Sehari setelah diangkat menjadi Khalifah, Abu Bakar RA berangkat ke pasar dengan membawa barang dagangannya. Melihat hal ini Umar Bin Khattab RA yang bertemu Abu Bakar RA di tengah jalan menegurnya, “Mengapa engkau masih pergi ke pasar mengurusi perniagaanmu, sedangkan begitu banyak urusan negara yang perlu diselesaikan?” Mendengar ini Abu Bakar RA tersenyum dan menjawab, “Untuk mempertahankan hidup keluargaku, aku harus bekerja…”
Dari permasalahan inilah kemudian para sahabat merumuskan bahwa Khalifah harus mendapatkan gaji yang wajar untuk mencukupi kehidupan diri dan keluarganya. Gaji pertama Abu Bakar saat itu adalah 2,500 Dirham setahun atau sekitar Rp. 15 juta per bulan dengan harga Dirham saat ini—suatu tingkat gaji yang sekedar cukup tetapi tidak berlebihan.
Yang menarik untuk menjadi pelajaran di sini adalah betapa generasi terbaik dari umat ini mereka juga berdagang, melalui berdagang-lah mereka mencukupi kehidupannya. Dan generasi seperti ini pula yang telah membawa Islam sampai ke Nusantara ini. Hanya karena kemudian kita sempat dijajah selama 450 tahun kumulatif antara Portugis dan Belanda—budaya berdagang tersebut telah sengaja dirusak oleh para penjajah.
Akibat pengrusakan yang berlangsung selama berabad-abad inilah yang kita rasakan hingga kini. Kalau kita tanyakan pada para lulusan terbaik perguruan tinggi di negeri ini dari kalangan pribumi misalnya, kecil sekali kemungkinannya mereka menjawab ingin berdagang setelah lulus. Hambatan ini kadang bukan berasal dari diri sendiri, tetapi dari masyarakat juga. Saya kenal ada suami istri yang keduanya insinyur kimia tetapi memilih berdagang sebagai mata pencahariannya, masyarakat sekitarnya yang tahu bahwa mereka keduanya adalah insinyur selalu heran—“loh insinyur-insinyur kok cuma berdagang …?”
Persepsi masyarakat yang seolah berdagang adalah pekerjaan kelas dua dibandingkan dengan kerja kantoran atau di pabrik inilah yang kadang juga ikut menjadi penghalang tumbuhnya budaya berdagang yang baik di masyarakat.
Setelah mengetahui bunga bank difatwakan Riba oleh Komisi Fatwa-MUI, saya belum bisa serta merta meninggalkan pekerjaan saya sebagai pucuk pimpinan perusahaan finansial besar yang masih konvensional, tetapi niat untuk mencari penghasilan yang tidak bersentuhan dengan riba itu begitu kuat.
Maka saya ajaklah istri dan anak-anak di rumah untuk mulai belajar berdagang. Saya ambil komoditi madu—karena begitu banyak cerita indah tentang madu ini di Al-Quran maupun hadits. Harapan saya waktu itu adalah rizki perdagangan madu inilah yang nantinya kami makan agar terjauh dari makanan yang bersentuhan dengan riba. Karena kami berdagang madu dari rumah, maka pada waktu di rumah saya juga sering melayani pembeli yang datang —saya tidak risih dengan pekerjaan ini karena inilah pekerjaan yang lebih halal dan lebih bersih— ketimbang pekerjaan saya di kantor yang masih bergelut dengan riba.
Tetapi masyarakat lingkungan kerja saya rupanya tidak menganggap ini biasa, di rumah saya ada satpam dari kantor yang memang ditugaskan untuk menjaga rumah-rumah direksi perusahaan—melalui satpam inilah kemudian menyebar di kantor suatu rumor yang seolah ‘aib’ bahwa “Pak Dirut kita kalau di rumah jualan madu…!” Padahal latihan jualan madu bersama istri dan anak-anak inilah yang kemudian membuat saya tidak sulit untuk mengambil keputusan meninggalkan jabatan tinggi lengkap dengan berbagai fasilitasnya untuk mulai berdagang secara full time.
Bagi Anda yang belum comfortable untuk berdagang—jangan kawatir, ini adalah penyakit kita semua awalnya. Penyakit yang berupa mental blocks yang membuat berdagang seolah berat, malu dan segala macam perasaan tidak nyaman lainnya. Ini adalah sebuah penyakit pikiran yang sengaja ditanam oleh para penjajah selama berabad-abad ketika mereka memilah-milah pekerjaan bagi penduduk di negeri jajahannya. Kaum minoritas yang mereka sebut Vreemde Oosterlingen —non pribumi dari kalangan Cina, India dan Arab diarahkan menjadi pedagang— sedangkan tokoh-tokoh masyarakat pribumi diarahkan menjadi priyayi atau pegawainya penjajah —supaya mereka yang berpengaruh terhadap mayoritas penduduk ini mudah dikendalikan dan tidak berontak. Lebih buruk lagi adalah yang menimpa mayoritas rakyat biasa, mereka dihancurkan jiwa dagangnya melalui cultuurstelsel selama 90 tahun— mereka harus menanam tanaman yang hasilnya tidak bisa dijual selain ke penjajah dengan harga yang tentu saja harga penjajah!
Karena merusaknya selama berabad-abad, maka sembuhnya juga akan memakan waktu —tentu diharapkan tidak perlu berabad-abad— tetapi tetap perlu ketekunan dan kesabaran. Untuk membantu proses recovery budaya berdagang inilah Al-Tijaarah Institute kami dirikan dan mulai membuka kelas berdagang setiap kamis sore dari habis ashar sampai magrib di komplek Bazaar Madinah—Depok. Kelas ini sifatnya umum, siapa saja boleh ikut dan tidak dipungut biaya.
Selain kelas yang kita usahakan rutin untuk umum ini, kami juga mengadakan kelas-kelas khusus sesuai permintaan untuk anak-anak sekolah dari TK sampai perguruan tinggi. Mereka bisa mengajukan permintaan secara berombongan antara 20 s/d 100 anak untuk kita adakan kelas khusus yang semuanya juga gratis!
Lantas apa yang kita latihkan untuk mereka ini? tergantung tingkatan pendidikannya—tetapi inti modul-modul di Al-Tijaarah Institute yang sudah siap antara lain terdiri dari :
- Mengenal budaya berdagang dari Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, para sahabat sampai pengikut-pengikutnya hingga para ulama pedagang pejuang di tanah air.
- Mengenal syariat jual beli, apa-apa yang boleh dan apa-apa yang tidak boleh.
- Mengenali jenis-jenis pekerjaan yang sesungguhnya ‘bersih’ dan pekerjaan yang sesungguhnya ‘kotor’ meskipun kelihatannya bersih.
- Mengenal Pasar: yang sudah ada dan yang seharusnya ada atau diadakan.
- Teknik Mengasah ‘Batu’ Intan Berlian: Memilih barang dagangan, mengenalinya secara mendalami seluk-beluknya dan membangun cerita indah yang jujur tentang barang dagangan.
- Pola pikir visual untuk membangun dan mengembangankan pasar.
- Mengenal fungsi dan perlunya muhtasib dalam pengawasan pasar.
- Brick and Click Market: Pasar fisik dan virtual serta sinergi antar keduanya.
- Dlsb.
Al-Tijaarah Institute tidak hanya pelajaran di kelas, tempatnya yang berhubungan langsung dengan Bazaar Madinah selain memberikan environment pasar , juga sekaligus bisa menjadi tempat praktek berdagang yang sesungguhnya.
Mudah-mudahan kontribusi kecil ini bisa menghapuskan mental blocks yang selama ini menghantui pikiran dari kebanyakan kita untuk terjun di dunia jual beli—yang di Al-Qur’an disebut sebagai salah satu lawan riba (yang satunya lagi adalah sedekah). Aamiin.