How You Think, is How You Act, is Who You Are (Bagian 4)

“Kasih Ibu kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi. Tak harap kembali.
Bagai sang surya menyinari dunia.”
–Syair lagu ”Kasih Ibu”–

Sudah dua kata kunci dari pola pikir pemimpin, leader’s mind-set, yang kita kupas: change dan people. Kata kunci yang ketiga adalah benefit, contribution, and responsibility. Kalau ditanya, siapakah sosok yang paling berarti dalam hidup anda, mungkin sekali sebagian besar akan menjawab: ibu. Mengapa? Lagu berjudul ”Kasih Ibu” memberikan jawabannya: ”Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi. Tak harap kembali. Bagai sang surya menerangi dunia”. Ibu memang sosok yang luar biasa: dekat di hati, namun juga sangat kita segani, karena ia terus memberi dengan ikhlas kepada kita. Akumulasi saham kebaikannya tak ternilai. Implikasinya sungguh luar biasa. Jangankan ia berkata-kata. Bahkan perubahan raut mukanyapun cukup untuk menggetarkan sanubari kita.

Jadi corollary yang berlaku sungguh jelas. Pemimpin memberi, bukan pemimpin meminta. Pemimpin berkontribusi, bukan pemimpin mengambil. Pemimpin berpikir bagaimana dirinya bermanfaat untuk orang lain, bukan pemimpin berpikir bagaimana dia bisa memanfaatkan orang lain. Pemimpin bertanggungjawab, bukan pemimpin menghindari tanggungjawab. True leader berpikir, “Apalagi yang dapat saya lakukan, agar orang-orang yang saya pimpin, agar lingkungan di mana saya hidup, menjadi lebih baik”, sebagaimana Nabi SAW yang hanya mengulang-ulang satu kata, “Ummatiii … ummatiii … ummatii …” dalam rintihan lirih di penghujung hayatnya. Sebagaimana juga telah diabadikan dalam kalam Illahi: “Sesungguhnya sudah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” (QS. At Taubah: 128).

Pemimpin sejati, berdiri di muka barisan pada saat bahaya menghadang dan kesulitan mendera. Ia paling dulu merasakan penderitaan, kalaulah itu suratan takdir bagi kaumnya. Namun ia akan berdiri di penghujung barisan pada saat mengecap kenikmatan. Ia yang terakhir makan setelah memastikan para pengikutnya kenyang. Ia tak mau menyakiti perasaan kaumnya dengan menghiasi dirinya dengan atribut-atribut kemewahan dan keberlimpahan, sementara mereka masih terpuruk dalam kemiskinan. Hatinya turut menangis, ketika pengikutnya sakit atau disakiti. Dan seperti kata Jim Collins, ia menisbatkan kegagalan organisasinya sebagai kelemahan dan kebodohannya, sebaliknya, ia menghadiahkan keberhasilan organisasinya sebagai hasil kerja keras para pengikutnya.

Sehingga ada keyakinan yang terhujam dalam di sanubari setiap pemimpin sejati: ”Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar … Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia; tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih …” (Hasan Al Banna). Keteguhan dan ketulusan dalam memberi membuat pemimpin sejati tak pernah mati. Pemimpin sejati terus menasihati dirinya, ”The good you do today, people will often forget tomorrow. Do good anyway. Give the world the best you have, and it may never be enough. Give the world the best you’ve got anyway” (Mother Teresa).