum.
Ada sekelompok orang di organisasi politik yang merasa banyaknya suara pemilu mereka adalah pertolongan Allah meskipun cara berpolitik mereka sudah melanggar rambu-rambu syar’i. Mereka merasa tidak salah dengan penyimpangan-penyimpangan itu atau memanipulasinya dengan istilah ‘ijtihad’ (Ijtihad kok menyimpang dari rambu Quran dan sunnah?). Sebagian dari mereka berkata, “Allah menolong kami. Buktinya, perolehan suara pemilu kami naik.”
Na’udzubillah min dzalik. Mereka sudah tidak bisa membedakan yang mana pertolongan Allah, yang mana ‘pembiaran’ Allah (dalam bentuk istidraj) sampai suatu saat Allah sekonyong-konyong menimpakan adzab. Yang bisa jadi bukan hanya menimpa mereka, tapi seluruh kaum di negeri ini.
Dalam bahasa anak muda, “mereka geer.”
Jangan geer! Allah hanya menunda dan membiarkan mereka dalam kemaksiatan hingga saatnya tiba dengan adzab yang pedih. Kecuali tentunya jika mereka meninggalkan kemaksiatan itu dan bertobat dengan sungguh-sungguh sebelum ajal mereka tiba, yang mereka pun tidak tahu kapan tibanya.
Penutup
Mudah-mudahan ini bisa menjadi nasehat untuk kami dan para pembaca, agar berhati-hati terhadap apapun yang kita makan, kita belanjakan, kita nafkahkan kepada keluarga kita dan tak kalah pentingnya: bagaimana cara kita mendapatkannya.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Catatan:
[1] Hadits ini diriwayatkan dari jalur sahabat Uqbah bin ‘Amir bin ‘Abs radliallahu ‘anhu, di dalam musnad Imam Ahmad. Imam Ahmad meriwayatkannya dari Yahya bin Ghailan bin ‘Abdullah, dari Risydin bin Sa’ad Muflih, dari Harmalah bin ‘Imran bin Qurad, dari Uqbah bin Muslim, dari Uqbah bin ‘Amir bin ‘Abs radliallahu ‘anhu.
Semua perawinya tsiqoh (terpercaya) kecuali Risydin bin Sa’ad Muflih. Imam Abu Hatim, imam An Nasa’i, imam Abu Daud, imam Ad Daruquthni dan imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani (rahimahumullahu) menyatakannya sebagai dhaiful hadits. Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah menyatakan haditsnya tidak ditulis.