Agar Ramadhan menjadi bulan rahmat, ampunan dan keselamatan dari neraka maka momentum yang penuh berkah ini perlu dijadikan sebagai momentum Training Manajemen Syahwat, dan sekaligus menjadi Training Manajemen Ibadah. Inilah yang dilakukan Rasul Saw. Sebab itu, kita perlu menelusuri bagaimana Rasulullah Saw dan generasi Islam pertama, generasi terbaik umat ini, menjalankan manajemen Ramadhan.
Untuk mendapatkan gambaran utuh dari manajamen Ramadhan Rasul Saw. ada empat situasi yang perlu kita perhatikan. Pertama, sebelum memasuki Ramadhan. Kedua, saat memasuki Ramadhan. Ketiga, setelah memasuki Ramadhan. Keempat, ketika memasuki 10 hari terakhir.
Pertama, sebelum memasuki Ramadhan
Para Sahabat dan generasi setelah mereka (Tabi’in) selalu merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka selalu berdoa agar diberi Allah kesempatan menemui Ramdhan sejak enam bulan sebelum Ramdhan tiba. Imam Malik, misalanya, sering minta izin pada sahabatnya setelah pengajian untuk mempelajari bagaimana Sahabat memenej kehidupan ini, termasuk hal-hal yang terkait dengan Ramadhan mereka. Kendati Beliah tidak hidup bersama para Sahabat, namun Beliau mampu menteladani merka melalu sejarah hidup mereka.
Ma’la Bin Fadhal berkata : Dulu Sahabat Rsul Saw. berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah merkea di bulan itu. Di anatar doa merkea ialah : Yaa Allah, samapaikan aku ke Ramdhan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.
Dari sikap dan doa yang mereka lakukan, jelas bagi kita bahwa para Sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan kedatanagan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat menjumpai Ramdhan agar mereka meraih semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya dengan berbagia keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa para Sahabat dan generasi setelahnya memahami dan yakin betul akan keistimewaan dan janji Allah dan Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih saying), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka. Inilah yang diungkapkan Imam Nawawi : Celakalah kamu Ramadhaniyyin. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah, Sahabat dan generasi setelahnya mengenal Allah sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan dan di bulan Ramadhan pengenalan kepada Allah lebih mereka tingkatkan.
Kedua, saat memasuki Ramadhan
Saat hilal muncul di ufuk pertanda Ramadhan tiba, Rasul dan para Sahabat melihat dan menyambutnya dengan suka cita sambil membacakan doa seperti yang diceritakan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hadits berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ :« اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ
Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila Rasul Saw. melihat hilal (anak bulan) dia berkata : Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan taufik kepada yang dicintaii Rob kami dan diridhai-Nya. Rob kami dan Robmu (hilal) adalah Allah. (HR. Addaromi).
Itulah contoh nyata dari Rasul Saw. dan para Sahabat ketika meyambut kedatangan Ramadhan. Bukan dengan hiruk pikuk pawai di jalanan sambil keliling kota memukul beduk dan sebagainya. Tidak pula dengan pesta petasan yang jelas-jelas menimbukkan keributan dan mubazir. Bukan pula dengan ajang promosi produk dan dan iklan diri agar dikenal dan dipilih masyarakat untuk jadi pejabat. Namun, keyakinan, pikiran, perasaan, kerinduan dan hati mereka tertuju hanya pada kebesaran Ramadhan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Dengan harapan, jika amal ibdah Ramdhan dijalankan dengan ikhlas dan khusyu’, mereka akan meraih rahmat, ampunan dan terbebas dari api neraka. Ketiga nikmat itu tidak akan ternilai harganya bagi mereka kendati dengan dunia dan seisinya.
Ketiga, setelah memasuki Ramadhan
Apa yang dilakukan Rasul dan para Sahabat setelah memasuki Ramadhan? Setelah memasuki bulan Ramadhan, sejak hari pertama dan sampai hari terakhir, Rsulullah dan para Sahabat meningkatkan kemampuan menahan diri dari berbagai syahwat, seperti syahwat telinga, syahwat mata, syahwat lidah, syahwat perut (makan dan minum), syahwat kemaluan, syahwat cinta dunia, syahwat kesomobngan dan berbagai syahwat yang memalingkan mereka dari mengingat dan cinta pada Allah serta akhirat. Latihan mengendalikan dan menundukkan berbagai syahwat ini dilakukan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Inilah inti shaum (puasa) Ramadhan yang diwajibkan Allah.
Apakah seteleh sepanjang hari bergulat dengan dorongan-dorongan berbagai syahwat tersebut di malamnya digunakan untuk istirahat, makan, minum dan sebagainya? Ternyata tidak. Di malam harinya Rasulullah dan para Sahabat memanfaatkannya untuk qiyam (berdiri beramal ibadah) seperti shalat taraweh, berzikir, membaca dan tadabbur Al-Qur’an dan berbagai ibadah lainnya. Artinya, selama Ramadhan, Rasul dan para Sahabat benar-benar menfokuskan diri bertaqorrub dengan Allah melalu traininag manajemen syahwat dan sekaligus training manajemen ibadah. Dua hal inilah yang harus dimiliki oleh setiap hamba yang ingin mendapat ridha Allah di dunia dan bertemu dengan-Nya di syurga.
Aisyah meriwayatkan : Rasulullah adalah orang yang paling dermawan. Di bulan Ramadhan Beliah lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Jibril menemui Beliau setiap malam Ramadhan untuk mengajarkan (mudarosah) Al-Qur’an. Sebab itu, kederwawanan Rasul Saw. di bulan Ramadhan lebih kencang dan lebih merata dari angin. (HR. Bukhari).
Inilah contoh nyata dari Rasul Saw. dan para Sahabat ketika mereka memasuki bulan Ramadha. Hampir tak satupun syahwat yang tidak dapat mereka tundukkkan dan kendalikan dan tak satupun kebaikan dan amal sholeh yang mereka tinggalkan. Ramadhan benar-benar menajdi sistem penyemimbang dalam hidup ini sehingga mereka berhasil terbebas dari pengaruh syahwat karena merekalah yang mengendalikannya. Pada waktu yang sama, merke berhasil meningkatkan kualitas diri dengan berbagai amal ibadah yang mereka lakukan dalam rangka taqorrub ialallah. Dengan demikian tercapai janji Rasul Saw. Siapa yang shaum (puasa) di bulan Ramadhan dan dia mengetahui aturan mainnya (batas-batasnya), dia menjaga apa yang seharusnya dijaga maka akan dihapus dosa-dosa sebelumnya. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Keempat, ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan
Jika kita teliti prilaku hidup Rasul Saw. dan para Sahabat di bulan Ramadhan, kita menemukan berbagai keajaiban. Di antaranya ialah, saat memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Apa yang mereka lakukan sangat kontras dengan apa yang terjadi di negeri ini. 10 Hari terakhir Ramdhan mereka habiskan di masjid, bukan di pasar, tempat kerja, di pabrik, kunjungan daerah dan sebagainya.
Menurut presepsi dan prilaku kebanyakan masyarakat Msulim Indonesia, 10 terakhir Ramdhan itu adalah kesempatan berbelanja untuk mempersiapkan keperluan lebaran dan pulang kampung, kendati mengakibatkan harga-harag semua barang naik dan membubung. Anhenyam, mereka ikhlas dan tetap semangat berbelanja. Sebab itu, mereka meninggalkan masjid-masjid di malam hari dan tumpah ruah ke tempat-tempat perbelanjaan sejak dari yang tradisional sampai ke mal-mal moderen.
Lalu apa yang terjadi? Berbagai syahwat cinta dunia tidak berhasil dikendalikan, dan bahkan cenderung dimanjakan di bulan yang seharusnya dikendalikan. Pada waktu yang sama, semangat beramal ibadahpun tidak terbangun dengan baik sehingga kehilangan banyak momentum dan keistimewaan yang dijanjikan Allah dan Rasulnya. Coba bayangkan, terhadap janji Allah yang bernama Lailatul Qadr yyang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan saja belum tertarik? Jika tertarik, tentu mereka mengejarnya di masjid pada 10 hari terakhir Ramdhan dengan cara beri’tikaf di dalamnya secara penuh seperti yang dicontohkan Rasul Saw. Ini yang terjadi pada salah seorang teman ketiak ditanya kenapa gak jadi i’tikaf? Dia katakan : saya sedang sibuk-sibuknya sosialisasi ke daerah. Lalu saya katakana : Mana yang lebih mahal menurut Rasulullah, in’tikaf di masjid 10 hari terakhir Ramdhan atau sosialiasi pencalegan Anda? Kemudian Anda bisa jamin umur Anda akan sampai pada 10 terakhir Ramadhan yang akan datang? Sungguh terkadang kita berlagak seakan lebih pintar, lebih hebat dan lebih sibuk berjuang dari Rasul Saw.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majah bahwa Rasul Saw. beri’tikaf 10 hari terakhir Ramdhan. Pada tahun terakhir berjumpa Ramadhan, Beliau i’tikaf selama 20 hari. Kebiasaan I’tikaf ini diteruskan oleh para Sahabat dan istri-istrinya setelah peninggalan Beliau.
Inilah prilaku yang dibangun Rasul Saw. saat memasuki 10 hari terakhri Ramadhan dan diteruskan oleh para Sahabat dan istri-istrinya sepeningggalan Beliau.
Pertanyaannya adalah : Bukankah Rasulullah orang yang paling sibuk mengurusi umatanya? Buakankah para Sahabat orang yang paling giat berdakwah dan berjihad di jalan Allah? Lalu, kenapa mereka bisa melaksanakan i’tikaf di 10 terakhir Ramadhan? Jawabanya ialah : itulah jalan yang harus ditempuh sebagai bagian dari sistem Allah yang menyampaikan hamba-Nya ke tingkat taqwa, tak terkecuali Rasulullah dan para Sahabatnya. Lalu bagaimana dengan kita? Sudah pasti jalannya sama jika menginginkan sampai ke pringkat yang sama (taqwa). (bersambung)