“Man is not the creature of circumstances; circumstances are the creatures of men.” –Benjamin Disraeli–
Menurut sebuah pepatah Arab, kita tak akan pernah bisa memberikan apa yang kita tidak punya. Untuk berinfak kita harus beruang. Untuk mengajar kita harus berilmu. Untuk melindungi kita harus kuat. Lalu, untuk memimpin apa yang mesti kita punya? Citra diri sebagai manusia merdeka!
Sebelum mampu memimpin orang lain, kemampuan memimpin diri sendiri adalah keniscayaan. Ada yang menyebut kompetensi ini sebagai self-leadership, self-mastery, atau personal mastery. Intinya adalah kemampuan untuk menjadi tuan atas diri sendiri, berangkat dari keyakinan, conviction, bahwa bukanlah lingkungan yang menciptakan kita, melainkan kitalah yang menciptakan lingkungan, bahwa diri kita adalah subjek sedangkan lingkungan adalah objek, dan bukan sebaliknya. Sebuah kesadaran atas kemerdekaan hakiki, a free will, yang telah Allah karuniakan, yang membedakan kita dari beragam makhlukNya yang lain, sebagaimana firmanNya: “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams: 8-10).
Citra diri sebagai manusia merdeka membuat kita menjadi manusia dengan internal locus of control, manusia yang meyakini bahwa dirinya adalah penyebab, sekaligus faktor yang bertanggungjawab, atas hasil yang diterimanya. Internal locus of control merupakan refleksi dari self-responsibility, kemampuan bertanggungjawab atas nasib diri sendiri, yang merupakan cikal-bakal tanggungjawab atas nasib orang banyak. Internal locus of control juga merupakan karakteristik utama dari pribadi yang matang dan dewasa secara emosional dan spiritual.
Citra diri sebagai manusia merdeka merupakan prasyarat menjadi manusia pembelajar, pemimpin pembelajar, satu-satunya spesies pemimpin yang mampu mentransformasikan dirinya menjadi pemimpin jenjang kelima. Dalam konteks ini, citra diri sebagai manusia merdeka menyediakan fondasi yang kokoh bagi terbangunnya mental pembelajaran (learning mental). Meminjam model dari Taufik Bahaudin (2001), proses membangun mental pembelajaran dimulai dengan memiliki self-awareness, kesadaran rasional mengenai diri sendiri, pemahaman mengenai kekuatan (strengths), keterbatasan (non-strengths), dan kelemahan (weaknesses), di samping kemampuan membaca posisi diri dalam konteks berbagai faktor dan aktor eksternal. Allah SWT melengkapi kita dengan perangkat-perangkat yang membuat self-awareness menjadi keniscayaan: panca indera yang mmemungkinkan kita menangkap stimulus, dan otak rasional (neo-cortex) yang memberi kita kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi objek yang terekam oleh indera kita. Contoh sederhana, Budi, seorang mahasiswa, melihat pengumuman nilai ujian tengah semester (UTS) salah satu mata kuliah yang diikutinya. Dalam daftar tertera nilai yang diraihnya 50, sementara nilai rata-rata kelas 70. Tanpa banyak mengalami kesulitan otak rasionalnya akan sampai pada kesimpulan, ”Nilai saya cukup jauh di bawah rata-rata kelas.”
Lalu, apakah Budi akan terdorong belajar lebih keras untuk mencapai nilai akhir yang lebih baik? Belum tentu. Tahu ada yang salah atau kurang tak serta-merta sama dan sebangun dengan dorongan (drive) untuk memperbaikinya. Ada-tidaknya dorongan tersebut ditentukan oleh mampu-tidaknya Budi membangun self-acceptance. Berbeda dengan membangun self-awareness yang merupakan proses rasional dan merupakan kerja dari kecerdasan intelektual (intellectual intelligence, IQ), membangun self-acceptance merupakan proses emosional, dan bahkan spiritual, melibatkan bukan hanya otak rasional, melainkan kolaborasi harmonis antara otak rasional dengan otak emosional (limbic system), dan merupakan kerja dari kecerdasan spiritual (spiritual intelligence, SQ).
Ditinjau dari sisi yang lebih mendalam, menggunakan konsepsi spiral dynamics (Beck & Cowan, 2004), ada-tidaknya dorongan internal untuk memperbaiki dan meningkatkan diri sangat ditentukan oleh the color or thinking, atau jenjang ’DNA’ Psiko-Sosial Budi, yang menjawab pertanyaan apakah proses kimiawi di otaknya sudah mampu memunculkan nilai kejujuran, mendorong dirinya untuk bertanya ”what’s wrong with me?” atau justru menjebaknya dalam pertanyaan ”what’s wrong with others?” Tiadanya self-acceptance terefleksikan dalam bentuk keyakinan ”kesalahan bukan pada pesawat televisi saya”, atau blaming others mentality. Dampaknya? Luar biasa fatal! Seperti saklar switch-off yang membuat otak dan pikiran kita tidak bekerja untuk mencari cara meningkatkan diri. Kalau Anda yakin gangguan pada gambar yang ditampilkan pesawat TV anda pada saat menyaksikan sebuah acara kesayangan disebabkan oleh masalah pada stasiun pemancar TV yang bersangkutan, akankah anda pergi ke tempat reparasi untuk memperbaiki pesawat TV anda? Tentu tidak! Anda akan berpangku tangan di rumah, sambil berdoa semoga kinerja stasiun pemancar segera membaik.
Menarik untuk dicatat bahwa kemampuan membangun self-acceptance sama sekali tidak berbanding lurus dengan atribut-atribut seperti usia, tingkat pendidikan, maupun tinggi-rendahnya pangkat dan jabatan. ”Peternakan kambing hitam” ternyata sadar maupun tidak bisa dikembangkan oleh siapa saja. Kebiasaan ”beternak kambing hitam” ini merupakan deklarasi seseorang, walaupun mungkin implisit sifatnya, bahwa dirinya enggan berubah. Dalam keseharian deklarasi itu muncul dalam ungkapan yang jelas polanya: ”bukannya saya tidak mau berubah, habis lingkungan sih …,” atau ”bagaimana mungkin saya bisa berubah dalam kondisi yang tidak mendukung seperti ini,” atau ”saya sebenarnya ingin berubah, tapi … soalnya …,” dan beragam kalimat lain yang sejatinya sama dan sebangun. Terhadap orang seperti itu, jangankan orang lain, bahkan Allah-pun enggan membantunya untuk berubah (QS. Ar Ra’d: 11).
Seorang menteri bidang ekonomi dalam kabinet yang berkuasa di awal krisis moneter tahun 1997, seorang profesor doktor, didatangi wartawan yang menanyakan nasib perekonomian Indonesia setelah Korea Selatan yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi Asia luluh lantak dihantam badai krisis. Ia menafikkan kenyataan Indonesia juga tertular krisis dengan mengemukakan segudang data historis tentang prestasi ekonomi kita di masa lampau, antara lain pertumbuhan dan cadangan devisa yang tinggi serta inflasi yang rendah. Ketika itu wartawan hanya bisa mengangguk-angguk dan memuat pernyataan itu sebagai headline surat kabar mereka keesokan harinya. Dan seiring dengan terus hancurnya rupiah dan perkasanya dolar Amerika, Pemerintah mengeluarkan jurus kelit ”batas psikologis” yang tak jelas dasar konseptualnya. Lucunya lagi, batas psikologis tersebut ikut naik, seiring tak terbendungnya kenaikan nilai dolar, Rp 5.000, Rp 7.500, dan terakhir Rp 10.000. Bantahan yang kurang-lebih sama ia kemukakan ketika gerombolan wartawan yang sama kembali mendatanginya pada saat ”tetangga sebelah rumah”, Thailand, juga pingsan terinveksi virus krisis. Artinya, jangankan self-acceptance, bahkan self-awareness-pun tak muncul dalam menyikapi krisis tersebut. Baru setelah dolar menembus batas ”ajaib” Rp 15.000 keluar pernyataan, ”kita memang terkena krisis.” Namun sayangnya, self-acceptance tak jua muncul, karena pernyataan yang muncul adalah, ”ini gara-gara kekuatan asing yang mengobok-obok perekonomian kita,” atau, ”ini gara-gara ulah George Soros.” Bahwa IMF, kekuatan asing, dan Yahudi menjadikan kita sebagai sasaran tembak dari economic hit team mereka memang merupakan realita. Tapi, kita hanya akan jadi korban jika kita – sadar maupun tidak – memang menyediakan diri untuk dikorbankan.
Kembali, kejujuran merupakan kata kunci. Mustahil membangun mental pembelajaran, mustahil membentuk pemimpin pembelajar, dan karenanya mustahil pula membangun pemimpin jenjang kelima, tanpa menghujamkan nilai kejujuran dalam sanubari terdalam. Dalam konteks inilah antara lain, mengapa nilai kejujuran merupakan salah satu nilai operasional (operating value) yang menjadi pilar nilai integritas, yang merupakan satu dari lima nilai-nilai dasar (primary values) PPSDMS Nurul Fikri. Bahkan jika dikaji lebih dalam lagi, keniscayaan membangun pemimpin pembelajar ini tersirat dalam makna nilai integritas yang dirumuskan oleh PPSDMS Nurul Fikri, yaitu: ”Memiliki kepribadian yang matang dan dewasa, dilandasi oleh kemampuan untuk menyelaraskan pikiran, perkataan dan perbuatan, berkata dan bertindak jujur, serta memikul tanggungjawab, sehingga mampu menjadi agen-agen perubahan yang layak dipercaya.” Dimilikinya mental pembelajaran, yang membuat diri kita memiliki internal locus of control, merupakan karakteristik dari kepribadian yang matang dan dewasa.
Eksistensi mental pembelajaran yang mantap dan telah menjadi neural path-way (“software” atau ”pilot otomatis” di otak kita) yang muncul dalam bentuk respon spontan ”what’s wrong with me?” diidentifikasi oleh Collins sebagai salah satu pilar penting dari fenomena pemimpin jenjang kelima: “looks in the mirror, not out the window, to apportion responsibility for poor results, never blaming other people, external factors, or bad luck,” dan sebaliknya, “looks out the window, not in the mirror, to apportions credit for the success of the company – to other people, external factors, and good luck.” Jelas bahwa mental pembelajaran merupakan fondasi dari terbangunnya karakter dasar yang seolah-olah paradoksal dari pemimpin jenjang kelima: professional will dan personal humility. Dampaknya? Dahsyat! Kaizen. Continuous improvement.