Oleh : Agustianto, Ketua I IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) dan Dosen Pascasarjana UI
Di tengah rentannya kondisi keuangan global, perbankan syariah di Indonesia mencatatkan kinerja yang sangat bagus, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut statistik Bank Indonesia, perkembangan dan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia setiap tahunnya cukup fantastis dan menggembirakan, tumbuh antara 40-45 persen per tahun. Hal ini tercermin dari pertumbuhan asset, peningkatan pembiayaan, ekspansi pelayanan ( jaringan kantor yang semakin meluas menjangkau 33 propinsi di Indonesia).
Dalam menghadapi badai krisis global (1998, 2008, dan krisis eropa 2011) industri perbankan syariah di Indonesia memiliki daya tahan yang kokoh serta menunjukkan prestasi performance yang baik. Fungsi intermediasi perbankan terus berjalan dengan baik dengan FDR di atas 100 %. Pembiayaan produktif (modal kerja dan investasi) terus meningkat melebihi 70% dari total pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah. Sebaliknya pembiayaan consumer semakin melambat seiring dengan meningkatkannya pembiayaan produktif. Menurut data BI, pertumbuhan pangsa pembiayaan jenis konsumsi dibandingkan jenis produktif (modal kerja + investasi) telah melambat tipis menjadi sebesar 28% dari 30,09%. (2010 – 2011).
Menurut data Bank Indonesia, kini sudah ada 11 Bank Umum Ssyariah (BUS), 24 Bank Syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), dan 156 BPRS, dengan jaringan kantor meningkat dari 1.692 kantor di tahun sebelumnya menjadi 2.574 di tahun 2012, Dengan demikian jumlah jaringan kantor layanan perbankan syariah meningkat sebesar 25,31%. (Data diperoleh pada 17 Desember 2012).
Aset perbankan syariah saat ini sudah mencapai Rp.179 Triliun (4,4 % dari asset perbankan nasional), Sementara DPK Rp. 137 Triliun. Suatu hal yang luar biasa adalah, total pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah sebesar Rp 139 Triliun, melebihi jumlah DPK, Ini berarti FDR perbankan syariah di atas 100 persen. Data ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah untuk menggerakan perekenomian, sangatlah besar.
Pertumbuhan asset, DPK dan pembiayaan juga relative masih tinggi, masing-masingnya adalah, aset tumbuh ± 37%, DPK tumbuh ± 32%, dan Pembiayaan tumbuh ± 40%). Satu hal yang perlu dicatat, bahwa market share pembiayaan perbankan syariah dibanding konvensional, sudah melebihi dari lima persen, tepatnya 5,24 %.
Jumlah nasabah pengguna perbankan syariah dari tahun ke tahun meningkat signifikan, dari tahun 2011-2012 tumbuh sebesar 36,4 %. Kini jumlah penggunanya 13,4 juta rekening (Okt’ 2012, 36,4% – yoy), baik nasabah DPK maupun nasabah pembiayaan. Apabila pada tahun 2011 jumlah pemilik rekening sebanyak 9,8 juta, maka di tahun 2012 menjadi 13,4 juta rekening, berarti dalam setahun bertambah sebesar 3,6 juta nasabah.
Dengan pertumbuhan yang besar tersebut, maka akan semakin banyak masyarakat yang terlayani. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat di negeri ini. Kita punya obsesi, perbankan syariah seharusnya tampil sebagai garda terdepan atau lokomotif terwujudnya financial inclusion. Hal ini disebabkan karena missi dasar dan utama syariah adalah pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Bank syariah harus dinikmati masyarakat luas bahkan di masa depan sampai ke pedesaan, seperti BRI. Seluruh bentuk hambatan yang bersifat price maupun nonprice terhadap akses lembaga keuangan, harus dikurangi dan dihilangkan.
Menurut survey Bank Dunia (2010), hanya 49 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Dengan demikian masyarakat yang tidak memiliki tabungan baik di bank maupun di lembaga keuangan non bank relative masih tinggi, 52 %. Kehadiran bank-bank syariah yang demikian cepat pertumbuhannya diharapkan akan mendekatkan masyarakat kepada lembaga keuangan formal, seperti perbankan syariah.
Fungsi Sosial Bank Syariah
Satu lagi kiprah bank syariah yang patut diapresiasi adalah peran sosialnya yang cukup besar di samping menjalankan bisnis perbankan. Peran social itu tercermin dari beberapa lini. Pertama, penghimpunan dan penyaluran dana zakat, infaq, sedeqah, waqaf uang, serta dana CSR. Selama tahun 2012 (s.d Okt’2012) jumlah dana social yang telah dikumpulkan dan/atau disalurkan perbankan syariah (8 Bank UumumSyariah ditambah 4 Bank UUS), total Rp 94, 9 milyar, yang terdiri dari CSR Rp.42,2 milyar, sedangkan ZISWaf Rp. 52,7 milyar.
Peran social yang dimainkan perbankan syariah merupakan amanat dari UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Menurut UU tersebut, Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk penerimaan dana zakat, infak, sedekah atau dana sosial lain dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu juga bisa menghimpun dana wakaf (uang) dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif)
Kedua peran socio-ekonomi perbankan syariah yang berdimensi financial inclusion terlihat dalam dua hal, yaitu linkage program BPRS senilai Rp.207,2 milyar dan kedua linkage program BMT Rp.439,2 milyar. Total Rp 646,4 milyar. Pelaksanaan fungsi sosial ini merupakan refleksi peranan perbankan syariah dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi umat.
Peluang
Prospek dan peluang perbankan syariah di masa depan sangat cerah, positif dan tetap menjanjikan. Peluang tersebut diindikasikan oleh beberapa hal. Pertama, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih terbuka dan diperkirtakan mencapai 6.5 % pada 2013, maka ruang bagi perbankan syariah untuk tumbuh sangat terbuka. Ekonomi domestic yang ditopang oleh konsumsi masyarakat dan investasi masih tetap menjadi motor penggerak utama roda perekonomian nasional dimana keduanya menyumbangkan sekitar 88 % dari total prosuk domestic Bruto (PDB).
Kedua, Inflasi yang rendah dan pendapatan per kapita masyarakat yang terus meningkat yang tentunya mendorong peningkatan jumlah kelas menengah baru. Indikator-indikator ini akan meningkatkan purchasing power masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Pertumbuhan pembiayaan bank syariah diperkirakan sebesar 40% pada tahun depan.
Ketiga, sejalan dengan itu, ekonomi Asia juga menunjukkan ketahanannya yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi rendah, sistem keuangan yang sehat, dan keseimbangan fiskal yang sehat. Semuanya menunjukkan hal yang positif bagi pertumbuhan perbankan syariah di masa depan
Keempat, optimisme pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia, ditopang oleh kondisi ekonomi Indonesia yang semakin baik. Menurut banyak pengamat dan Forum KEN (Komite Ekonomi Nasional) yang saya ikuti, disebutkan Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi paling stabil di dunia dalam 20 triwulan terakhir dan dalam 8 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,1 – 6,2% per thn, dengan proyeksi 2013 tumbuh berkisar 6,3 – 6,7%. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi ketiga setelah China dan India.
Berdasarkan agregat makro tersebut, perbankan syariah mempunyai opportunity yang besar untuk terus dapat berekspansi dan berkembang, dengan berbagai kebijakan yang produktif untuk mendorong pertumbuhan perbankan syariah, seperti leverage model perbankan syariah, inovasi produk, peningkatan layanan, seperti kemudahan transkasi, (utamanya payment), perluasan jaringan kantor, peningkatan teknologi informasi, dsb
.
Proyeksi
Menurut proyeksi moderat Bank Indonesia, asset perbankan syariah pada tahun 2013 menjadi Rp 269 triliun, tumbuh sekitar Rp 90 triliun (44 %) dari sekarang yang masih Rp 179 triliun. Proyeksi moderat Bank Indonesia tersebut,tampaknya sangat mungkin dicapai, bahkan menurut prediksi saya, angka itu akan terlampaui di akhir tahun 2013 nanti. Pada tahun 2013 diprediksikan pertumbuhan pendanaan (funding) akan lebih ketat dibandingkan pembiayaan, terutama dana-dana murah. Namun demikian, kita optimis pengembalian dana ONH (Ongkos Naik Haji) dari penempatan di sukuk ke perbankan syariah akan mendongkrak jumlah dana DPK di bank syariah, karena itu penempatan kembali dana ONH ke pangkuan syariah sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat ekonomi syariah dan masyarakat muslim yang memahami manfaat dana haji untuk kemaslahatan umat.
Sepuluh Tantangan
Salah satu tantangan perbankan syariah adalah menyiapkan diri untuk menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 2015, mengingat Indonesia merupakan pasar potensial dengan ruang pertumbuhan yang sangat luas serta pencapaian kinerja yang lebih baik dibandingkan perbankan di negara lain.
Sebagai contoh, return on asset perbankan Indonesia pada 2012 secara umum mencapai 3%, sedangkan perbankan Singapura dan Malaysia masing-masing hanya 1% dan 1,5%. Demikian pula dengan return on equity, perbankan Indonesia mencapai 21% jauh lebih tinggi daripada kedua negara tetangga tadi yang hanya 12% dan 17%. Kondisi ini tentunya akan menjadi daya tarik bagi bank/investor asing untuk masuk ke Indonesia. Perbankan syariah tidak boleh kalah bersaing dengan perbankan asing yang mulai menyerbu Indonesia.
Kedua, dalam mengembangkan dirinya menjadi industry perbankan syariah yang unggul, perbankan syariah harus kreatif menciptakan inovasi produk sesuai dengan kebutuhan bisnis nasabah yang senantiasa berubah cepat. Jangan sampai, peluang-peluang besar dilepaskan hanya karena kekurang dalaman knowledge tentang syariah berwawasan maqashid , atau kekakuan dalam berijtihad keuangan. Regulator diharapkan bersikap akomodatif dan cepat dalam merumuskan regulasi yang kondusif untuk mendukung inovasi produk. Misalnya, produk Margin During Contruction (MDC), pembiayaan multiguna, Musyarakah Mutanaqishah, treasury products (i.e. hedging), PRKS yang fleksibel, pasar uang syariah dengan komodity syariah, sindikasi pembiayaan dengan bank konvensional, leverage model, dan sebagainya. Regulator juga seharusnya mengakomodasi akad-akad yang terjadi dalam sejarah Islam, seperti bay’ wafa’, bay istighlal, bay istikjar, bay’ tawarruq fiqhiy, dan sebagainya. Asal jangan bay’ ‘inah dan tawarruq munazzam, karena bay ’inah dengan tegas dilarang dalam 5 hadits Nabi Saw.
Ketiga, SDM adalah pilar utama pengembangan perbankan syariah. Penambaahan SDM yang kompeten dengan jumlah yang cukup menjadi tuntutan mutlak. Karena itu,manajemen bank syariah harus memprioritaskan penciptaan SDM yang berkompeten dan berkualitas ini, dengan terus menerus mengikuti training dan workshop atau kuliah pascasarjana.
Keempat, Tantangan berikutnya adalah perbaikan kualitas pelayanan perbankan syariah agar dicapai tingkat exellence. Kualitas pelayanan perbankan syariah harus setara, bahkan melebihi pelayanan konvensional.
Kelima, Pemanfaatan technologi IT untuk mendukung layanan,kemudahan akses pembayaran (internet banking, sms banking) serta terciptanya produk-produk baru.
Keenam, pelayanan pembiayaan kepada sektor UMKM dan pembiayaan produktif, harus diprioritaskan, guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif yang menyentuh masyarakat secara luas. Upaya ini dapat ditambah dengan membangun linkage program dengan lembaga keuangan mikro syariah, seperti KJKS, BMT dan BPR syariah. Jumlah BMT yang mencapai 5000-an, bisa dijadikan sebagai shadow banking untuk menjangkau lapisan masyarakat yang paling bawah, sehingga perbakan syariah berada di garda depan dalam mewujudkan visi financial inclusion.
Ketujuh, peningkatan pemahaman masyarakat tentang produk bank syariah dan peningkatan pemahaman dan tindakan bankers syariah yang berlandasan maqasid syariah. Edukasi dan sosialisasi, harus terus digalakkan dengan gerakan-gerakan sinergis, seperti sinergi dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), MES, FoSSEI (Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam), kerjasama dengan Ratusan Perguruan Tinggi se-Indonesia, ormas-ormas Islam, MUI Daerah dan sebagainya.
Kedelapan, penyediaan modal sendiri harus terus disiapkan untuk memenuhi ketentuan BI tentang multiple license dan atau ketentuan risk management. Bank Syariah harus segera meningkatkan posisinya dari Buku I menjadi Buku II. Bahkan dari Buku II menjadi Buku III, agar bisa berkembang dan ekspansi lebih luas. Namun saat ini, dari 11 Bank Umum Syariah, tidak ada bank syarah yang masuk buku III dan Buku IV, hanya tiga bank yang masuk dalam BUKU II, selebihnya masuk kategori buku I.
Keenam, bagaimana memperbesar porsi peningkatan pembiayaan ke sektor-sektor yang produktif dan beresiko rendah, seperti infrastrktur yang dibiayari APBN. Bank-Bank Syariah bisa melakukan sindikasi tidak saja sesama bank syariah tetapi juga dengan bank konvensional. Selanjutnya pembiayaan segmen konsumer akan lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan non konsumer. Untuk itu bank syariah harus memanfaatkan kemurahan DP pembiayaan melalui Musyarakah Mutanaqishah dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik yang 20 %, , bahkan bisa mengembangkan konsep Mudharabah Muntahiyah bit Tamlik, yang membolehkan DPnya 10 % bahkan 0 %. Celah regulasi ini harus secara cerdas dimanfaatkan oleh perbankan syariah.
Kesembilan, membangun brand positioning yang kuat melalui kegiatan promosi dan edukasi yang efektif serta penerapan nilai-nilai syariah sebagai faktor pembeda (differentiator) dengan system konvensional
Kesepuluh, pembukaan outlet baru untuk mendukung peningkatan daya jangkau dan perbaikan kualitas layanan. Jadi selain mengandalkan leverage model dan office channeling, perbankan syariah juga harus ekspansi dengan pendirian outlet baru. Kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berjaringan massif harus diutamakan, seperti PT POS dalam gerakan funding.
Arah Pengembangan Bank Syariah
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah, tahun 2013 merupakan tahun transisi pengawasan mikroprudential perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Dalam proses transisi ini, perbankan syariah fokus pada 5 program strategis yang mendorong pada pemerataan ekonomi.
Program yang pertama, adalah mengarahkan pembiayaan perbankan syariah pada sektor ekonomi produktif dan masyarakat yang lebih luas. Kedua, Mengembangkan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif. Ketiga. Melaksanakan transisi pengawasan yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah. Keempat,Revitalisasi peningkatan sinergi dengan bank induk. Kelima,Meningkatkan edukasi dan komunikasi produk perbankan syariah. Perlu ditambahkan bahwa faktor pengawasan yang kuat secara internal dan eksternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis bank yang beragam menyebabkan risiko yang dihadapi akan relatif beragam sehingga penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian dari early warning sistem akan menjadi kunci dalam mengantisipasi munculnya risiko sistematik yang mungkinj terjadi di masa-masa yang akan datang.
Eksplorasi dan analisis terhadap lima arah kebijakan perbankan syariah di atas memerlukan kajian yang lebih luas dan panjang,karena itu tidak bisa diuraikan di sini. Kita berharap lima arah pengembangan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan optimal, mengingat tantangan-tantangan di atas yang demikian kompleks.
Beralihnya fungsi pengawasan perbankan kepada OJK pada tahun 2014 memunculkan harapan kuat bahwa fungsi pengawasan pada lembaga keuangan akan lebih terintegrasi dan terkordinasi, terutama dalam mengantisipasi imbas krisis global yang terjadi sekarang. Masa transisi 1 tahun perlu dijadikan sebagai tahap pematangan di tingkat implementasi dari semua pihak yang terlibat agar fungsi dan harapan dari terbentuknya OJK benar-benar tercapai.