Setiap kali saya menjelaskan kelemahan uang kertas –seperti pada tulisan saya kemarin, Kegagalan Euro, Kegagalan Uang Kertas– tentu tidak semua orang setuju, selalu ada yang menyanggahnya dengan mengambil contoh uang Riyal-nya Saudi Arabia. Penyanggahan ini kemudian dijustifikasi dengan cerita bahwa “…zaman ibu-bapak kita dahulu pergi haji, 1 Riyal cukup untuk beli minuman, beli makanan … dst; sampai sekarang-pun katanya demikian…”. Benarkah demikian? Untuk adilnya mari kita lihat kinerja daya beli Riyal ini dari statistik-nya.
Perlu diketahui bahwa sejak Juni 1986, uang Saudi Arabia Riyal (SAR) sebenarnya di-peg atau dikaitkan terhadap satuan alat tukarnya IMF yang disebut Special Drawing Rights (SDR). Namun dalam praktiknya Riyal ini seperti di-peg-kan terhadap Dollar saja, nilai tukarnya stabil di kisaran SAR 3.75/USD. Karena nilai tukarnya terhadap USD yang relatif tetap ini, maka ketika USD nilainya menguat—SAR ikut menguat, demikian juga berarti sebaliknya, ketika USD-nya nyungsep seperti dalam dua tahun terakhir—maka Riyal juga ikut-ikutan nyungsep. Perhatikan grafik dibawah untuk kinerja Riyal ini selama 15 tahun terakhir.
Kalau Anda memegang uang 100 Riyal sekarang, maka bila Anda belikan emas di Madinah atau Mekah hanya akan memperoleh emas seberat 0.5 gram lebih sedikit. Padahal sepuluh tahun yang lalu 100 Riyal yang sama bisa untuk membeli sekitar 3 gram emas! Lantas dengan 1 Riyal, dapatkah kita membeli makanan atau minuman?—sudah sulit memperoleh makanan atau minuman yang bisa dibeli dengan 1 Riyal dua tahun terakhir ini.
Yang lebih nyata adalah ketika Anda harus membayar dam (denda) karena adanya pelanggaran tertentu dalam proses ibadah haji. Dam dengan membayar seekor kambing 10 tahun lalu nilinya hanya di kisaran 140 Riyal, bila Anda berencana ibadah haji tahun ini—bersiaplah dengan uang di kisaran 300 Riyal untuk membayar dam per 1 ekor kambing.
Untuk mengetahui lebih jauh betapa miripnya kinerja Riyal dengan Dollar tersebut di atas dapat kita gunakan mata uang lain sebagai pembandingnya—grafik di bawah menunjukkan betapa harmonisnya hubungan kedua mata uang ini. Tidak sepenuhnya buruk memang—paling tidak bagi jemaah haji atau umrah dari Indonesia dengan standar uang Rupiah-nya, berangkat haji/umrah serta akomodasi selama di tanah suci untuk sementara ini terasa lebih ringan untuk kita—karena Rupiah lagi ‘perkasa’.
Yang perlu menjadi pelajaran bagi kita adalah fenomena common trend penurunan daya beli uang kertas ini. Bila Euro yang didukung oleh sejumlah negara ekonomi kuat dunia tidak bisa mempertahankan daya belinya, kemudian juga Riyal yang konon didukung dengan cadangan minyaknya yang melimpah ternyata hanya mampu berkinerja mirip Dollar yang nyungsep dua tahun terakhir—maka sekuat apa mata uang Rupiah kita nantinya bisa bertahan melawan arus penurunan daya beli tersebut? Insyaallah waktu nanti yang akan menjawabnya, Wa Allahu A’lam.