“To be effective is the job of the executive.
‘To effect’ and ‘to execute’ are, after all, near–synonyms.
Whether he works in a business or in a hospital,
in government agency or in the a labor union,
in a university of tin the army,
the executive is , first of all, expected to get the right things done.
And this is simply that he is expected to be effective.”
– Peter Drucker, 1967 –
Ada sementara literatur yang memisahkan dengan tegas pola pikir “manajer” dengan pola pikir “leader”. Konon, manajer berpikir to do things right, sedangkan leader berpikir to do the right things. Pembedaan tersebut sebenarnya boleh juga untuk mempertajam pengertian, karena memang sebuah kontras biasanya membuat kita lebih mudah memahami dan kemudian mengingat suatu konstruksi konseptual. Namun demikian, setelah dipikir lebih mendalam, sulit bagi kita membuat dikotomi sesederhana itu. Untuk menjalankan perannya dengan efektif, yaitu menggerakkan proses transformasi, di samping menjadikan concern-nya terhadap people dan contribution menjadi bermakna dan produktif, bagaimanapun seorang pemimpin perlu menghayati manajemen sebagai paradigma berpikir.
Dengan demikian rasanya what is management menjadi perlu untuk dijawab terlebih dahulu. Beragam definisi bisa dikemukakan. Ada yang mengatakan management is an art and a science – manajemen adalah seni dan ilmu. Ada juga yang bilang management is getting things done through and with other people. Kumpulkan 100 buku manajemen, besar kemungkinan lebih dari 100 definisi bisa kita koleksi.
Mari sedikit usil menguji validitas berbagai definisi tersebut. Sebelumnya perhatikan analogi berikut ini. Misal, kita diminta membuat definisi mengenai “mahasiswa yang pintar”. Lalu kita jawab, “mahasiswa yang pintar adalah mahasiswa yang mampu lulus tepat waktu dengan IPK minimum 3.” Definisi yang cukup masuk akal dan dapat diterima. Nah, sekarang, jika kita diminta membuat definisi mengenai “mahasiswa yang tidak pintar,” dengan relatif mudah kita bisa menjawab menggunakan definisi yang telah kita buat sebelumnya sebagai dasar. “Mahasiswa yang tidak pintar adalah mahasiswa yang terlambat lulus dengan IPK di bawah 3.”
Misalkan Anda percaya bahwa management is an art and a science. Tolong bantu kita untuk menjelaskan what is mismanagement. Ingat, Anda harus gunakan definisi tersebut sebagai dasar. Maka, management is … ? Apakah bisa kita katakan, management is not an art and not a science? Rasanya tidak. Kesimpulannya, macet! Silakan coba keisengan seperti ini dengan berbagai definisi lainnya tentang manajemen. Saya pernah mencobanya. Berkali-kali. Dan hasilnya kurang lebih sama: macet.
Saya mencoba mencari tahu jawaban mengapa demikian. Dan rasanya jawaban itu sudah saya temukan. Intinya, manajemen tampaknya lebih merupakan “makhluk praktis” ketimbang “makhluk akademis.” Karena itu, memahami manajemen melalui “teropong akademis,” seperti membuat definisi, misalnya, akan membuat urusan kita menjadi agak kusut. Sebaliknya, menggunakan cara praktis, semisal membuat “rambu-rambu” mungkin akan lebih sederhana, fungsional dan memudahkan dalam memahami manajemen sebagai paradigma berpikir.
Paling tidak ada lima rambu manajemen. Pertama, proses. Ya, sesuatu disebut manajemen jika ia adalah sebuah proses. Ada dimensi ruang dan waktu. Ada pentahapan. Ada pergerakan dan perubahan. Melibatkan input yang diolah sedemikian rupa untuk menjadi output. Ada mekanisme dan prosedur. Tidak instant. Tidak kenal istilah “pokoknya.” Seorang anak kecil tentu saja belum memahami, apalagi menghayati, manajemen sebagai paradigma berpikir. Karena itu, ketika ia ingin memiliki mainan baru seperti miliki temannya, ia spontan berkata, “Pokoknya aku ingin mainan yang itu sekarang!” Kalaulah orangtuanya berkata, “Sabar ya nak. Ayah kan belum ada uang. Bulan depan ya,” jawaban sang anak, “Nggak mau! Pokoknya sekarang!” Nah, terbukti, alpanya pola pikir manajemen membuat interaksi kita dengan orang lain macet total.
Walaupun kondisi dalam contoh di atas dapat dimaklumi, karena pelakunya anak kecil. Namun jangan salah, mismanagement dalam proses berpikir yang esensinya sama tak kurang banyaknya diidap oleh orang usianya sudah dewasa bahkan tua atau senja. Korupsi misalnya, adalah perilaku kotor yang salah satu akarnya adalah penyakit kronis berpikir instan model “pokoknya saya ingin kaya sekarang juga.” Jadi, dilihat dari kacamata agama, korupsi adalah dosa besar. Dari kacamata hukum positif, korupsi adalah pelanggaran pidana berat (walaupun sering diringan-ringankan). Sedangkan dari kacamata manajemen, korupsi adalah mismanagement! (Bersambung.)