Oleh H. Hendri Tanjung, Ph.D[1]
Bangsa yang maju dicirikan oleh Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang tinggi, sedangkan bangsa yang mulia dicirikan oleh bangsa yang memiliki akhlaq yang tinggi. Setidaknya ada empat kategori bangsa di dunia terkait dengan pendapatan dan akhlaq ini.
Pertama, adalah bangsa yang memiliki pendapatan tinggi dan akhlaq yang tinggi sekaligus. Inilah yang menjadi impian setiap bangsa yang diberi istilah “Baldatun Toyyibatun wa robbun Gofuur”.
Kedua, bangsa yang memiliki pendapatan rendah, tetapi akhlaq yang tinggi. Bangsa ini dikategorikan bangsa yang miskin tapi bermartabat. Yang dalam bahasa sederhananya, bangsa yang penduduknya sabar dalam kemiskinannya.
Ketiga, adalah bangsa yang pendapatannya tinggi, namun akhlaqnya rendah, ini adalah bangsa kaya yang sombong, dimana penduduknya banyak terjangkiti penyakit stress, depresi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya.
Keempat, bangsa yang pendapatannya rendah dan akhlaqnya rendah. Ini adalah bangsa barbar yang hancur peradabannya. Bangsa ini akan mengalami tingkat kriminalitas yang tinggi. masyarakatnya miskin dan tidak punya etika maupun kebaikan sama sekali.
Untuk mencapai pendapatan yang tinggi, diperlukan penguasaan ekonomi lewat penguasaan ilmu-ilmu dasar (Fisika, Kimia, Biologi dan Matematika), ilmu-ilmu rekayasa, ilmu-ilmu tubuh manusia (kedokteran, psikologi, dll), ilmu-ilmu social (sosiologi, politik, hukum, sejarah, dll), ilmu-ilmu humaniora, serta ilmu-ilmu ekonomi (bisnis, manajemen, akuntansi, keuangan, dan lain-lain). Untuk mencapai akhlaq yang mulia, diperlukan penguasaan ilmu-ilmu agama seperti aqidah dan syariah dan pengamalannya dalam kehidupan sehari hari. Dalam perkawinan antara ekonomi dan agama inilah lahirnya Ekonomi Syariah.
Mengapa Ekonomi Syariah itu penting? Setidaknya ada dua alasan besar yang dapat menjelaskan hal ini.
Pertama, Karena ekonomi barat berlandaskan pada model-model yang salah.
Kedua, Ekonomi Barat tidak cocok dengan kita yang masih mempercayai agama sebagai tuntunan hidup.
- 1. Ekonomi Barat berlandaskan pada model-model ekonomi yang keliru
Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskannya. Pertama, Apa yang diprediksi oleh ekonom barat, tidak benar. Persis sebulan sebelum The Great Depression terjadi, ekonom ternama Fisher meramalkan bahwa Amerika akan mencapai kejayaan emasnya. Krisis-krisis yang terjadi sebelum ini seperti krisis Meksiko, Krisis Rusia, maupun Krisis Asia Tenggara tidak dapat diprediksi oleh ekonom-ekonom ini. Bahkan sebaliknya, persis sebelum terjadinya krisis mereka mengeluarkan pernyataan bahwa ekonomi Negara-Negara tersebut akan meroket. Empat tahun sebelum krisis menghantam Indonesia, World Bank memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi Macan Asia.
Kedua, Treatment yang mereka lakukan untuk memperbaiki ekonomi setelah krisis terjadi, seringkali diakhiri dengan memburuknya keadaan ekonomi bangsa. Di Indonesia, misalnya, IMF dan World bank mengatakan bahwa salah satu tindakan pengobatan yang harus dilakukan adalah mencabut subsidi BBM. Pada tanggal 4 Mei 1998 presiden Soeharto mengumumkan kenaikan harga BBM 70 persen dan besoknya menerapkan tarif angkutan naik 67 persen. Hal ini menimbulkan protes yang sangat keras, khususnya Jakarta. Akhirnya, tanggal 21 Mei Presiden Soeharto mundur dan habibie sebagai presiden. Apa yang kita kenal dengan krisis moneter telah menjelma menjadi krisis ekonomi, social dan politik (World Bank, 2004).
(Ketiga, …bersambung)
[1] Sekretaris Program Studi Ekonomi Syariah Pasca Sarjana Univ. Ibn Khaldun Bogor; Ketua Departemen Pengembangan SDM Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia; Anggota Komite Bidang Pengembangan Moneter, Fiskal dan Publik Islami, Masyarakat Ekonomi Syariah; serta Anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional.
Donasi Pengkaderan Ulama dan Cendekia, dapat disampaikan melalui Rekening BRI SYARIAH Jl Jajajaran Bogor atas nama Ibdalsyah QQ Cendekiawan Muslim No Rek. 100 436 8246